Call for NZ to offer asylum to Papuans deported by Australia

The New Zealand Green Party is calling on the government to give sanctuary to seven West Papuan asylum seekers from Indonesia who Australia flew from Queensland to Papua New Guinea last week.

The West Papuans had arrived in Australia, pleading to be recognised as political refugees from Indonesia.

Canberra has been accused of denying them due process and Green’s MP, Catherine Delahunty, says she has written to the New Zealand foreign minister, Murray McCully, to ask him to take action.

She says firstly Mr McCully should ask the Australian prime minister Tony Abbott to accept these people as political refugees from a neighbouring country that they clearly are.

“Secondly if he will not respond to that, that New Zealand should be prepared to offer asylum to these people because they are in a very unsafe situation. They were being hunted by the Indonesians in their own country and they really do need to be recognised as political refugees immediately rather than sent off to Papua New Guinea which is not even very safe for them.”

New Zealand Green Party MP, Catherine Delahunty

http://www.rnzi.com/pages/news.php?op=read&id=79600

Negara Vanuatu Minta PBB Invesitigasi Pelanggaran HAM di Papua

PAPUAN, Manokwari — Perdana Menteri Vanuatu, Moana Karkas Kalosil, pada 28 Agustus 2013 lalu telah menyerukan agar Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) segera mengirimkan Wakil Khusus untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua (Propinsi Papua dan Papua Barat), termasuk soal status politik. 
 
Di depan podium Debat Umum Majelis Umum PBB tersebut Kalosil berkata,  “Bahkan karena act of free choice (PEPERA, Red) yang kontroversial, rakyat Papua Barat hingga hari ini selalu ditolak untuk diakui secara sosial oleh PBB.”
 
Menurut Kalosil hal ini disebabkan karena PBB telah secara konsisten membantah pengakuan untuk Papua Barat (West Papua) selama ini, bahkan dia meminta agar negara-negara anggota PBB untuk tidak terlalu kuatir dengan kesalahan sejarah yang menghasilkan act of free choice pada rakyat Papua Barat.
Menurutnya sekaranglah saatnya untuk memperbaiki kesalahan tersebut, karena dengan memperbaiki kesalahan, maka solidaritas PBB akan semakin kuat.
 
Menurut Direktur Eksekutif LP3BH, Yan CH Warinussy, pernyataan dan penegasan PM Vanuatui tersebut telah menjadi sebuah langkah penting dalam konteks penegakan hukum dan keadilan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia di Tanah Papua yang terus memburuk sejak tahun 1969 hingga kini.
 
“Saya kira berbagai bentuk tindakan brutal dan melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berlaku universal sudah terjadi secara sistematis dan struktural oleh negara atas rakyat Papua selama ini, sehingga saya sebagai Pembela HAM sangat sependapat, apabila PBB bisa memainkan peran aktifnya dalam menghentikan itu semua di Bumi Cenderawasih tercinta ini,” ujar Warinussy.
 
Sebagai salah satu Peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM, “Saya ingin mendesak PBB juga untuk sudah saatnya mau melihat posisi dan kedudukan hukum dari rakyat Papua sebagai salah satu komunitas manusia adat sebagaimana diatur di dalam Deklarasi Internasional tentang masyarakat adat dan bangsa pribumi di negara-negara merdeka.”
 
“Dimana rakyat Papua sebagai umat manusia di dunia juga merupakan sebuah komunitas yang berasal dari rumpun Ras Melanesia yang patut dilindungi, karena tanah kelahirannya memiliki sumber daya alam yang kaya dan bisa dimanfaatkan secara baik, adil dan berkesinambungan bagi masa depan mereka dan dunia internasional umumnya,” ujarnya.
 
Soal status politik Papua adalah implikasi politik dari tinjauan kembali atas status dan hasil serta akibat dari penyelenggaraan tindakan pilihan bebas (act of free choice) yang tentu memerlukan kajian berdasarkan standar dan mekanisme  PBB sendiri.
 
“Tetapi soal pelanggaran HAM yang terus berlangsung dari waktu ke waktu di Tanah Papua oleh pemerintahan yang berkuasa saat ini adalah merupakan  hal yang tidak bisa ditoleransi dengan alasan apapun dan mesti dihentikan segera,” ujar pengacara senior di tanah Papua ini.
 
