|
Warga Papua demo di Jakarta pada 7 Juni 2012, menentang aksi sweeping militer di kampung-kampung di Wamena, Papua. |
Sudah sejak 2010, ide dan upaya realisasi ‘dialog Jakarta-Papua’
diwacanakan. Namun, hingga kini, dialog ini yang dianggap sebagai jalan
terbaik mengakhiri kekerasan dan membangun kepercayaan antara pemerintah
pusat dan warga Papua belum ada tanda-tanda akan terealisasi.
Sejumlah upaya sudah dilakukan demi terlaksananya ide ini yang
dirintis Pastor Neles Kebadabi Tebay, imam aktivis asal Papua bersama
dengan sejumlah akademisi melalui Jaringan Damai Papua (JDP).
Pastor Neles misalnya, berupaya, baik lewat diskusi, seminar,
artikel-artikel di media massa dan audiensi dengan para pejabat tinggi
di Jakarta, termasuk dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Tapi, fakta yang didapat, belum menunjukkan ada kabar baik.
Melihat mandegnya hal ini, sebuah buku baru, “100 Orang Indonesia
Angkat Pena Demi Dialog Papua”, yang ditulis para akademisi, aktivis dan
tokoh agama terbit baru-baru ini, menggemakan lagi tuntutan yang sama:
segera lakukan dialog!
Mientje Roembiak, salah satu penulis buku ini mengatakan, dialog
adalah hal mendesak, mengingat kekerasan telah menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari warga Papua, sejak tahun 1969 bergabung dengan
Indonesia dalam sebuah proses yang disponsori PBB, dimana diyakini
terjadi manipulasi selama jajak pendapat.
Selain mewujud dalam kasus pembunuhan, pemukulan, bentuk kekerasan,
kata dia, muncul dalam bentuk stigma yang menganggap warga Papua sebagai
kaum separatis, serta pembatasan kebebasan berekspresi.
“Kalau ada yang mengkritik pemerintah, minimal keluarga kami terancam. Sudah banyak yang dibunuh”, ujarnya.
Kekerasan demi kekerasan, menurut dia, hanya menyisakan luka bagi warga Papua dan kebencian terhadap pemerintah terus memuncak.
Jakarta masih mempertahankan kehadiran militer yang kuat di Papua yang masih ditempati suku-suku asli.
Meski memiliki kekayaan mineral yang tinggi, dimana terdapat tambang
emas terbesar di dunia, yang dioperasikan PT Freeport asal Amerika
Serikat, namun sebagian besar warga Papua tetap miskin, infrastruktur
masih sangat minim, apalagi di daerah-daerah terpencil.
“Sumber daya alam Papua tidak dinikmati orang Papua, tetapi diambil
untuk memperkaya orang non-Papua, sementara nasib kami tidak berubah”,
kata Roembiak, yang juga dosen di Universitas Cenderawasih, Jayapura.
B Josie Susilo Hardianto, wartawan Harian Kompas yang beberapa tahun
terakhir bekerja di Papua menggambarkan ironi situasi di sana dalam buku
ini. Mengutip Amandus Giay, seorang tua adat dari kampung Bomomani di
Dogiyai, ia menulis, warga Papua mengalami kehadiran pemerintah lewat
aparat keamanan, entah itu polisi atau tentara.
“Mereka dengan mudah ditemui hingga di berbagai pelosok wilayah
Papua, berseragam atau tidak. Sementara itu, dokter, perawat, guru,
pejabat kecamatan hingga bupati justru lebih sulit ditemukan”, tulis
Hardianto.
Laporan sejumlah lembaga HAM yang tergabung dalam
Human Rights and Peace for Papua
menunjukkan bahwa antara Oktober 2011 dan Maret 2013 terjadi
peningkatan eskalasi kekerasan, dimana pelakunya yang merupakan polisi
dan militer dalam banyak kasus tidak mau bertanggung jawab. Bentuk
kekerasan berupa kasus pembunuhan, penyiksaan dan penangkapan
sewenang-wenang, dengan korban warga sipil, jurnalis, juga aktivis HAM.
