FOTO: MSN |
swatt-online - LIMA Puluh tahun silam di Kota Hollandia (sekarang Port Numbay atau
Jayapura), para anggota Nieuw Guinea Raad atau Dewan Rakyat Nieuw Guinea
mengibarkan bendera Bintang Fajar atau Bintang Kejora.
”Saya ikut menyaksikan pengibaran Bintang Kejora,”tutur Nick Messet
yang kini mengukuhkan dirinya sebagai pejuang UU Otsus Papua.
Walau demikian berkibarnya Bintang Kejora sejak 1 Desember 1961, tak
segampang yang dibayangkan. Selama bertahun-tahun di tanah Papua tak
seorangpun yang berani mengibarkan atau pun membentangkannya secara
bebas.
Andaikata kedapatan memiliki ataupun mengibarkan sudah jelas
berhadapan dengan aparat negara yang bertanggungjawab terhadap
kedaulatan negara Republik Indonesia. Barulah ketika reformasi mulai
bergejolak 1998 hingga 2000, kibaran Bintang Kejora mulai marak. Banyak
buku tentang Papua diterbitkan bercover Bintang Kejora. Bahkan Bintang
Kejora diperkenalkan dalam berbagai bentuk pernik-pernik tas dan topi.
Saat mantan Presiden Gus Dur memimpin justru memperbolehkan Bintang
Kejora berkibar asalkan tidak boleh lebih tinggi dari Bendera Merah
Putih. Bahkan Gus Dur menyebut Bintang Kejora sebagai simbol bendera
budaya.
Namun sepeninggal Gus Dus, urusan Bintang Kejora sebagai simbol
budaya tak digubris pula. Begitupula upaya Majelis Rakyat Papua(MRP)
periode 2006-2011, mengusulkan bendera budaya pun tak diterima.
Sebaliknya pemerintah pusat di Jakarta memberondong bendera budaya
dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor: 77/2007. Intisari dari
PP ini adalah melarang simbol-simbol yang berasosiasi dengan
separatisme.
Peraturan ini tentu memberikan dasar hukum bagi pihak aparat keamanan
Republik Indonesia untuk menindak mereka yang mencoba menaikan bendera
Bintang Kejora ataupun memakai atribut Bintang Kejora. Akibatnya pihak
aparat menahan mama-mama Papua penyulam noken berlambang Bintang Kejora.
Dua tokoh Papua ikut pula ditangkap karena mengibarkan Bintang Kejora,
Filep Karma dan Yusack Pakage. Ditaksir sekitar 50 orang sudah pernah
ditahan hanya gara-gara menaikan bendera Bintang Kejora.
Kalau pun pemerintah Jakarta menganggap Bintang Kejora sebagai simbol
separatisme atau bentuk perlawanan. Sebenarnya sejak awal pengibaran
Bintang Kejora pada 1 Desember 1961, tidak pernah ada seorang pemimpin
Papua memproklamasikan kemerdekaan bagi Bangsa Papua.
Walau demikian Presiden Soekarno dengan tegas mencetuskan Trikora, 19
Desember 1961 untuk menggagalkan negara Papua buatan Belanda. Bolehlah
tuduhan keinginan untuk merdeka merupakan warisan penjajah Belanda. Tapi
Dr Benny Giay menyebutkan generasi muda Papua yang kini sedang berjuang
untuk merdeka adalah seratus persen generasi muda yang mengikuti
pendidikan di Indonesia.
Lalu siapa sebenarnya yang mewariskan semangat merdeka di kalangan generasi muda Papua?
Kondisi ini cukup membingungkan semua pihak tapi faktanya mungkin
pula faktor kelakuan penguasa bisa menjadi alat pemicu untuk terus
melawan dan melawan. Proklamasi kemerdekaan Papua pertama kali
dicetuskan pada 1 Juli 1971, oleh Zeth Rumkorem di Markas Victoria
(Marvic) perbatasan PNG dan Provinsi Papua.
Zeth Rumkorem adalah putra seorang pejuang Indonesia, Mayor Tituler
Lukas Rumkorem. Dia perwira muda TNI AD berpangkat letnan satu lulusan
sekolah perwira dari Pusat Pendidikan Infantri (PPI) di Bandung. Usai
memproklamasikan kemerdekaan Papua, Zeth Rumkorem melakukan perjuangan
gerilya hingga akhirnya harus meninggalkan belantara Papua dan kini
tinggal di Eropah.
Jelang beberapa tahun kemudian, alm Dr Tom Wanggai, juga
memproklamasikan kemerdekaan Republik Melanesia Barat(RMB) dengan
mengibarkan bendera Bintang 14 pada 14 Desember 1988. Banyak warga Papua
yang ditangkap usai mengikuti upacara RMB di Lapangan Mandala.
Walau pun ada dua bendera di Tanah Papua, tampaknya Bintang Kejora
merupakan bendera yang diakui oleh berbagai elemen di Papua. Bahkan
sampai ke luar negeri termasuk di negeri Belanda. Upaya untuk mengerem
semangat merdeka dari kalangan muda Papua mungkin menjadi satu pekerjaan
rumah bagi Pemerintah Indonesia.
Mungkin ada baiknya mengutip pesan Mayjen TNI (Purn) Samsudin dalam
bukunya berjudul, “Pergolakan di Perbatasan Operasi Pembebasan Sandera
Tanpa Pertumpahan Darah.”
Jenderal Samsudin menyarankan,” sebaiknya strateginya diubah. Untuk
melawan motivasi separatis di Papua, semua sendi kehidupan rakyat asli
harus digarap, baik yang abstrak maupun yang bersifat fisik konkret.
Tidak boleh timbul kesan atau akibat bahwa para pendatang ingin
mendominasi kehidupan mereka.
Penulis adalah Dominggus A Mampioper, wartawan tabloidjubi.com. Dan artikel ini juga bisa dibaca di http://tabloidjubi.net/index.php?option=com_content&view=article&id=558:50-tahun-bintang-kejora-di-tanah-papua&catid=86:kolom-redaksi&Itemid=55
0 komentar:
Post a Comment