OKTOVIANUS POGAU/Suarapapua.com

DPR Papua Minta Jatah Penerimaan CPNS Di Papua Menjadi 1000 Orang

Kuota penerimaan CPNS 2013 dilingkungan Pemerintah Provinsi Papua sekitar 230 orang,  Jumlah tersebut dianggap sangat sedikit dan tidak akan mampu mengakomodir sebagian dari pelamar yang cukup membludak khususnya orang Asli Papua. Menyikapinya, DPR Papua menyurati Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, meminta kenaikan kuota menjadi 1000 orang.

“DPRP sudah menyurati secara resmi Menpan beberapa hari lalu, untuk meminta penambahan kuota penerimaan CPNS di Pemerintah Provinsi Papua, karena jumlah yang diberikan tahun ini sangat minim dan jauh dari harapan masyarakat Papua khususnya bagi yang memiliki kesempatan melamar CPNS,’’ tandas Wakil Ketua DPR Papua Yunus Wonda, Kamis 3 Oktober usai menggelar rapat Banmus

Menurut Yunus Wonda, masyarakat Papua sangat bersyukur dengan dibukanya lowongan kerja CPNS, namun kuota yang sangat sedikit yakni hanya sekitar 230 orang. ‘’Kita bangga dan bersyukur, pemerintah membuka lapangan kerja CPNS, tapi hanya 200an itu sangat kecil, tidak akan bisa mengakomidir secara signifikan jumlah pelamar,’’tegasnya.

Jumlah yang sangat kecil itu, lanjutnya, hanya akan mampu mengakomodir para honore yang sudah terdaftar dalam data base, sedangkan pelamar umum, sama sekali tidak akan tertampung. ‘’Jumlah honorer  saja sudah ratusan orang, lalu bagaimana dengan pelamar umum, kan mereka juga harus diberi kesempatan,’’tukasnya.

Pemerintah pusat, kata dia, mestinya lebih akomodatif dalam membuka lowongan penerimaan CPNS di Papua, dengan memberikan kesempatan kepada orang asli Papua dengan kuota penerimaan yang besar. ‘’Pemerintah harus serius melihat persoalan Papua, jangan sampai nanti Papua  menjadi gudangnya para pengangguran, apalagi lulusan perguruan tinggi di Papua seperti Uncen, setiap tahun bisa mencapai ribuan orang,’’ketusnya.

Memang, sambung Yunus Wonda, pemerintah juga membuka lowongan penerimaan CPNS di tingkat kabupaten/kota, namun untuk tingkat provinsi kuota yang diberikan saat ini sangat kecil, sehingga kurang aspiratif. ‘’Sekali lagi saya katakan, jumlah itu sangat minim, jadi kami berharap pemerintah pusat merealisasikan permintaan kami yakni menjadi 1000 orang,’’tegasnya.

Politis Partai Demokrat itu mengatakan, pihaknya masih menunggu jawaban dari Menpan terkait permintaan penambahaan kuota menjadi 1000 orang. ‘’Sekarang ini kan sudah masuk tahap pendaftaran, sehingga Kemen PAN diharapkan segera merealisasikan permintaan masyarakat Papua tersebut,’’imbuhnya.

Sementara itu puluhan pegawai honorer Dinas tenaga Kerja Provinsi Papua mendatangi DPRP guna meminta kejelasan nasib mereka. Pasalnya, mereka belum masuk dalam data base untuk ikut seleksi penerimaan CPNS.  Hal itu diungkapkan Anggota Komisi B DPRP Thomas Sandigau.

“Puluhan pegawai honorer Disnaker Provinsi itu datang mengadukan nasib mereka yang hingga kini belum jelas. Mereka meminta DPRP mendatangi Disnaker guna menanyakan, kenapa mereka tidak diikutkan dalam seleksi CPNS,’’ungkap Thomas.

Lanjut Thomas, dari pertemuan itu, para honorer Disnaker menyatakan keinginan mereka untuk ikut tes seleksi penerimaan CPNS.  ”Mereka yang ingin ikut tes, karena ada yang sudah mengabdi sejak 2003 lalu, tapi hingga kini belum diangkat-angkat,’’pungkasnya.

Thomas mengakui, banyak tenaga honorer yang sudah lama mengabdi dilingkungan pemerintah, baik  provinsi maupun kabupaten/kota, tapi hingga kini tidak pernah jelas nasibnya. ‘’Wajar saja mereka mempertanyakan nasibnya, sudah lama mengabdi tapi statusnya belum jelas,’’tandasnya.