Menurut laporan ini yang dirilis pada Juli lalu, “Di daerah dataran
tinggi yang terpencil, kekerasan paling sering terjadi. Di sana, pasukan
keamanan terus melakukan razia di desa-desa untuk mengintimidasi
masyarakat setempat, sehingga membuat mereka harus mengungsi.”
Beberapa kali, pemerintah pusat merespons desakan untuk mengakhiri
kekerasan di Papua. “Namun, hanya sebatas pernyataan ketika ada kejadian
penembakan”, kata Roembiak.
Tahun 2011, Presiden SBY pernah menyampaikan pernyataan untuk
membangun Papua dengan hati, termasuk mengusulkan wacana komunikasi
konstruktif. Faktanya hingga kini, Jakarta tidak mengambil langkah yang
jelas untuk memasuki proses dialog dan tampaknya terus curiga bahwa
dialog ini akan menjadi jalan bagi pemisahan Papua dari Indonesia.
Brigjen TNI Sumardi, Sekertaris Desk Papua Kementerian Politik Hukum
dan Keamanan (Kemenkopolhukam) misalnya, mengatakan kepada ucanews.com,
pemerintah menolak istilah dialog Jakarta-Papua. “Tidak ada istilah
dialog Jakarta-Papua,” tegasnya.
Meski demikian, ia menolak tuduhan bahwa Jakarta tidak bersedia
menggelar dialog dengan orang Papua. Selama ini, katanya, dialog sudah
berjalan. “Dialog yang dimaksud adalah dialog interaktif yang bertujuan
membicarakan pembangunan Papua ke depan”, ujarnya tanpa bersedia
menjelaskan lebih lanjut siapa yang terlibat dan seperti apa metode
dialog interaktif tersebut.
Ketika ditanya soal tanggapannya terkait esensi gagasan dialog
Jakarta-Papua yang bertujuan membicarakan persoalan pelanggaran HAM, ia
mengatakan, “Dialog untuk bahas kekerasan sudah sering, sejak reformasi
sampai dengan sekarang ini”.
Ia juga menolak klaim adanya pelanggaran HAM di Papua. Tindakan
kekerasan, dalihnya, terjadi karena oknum tertentu dan kelalaian aparat
kemanan. “Itu pun sudah ditindak sesuai hukum,” tegas Sumardi.
Pihak Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kini masih bergerylia di
hutan tampaknya juga masih tegas menolak dialog ini. Lambert Pekikir,
salah satu komandan OPM di perbatasan Papua dan Papua Nugini mengatakan,
dialog hanya membuang-buang waktu. Yang dibutuhkan, katanya, adalah
perundingan.
“Akar persoalan di Papua adalah soal status politik Papua yang
dimanipulasi sejak tahun 1963 dalam peristiwa Pepera (Penentuan Pendapat
Rakyat)”, tegasnya kepada ucanews.com.
Ia menjelaskan, perlu ada pelurusan sejarah dahulu dan setiap kubuh,
yakni Indonesia dan Papua menyampaikan data sejarah masing-masing serta
kemudian dibicarakan bersama untuk menemukan kebenaran.
“Selama ini tidak dilakukan, maka tidak ada titik temu antara pemerintah di Jakarta dan kami orang Papua”, tegasnya.
Di tengah situasi demikian, Pastor Neles tetap yakin, dialog
Jakata-Papua mesti tetap diperjuangkan. Ia mengatakan, dialog tidak
bermaksud mempertanyakan keberadaan Papua dalam negara Indonesia.
“Pertanyaan yang perlu dibahas dalam dialog adalah bukannya: apakah
masa depan Papua berada di dalam atau di luar Negara Indonesia? Tetapi:
masa depan Papua seperti apa yang akan dibangun dalam Negara
Indonesia?”, katanya.