Pemerintah seyogyanya memperhatikan nasib para tenaga honorer ini, dengan memberikan mereka kesempatan untuk mengikuti tes seleksi CPNS.  “Kami akan panggil Disnaker guna mempertanyakan nasib puluhan CPNS ini, terutama kenapa mereka tidak diikutkan menjadi peserta tes seleksi CPNS,’’imbuhnya.
Bahkan, tambahnya, dalam 1 atau 2 hari kedepan, DPRP akan mengadakan pertemuan dengan Disnaker. 
‘’DPRP akan panggil Disnaker untuk rapat dengar pendapat mengenai nasib mereka, jika memang kuota penerimaan yang terbatas, DPRP akan berupaya memperjuangkannya ke pemerintah pusat, agar mereka bisa diakomodir,’’tandasnya.
(Sumber : BintangPapua)

Potret Pendidikan Pedalaman Papua Barat yang Tak 'Seindah' Alamnya

Mengunjungi kampung kampung di Pedalaman papua
detikTravel Community -  Hijaunya alam dan kepulauan di Papua pasti membuat para wisatawan terkagum-kagum. Tapi lebih dari itu, rupanya pendidikan di sana masih berbanding 180 derajat dengan pendidikan di kota-kota lainnya. Sedih, miris, dan prihatin.

Pendidikan bermutu semakin jauh dari kelompok miskin, situasi inilah sedang dialami oleh warga pedalaman Papua Barat. Mereka masih sulit mengakses pendidikan.

Sejak pendidikan menjadi komoditi yang diperdagangkan dan lembaga pendidikan beralih fungsi dari lembaga sosial menjadi lembaga komersial, pendidikan yang bermutu semakin jauh dari jangkauan kelompok miskin. Kian mahalnya biaya pendidikan membuat keluarga miskin seringkali harus menyerah meski anak-anak mereka berprestasi.

Bahkan sekadar bermimpi dapat menyekolahkan anak hanya setingkat SMA saja mereka tak berani lagi. Anak-anak pun mereka paksa untuk menanggalkan mimpi sejak dini.

Ketika saya mengunjungi kampung-kampung di Kabupaten Maybrat, Propinsi Papua Barat, menyaksikan sendiri bagaimana kondisi sekolah dasar di sana. Tampak, pemandangan dari kondisi sekolah SD di sana adalah fenomena bahwa sekolah mereka ditelantarkan.

Memang di negeri ini tengah berlangsung proses kemiskinan yang jauh lebih buruk dari yang kita bayangkan. Dulu meskipun miskin, orang tua dan anak-anak dari keluarga miskin masih berani bermimpi. Sebab dulu masih terbuka peluang bagi anak-anak keluarga miskin untuk mewujudkan mimpinya.

Tidak heran kalau dulu banyak anak dari keluarga miskin berhasil meraih pendidikan tinggi. Tapi sekarang sekadar bermimpi bisa menyekolahkan anak sampai SMA saja mereka sudah tidak berani. Realitas di sekeliling mereka mengajarkan anak-anak miskin yang nekat menerobos masuk ke jenjang SMA berakhir dengan putus sekolah.

Kabupaten Maybrat terletak di bagian selatan Kota Sorong, butuh waktu 5-10 jam perjalanan ke wilayah ini. Kabupaten Maybrat merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong Selatan. Fasilitas publik sangat terbatas seperti transportasi, listrik, fasilitas kesehatan juga pendidikan. Bahkan di beberapa tempat tidak tersedia signal handphone.

Ironisnya Kabupaten Maybrat memiliki kekayaan alam yang luar biasa namun kekayaan alam itu dikuasai korporasi. Warga lokal tetap hidup miskin dan menjadi penonton proses pengerukan kekayaan alamnya.

Terbukti ketika saya mengunjunggi beberapa sekolah di beberapa kampung mendapatkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Berikut adalah sedikit gambaran tentang kondisi sekolah dasar di Kabupaten Maybrat.

SD di Kampung Seiya


Sekolah dasar di kampung ini sudah berjalan sejak 1952, bersamaan dengan berdirinya kampung Seiya. SD yang dibangun oleh Belanda ini biaya operasionalnya dulu juga disubsidi oleh Belanda.

Sekolah ini menjadi satu-satunya sekolah dasar bagi lebih dari 134 KK dan 459 warga kampung Seiya. Warga di kampung ini mengaku, SD di kampung mereka sudah mencetak banyak lulusan yang menjadi sarjana.

Sayangnya kualitas pendidikan di SD ini semakin lama semakin merosot, justru setelah berada dalam pengelolaan pemerintah RI. Sejak 2001 proses belajar mengajar di sekolah ini tersendat.

Bahkan dari tahun 2005 sampai 2010 proses belajar mengajar praktis terhenti karena tidak ada guru. Hanya ada kepala sekolah yang merangkap sebagai guru. Guru yang hanya satu ini pun sudah lama tidak hadir. Proses belajar mengajar macet dan siswanya terlantar.

Sekitar 30 anak yang tengah menempuh pendidikan di SD itu akhirnya putus sekolah. Hanya ada 3 anak di kelas 6 yang masih terus bersekolah karena orang tua memindahkan mereka ke SD di kampung lain. Kondisi ini membuat kepala kampung mendatangi bupati, dinas pendidikan dan uskup (kepala gereja setempat).

Pada tahun 2010, proses belajar mengajar di SD ini mulai berjalan kembali setelah seorang pastur (rohaniwan Katolik) sukarela menjadi kepala sekolah. Lalu mengajar di sekolah itu bersama seorang guru honorer. Namun gaji guru honorer ini pun tersendat.

6 bulan berturut-turut guru honorer mengajar tanpa gaji. Demi menjaga keberlangsungan proses belajar mengajar, masyarakat akhirnya bergotong royong mengumpulkan uang untuk membayar gaji guru honorer.

Selain ketiadaan guru, masalah lain yang dihadapi sekolah ini adalah ruang kelas dan buku. Rombongan belajarnya ada 6. Tetapi ruang kelasnya hanya ada 3. Jadi satu kelas dipakai untuk 2 rombongan belajar. Kantor guru pun tidak ada. Selain itu juga tidak ada buku paket untuk siswa. Bahkan buku pegangan untuk guru pun tidak ada.

Kampung Seiya sendiri adalah kampung terjauh di Distrik Mare, berjarak 30 Km dari Kampung Sire. Jarak tempuh yang jauh dan minimnya sarana prasarana sekolah, serta minimnya fasilitas untuk guru, membuat guru tidak betah mengajar di kampung ini.

Ini yang membuat proses belajar mengajar di SD Seiya berjalan seadanya. Para orang tua di kampung ini merasa jadi korban pemerintah yang kurang memberikan perhatian terhadap pendidikan dasar. Ada orang tua yang mengaku anaknya baru bisa masuk SMP setelah berumur 15 tahun.

Ketiadaan guru dan tersendatnya proses belajar mengajar membuat anaknya terlambat masuk SD. Setelah lulus SMP anaknya memutuskan untuk tidak melanjutkan ke SMA. Ia malu karena umurnya sudah lewat.

SD di Kampung Sun

Tahun 1999-2000 Kampung Sun mulai berdiri dan sejak saat itu pula berdiri sekolah dasar darurat yang dibuat warga dari bilik bambu. Meski sudah dibangun sejak tahun 2000, namun proses belajar mengajar baru berjalan tahun 2001.

Waktu itu hanya ada satu guru yang mengajar. Tapi kemudian guru ini dipindahkan. Tahun 2002-2008 pendidikan berjalan tersendat. Pada akhirnya berhenti karena tidak ada guru. Masyarakat kemudian pergi ke Sorong Selatan menghadap dinas pendidikan. Mereka bicara soal pendidikan di kampung mereka.

Pada tahun 2007 masyarakat berswadaya untuk membangun ruang kelas, mengganti bilik bambu menjadi bangunan permanen. Tahun 2008 bangunan sekolah berhasil diselesaikan. Setelah ruang kelas berdiri, masyarakat menghadap dinas pendidikan agar sekolah mereka diberi tenaga guru. Tahun 2009 ada tenaga guru yang ditempatkan di kampung ini.

Sebelum ada tenaga guru tetap, siswa di SD ini diajar oleh seorang warga kampung yang secara sukarela mengajar anak-anak. Tenaga sukarela ini mengajar dari tahun 2007-2009. Tahun 2009 guru sukarela ini berhenti mengajar karena diangkat PNS dan ditempatkan di kecamatan lain.