Ia menegaskan, semua pihak, terutama pemerintah tidak boleh memandang
dirinya sebagai satu-satunya pihak yang mampu mengatasi konflik Papua.
Selama ini, kata dia, pemerintah terbukti tidak berhasil menyelesaikan
konflik Papua melalui berbagai kebijakan yang ditetapkannya tanpa
keterlibatan pihak lain.
“Solusinya harus duduk bersama, mempertemukan semua pihak, lalu
bicara, apa yang harus dibuat untuk membuat Papua menjadi Tanah Damai.
Itulah yang ingin dilakukan dalam dialog”.
Sementara itu, Cypri Jehan Paju Dale, peneliti isu-isu pembangunan,
HAM dan gerakan sosial yang pada 2012 menulis buku Paradoks Papua
bersama Romo John Djonga, imam aktivis Papua, mengingatkan semua pihak
agar tidak terlena, menanti realisasi dialog baru berupaya mencari jalan
keluar terhadap persoalan di Papua.
Menurutnya, memang dialog itu penting dan perlu segera dilakukan,
namun kata dia, ada banyak sekali agenda konkret dan mendesak yang
menjadi tanggung jawab bersama pemerintah pusat dan daerah, masyarakat,
LSM serta lembaga-lembaga agama.
“Apakah tungguh dialog untuk penuhi hak-hak orang Papua di pedalaman,
akan guru dan sekolah berkualitas, akan dokter-dokter dan rumah sakit?
Apakah tunggu dialog untuk memberhentikan kebrutalan militer?” kata
Cypri kepada ucanews.com.
Ia menjelaskan, yang jadi masalah sekarang adalah dialog itu
diagung-agungkan sedemikian rupa seakan-akan itu adalah solusi atas
semua soal. Padahal, dalam proses menanti dialog ini, sejumlah persoalan
terus terjadi seperti pembangunan yang tidak menyasar orang asli Papua
di kampung-kampung, korupsi, perampasan dan pencaplokan sumber daya alam
serta marginalisasi.
Ketidakadilan, kata dia, adalah fakta telanjang yang perlu segera
disikapi. “Sentralisasi pembangunan di kota dan pusat-pusat migran jalan
terus. Fasilitas-fasilitas di kota-kota umumnya hanya dinikmati oleh
orang Papua kelas menengah ke atas dan orang-orang Indonesia yang
terus-menerus membanjiri Papua tanpa terbendung.”
Bagi alumnus Institute of Social Studies, Erasmus University, Belanda
ini, hal yang urgen adalah kebijakan pembangunan yang tepat,
komprehensif dan benar-benar adil bagi orang papua. “Contohnya, guru dan
sekolah-sekolah berkualitas untuk orang Papua di pedalaman. Dokter dan
pelayanan kesehatan yang prima. Hentikan pembabatan hutan dan
pencaplokan tanah, karena itu lumbung pangan orang Papua”.
Selain itu, katanya, berantas tuntas korupsi di kalangan birokrat dan
politisi di Papua. “Yang korupsi bukan hanya orang Papua seperti yang
selama ini distigmakan. Birokrat dan politisi di Papua itu terdiri dari
orang asli dan bukan orang asli, sehingga yang korup juga dua-duanyanya.
Korupsi ini halangan besar untuk keadilan di Papua.”
Upaya lain, menurut Cypri, adalah gerakan masyarakat sendiri untuk
menjadi mandiri, mengusut pelanggaran HAM, perampasan sumber daya dan
penghancuran ekosistem.
“Itu tidak perlu tunggu dialog yang sedang digembar-gemborkan itu”,
tegasnya. “Apalagi gagasan dialog juga sudah dibajak sebagian politisi
dan dipakai sebagai jargon untuk kepentingan mereka.”
Ryan Dagur, Jakarta
Sumber: http://indonesia.ucanews.com/2013/12/02/jalan-terjal-menuju-realisasi-dialog-jakarta-papua/