SD di kampung ini sebelumnya hanya menyelenggarakan pendidikan sampai kelas 3. Untuk melanjutkan ke kelas yang lebih tinggi mereka harus pergi ke SD induk yang yang ada di ibukota Distrik. Namun sejak 2008-2009, SD ini mulai menyelenggarakan pendidikan untuk siswa kelas 4 dan 5. Kelas 6 baru dibuka pada tahun 2010.

Sekarang ada 2 guru di SD ini. Satu guru merangkap sebagai kepala sekolah. Meski sudah ada 2 guru tetap, tetapi proses belajar mengajar belum juga berjalan lancar.

Kehadiran guru masih menjadi masalah. Warga mengaku, dalam satu tahun hanya 3-4 bulan saja guru hadir mengajar. Selebihnya, guru pergi ke kota dan meninggalkan sekolah, entah untuk urusan dinas atau urusan keluarga.

Selain kehadiran guru, buku juga jadi masalah. Buku paket untuk murid dan buku pegangan untuk guru sangat tidak memadai. Baik dari segi kurikulum, keutuhan kondisi buku maupun jumlahnya. Meski guru sering tidak hadir dan buku tidak cukup tersedia, anehnya saat ujian nasional siswa di SD ini lulus 100 persen.

Padahal anak-anak menghadapi ujian nasional tanpa persiapan belajar karena guru tidak ada dan buku juga tidak ada. Guru baru datang beberapa hari menjelang pelaksanaan ujian. Masyarakat dibuat tidak mengerti dengan kelulusan yang 100 persen ini.

Rendahnya kualitas pendidikan dasar di sini membuat anak-anak dari Kampung Sun yang melanjutkan SMP di Kota Sorong. seringkali merasa minder karena pelajaran mereka tertinggal jauh dari anak-anak kota. Rasa minder ini seringkali juga membuat anak-anak dari kampung ini memutuskan untuk meninggalkan sekolah.

Mereka merasa kesulitan untuk mengejar pelajaran yang tertinggal dengan siswa yang bersekolah di kota. Kondisi ini sangat disayangkan mengingat anak-anak kampung itu sebenarnya pintar. Tapi karena proses belajar mengajar di SD tidak lancar, akhirnya mereka yang jadi korban.

SD di Kampung Mosun


SD di kampung ini kondisinya lebih baik daripada SD di 2 kampung tadi. Ada 4 tenaga guru yang mengajar di sana, terdiri dari kepala sekolah, 2 guru tetap dan satu guru honorer. Kepala sekolah dan guru semuanya asli anak kampung setempat. Ruang kelas juga ada 6, jadi setiap rombongan belajar menempati satu ruang kelas.

Meski sudah ada 4 tenaga guru, tapi tetap saja guru dirasa kurang. Kepala sekolah sendiri mengajar 3 kelas, kelas 1,2 dan 3. Itulah mengapa ruangan di kelas 1,2 dan 3 dibuat tanpa sekat. Dengan cara demikian, guru bisa dengan mudah mengawasi dan pergi dari satu kelas ke kelas yang lain.

Berbeda dengan 2 SD yang terdahulu, kepala sekolah di SD ini lebih punya komitmen dan dedikasi terhadap pendidikan. Ini yang membuat kepala sekolah mengambil tanggung jawab untuk mengajar kelas 1,2 dan 3 yang menurutnya lebih butuh perhatian. Dengan mengambil 3 kelas pertama, kepala sekolah di SD ini punya target. Siswa yang duduk di kelas 4 sudah lancar membaca.

Meskipun jumlah guru relatif mencukupi dibandingkan SD di 2 kampung lainnya. Bukan berarti tidak ada lagi masalah di SD ini. Seperti 2 SD sebelumnya, SD di sini juga menghadapi kendala ketiadaan buku paket untuk para siswa. Sebenarnya ada dana BOS yang bisa dipakai untuk beli buku.

Namun pada kenyataannya dana BOS tidak mencukupi untuk beli buku. Pemberian dana BOS itu sendiri tidak memperhitungkan besarnya transportasi untuk pembelian perlengkapan belajar mengajar. Padahal membeli perlengkapan itu harus ke kota dan biaya transportasi mahal sekali. Sekali jalan Rp 350.000.

Guru SD tidak mendapatkan fasilitas transportasi yang memudahkannya dalam menjalankan tugas. Sementara dalam dana BOS juga tidak ada komponen untuk membiayai transportasi guru untuk keperluan dinas. Jadi kalau ada keperluan dinas di kabupaten, guru harus membiayai sendiri transportasinya.

Sebelum ada dana BOS, kepala sekolah, guru dan masyarakat di kampung ini bergotong royong membayar guru honorer. Bahkan kepala sekolah dan guru di SD ini secara sukarela menyerahkan gajinya Rp 50.000–Rp 100.000 setiap bulan untuk membayar gaji guru honorer.

Padahal gaji kepala sekolah hanya Rp 2 juta dan setelah dipotong macam-macam. Setiap bulan gajinya tinggal tersisa Rp 1 juta untuk membiayai hidup keluarganya. Tingkat kesejahteraan guru SD sangat rendah.

Selain gaji yang tidak mencukupi, sudah 11 bulan lebih guru belum terima jatah beras, uang lauk pauk dan insentif. Tidak heran kalau guru juga harus berkebun dan mencari tambahan penghasilan guna menutupi kekurangan. Fasilitas untuk tempat tinggal guru juga tidak ada. Para guru masih numpang tinggal pada warga.

SD di Kampung Konja

Sekolah Dasar di kampung ini sudah berjalan sejak tahun 1961. Hanya saja SD ini baru menyelenggarakan pendidikan untuk kelas 5 dan 6 tahun tahun 2005/2006. Sebelumnya hanya ada kelas 1 sampai kelas 4 karena sekolah ini statusnya masih SD basis, yang menyelenggarakan pendidikan hanya sampai kelas 4. Untuk melanjutkan ke kelas 5 dan 6 murid SD ini harus pergi ke SD induk yang ada di Ayawasi.

Sejauh ini proses belajar mengajar berjalan lancar karena tenaga guru lebih banyak daripada di SD lainnya. Ada 6 guru, termasuk kepala sekolah yang berstatus PNS. Selain guru tetap, ada juga guru relawan yang mengajar tanpa dibayar.

Bahkan di sini ada guru relawan yang sudah 10 tahun mengajar. Guru yang mengajar di SD ini adalah juga warga kampung setempat. Karena itulah sekolah di sini tidak punya masalah dengan mangkirnya guru. Sebab para guru yang mengajar di sekolah ini punya komitmen dan dedikasi tinggi terhadap pendidikan di kampung mereka. Mereka punya prinsip, mengajar di sekolah kampung seperti membangun kampung sendiri.

Terkait dengan tenaga guru, masalah yang dihadapi SD di kampung ini bukanlah ketiadaan atau ketidakhadiran guru. Tetapi usia para guru yang sudah mendekati pensiun. Padahal sampai sekarang belum ada tenaga guru muda yang diharapkan dapat menggantikan mereka.

Selain itu, fasilitas bagi para guru juga minim. Para guru belum punya rumah. Mereka masih tinggal menumpang di rumah-rumah warga. Kesejahteraan guru sangat rendah, sehingga guru terpaksa harus berkebun untuk dapat mencukupi kebutuhan keluarganya.

Sama seperti di SD lainnya, listrik tidak ada. Demikian juga dengan buku-buku yang menunjang kelancaran belajar mengajar. Buku paket yang ada sudah kadaluwarsa, tidak sesuai lagi dengan kurikulum yang berlaku. Kurikulum sudah beberapa kali berubah, sementara buku pegangan guru dan buku paket untuk murid dari dulu belum juga diganti.

Relatif lancarnya proses belajar mengajar di sini tidak terlepas dari peran masyarakat yang aktif mendukung kelancaran proses belajar mengajar. Dukungan masyarakat terhadap pendidikan dasar diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti swadaya menambah ruang kelas, pengadaan mebel (kursi dan bangku), pengadaan buku pelajaran untuk siswa.

Kalau tidak ada dukungan dari masyarakat, bisa jadi proses belajar mengajar juga akan tersendat seperti yang terjadi pada SD di kampung lain. Mengingat dana BOS tidak mencukupi untuk membiayai operasional sekolah.

Bayangkan saja pada tahun 2008 pemerintah memberikan bangku sekolah untuk SD di sini tanpa dilengkapi dengan kursi. Anak-anak pergi ke sekolah dengan membawa kursi sendiri. Kondisi ini membuat masyarakat bergotong royong membeli kursi untuk sekolah.

Demikian juga dengan buku. Dengan dana BOS, sekolah hanya bisa membeli dua buku. Buku lainnya dibeli dari dana yang dikumpulkan oleh masyarakat. Bahkan pelaksanaan ujian nasional dan ujian sekolah pun dibiayai oleh masyarakat. Untuk mendapatkan dana bagi sekolah di kampung mereka, masyarakat memutuskan untuk membuat lelang hasil buruan. Menarik sumbangan sukarela dari warga masyarakat yang bukan orang tua murid dan menarik sumbangan wajib dari para orang tua murid.

Meski hanya sedikit yang saya paparkan, namun yang sedikit ini dapat memberikan gambaran tentang kondisi sekolah dasar di pedalaman Papua. Sebab meskipun ragam masalah yang dihadapi sekolah-sekolah di pedalaman Papua berbeda-beda, namun perbedaan itu punya akar yang sama. Yaitu miskinnya komitmen pemerintah terhadap kualitas pendidikan dasar di pedalaman. Semangat anak-anak untuk belajar dan animo masyarakat terhadap pendidikan seperti bertepuk sebelah tangan.

Kita tidak bisa menutup mata terhadap kondisi pendidikan dasar bagi anak-anak di daerah pedalaman. Anak-anak di pedalaman itu butuh dukungan dan solidaritas kita. Kita bisa berbuat sesuatu bagi mereka. Kami sendiri juga tidak akan menutup mata. Kami tengah berupaya melakukan sesuatu untuk mereka.
Punya cerita dan foto pengalaman traveling yang menarik? Share disini yuk! 


 Sumber: http://travel.detik.com/read/2013/10/05/101400/2084547/1025/potret-pendidikan-pedalaman-papua-barat-yang-tak-seindah-alamnya?991104topnews

Aksi KNPB BIAK - WEST PAPUA

Aksi KNPB Biak untuk Menyampaikan Terima Kasih Kepada Pemerintah Vanuatu
Biak – 4 Oktober 2013, KNPB Biak pada tanggal 3 Oktober 2013 telah mengumumkan hasil pandangan Pemerintah Vanuatu tentang West Papua pada sidang tahunan PBB September 2013. Rakyat dari kampung-kampung memadati halaman Pendopo Adat Sorido KBS untuk mendengar penyampain hasil tersebut yang diumumkan oleh KNPB Biak.

Aks ini dilakukan juga untuk menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Vanuatu yang telah mengangkat West Papua pada Debat Majelis Umum PBB pada sidang tahunan PBB September 2013.


 Sumber :KNPBnews.com
 

Bupati Nabire Serahkan Bantuan Kepada Pedagang Kaki Lima Asli Papua

Nabire - Bupati Isaias Douw, S.Sos menyerahkan bantuan modal usaha dan alat dagang (timbangan) kepada pelaku usaha pedagang kaki lima dan asongan asli Papua. Penyerahan bantuan modal usaha yang bersumber dari dana Otsus tahun anggaran 2013 ini berlangsung di Kantor Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Nabire, Kamis (3/10) siang. 

Sebelum menyerahkan bantuan tersebut, Bupati Isaias dalam arahannya mengatakan bantuan yang diserahkan ini merupakan program pembinaan para pelaku usaha kecil, pedagang kaki lima dan asongan asli Papua dengan harapan dapat meningkatkan tertib ukur di segala bidang serta memberikan kontribusi bagi daerah melalui pendapatan asli daerah.

“Hal ini merupakan salah satu langkah maju bagi pelaku pedagang kaki lima dan asongan asli Papua sesuia Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Tera Ulang,” terang bupati.

Lanjutnya, terkait dengan adanya dana Otsus tahun anggaran 2013 ini, pemerintah daerah melalui Dinas Koperindag Nabire khususnya Bidang Metrologi dan Perlindungan Konsumen memberikan fasilitas bantuan berupa timbangan dan modal usaha bagi pedagang kaki lima dan pedagang asongan asli Papua di daerah ini.
Pemerintah daerah bukan hanya mengejar pendapatan asli daerah saja, namun pemerintah selalu dan selalu memikirkan masyarakat pribumi, yang selama ini khususnya pedagang kaki lima asli Papua hanya melalukan transaksi jual beli barang yaitu dengan sistem setumpuk, dua tumpuk atau lainnya.

Sehingga dengan adanya bantuan alat timbangan ini dapat berdagang dengan baik dan terukur. “Dengan adanya bantuan ini diharapkan para penerima dapat menggunakan sebaik-baiknya, agar terwujud perdagangan yang jujur, adil dan transparan,” tandasnya.

Diakhir sambutannya, bupati menekankan melalui motto ‘Membara Kasih Kediri Masyarakat, saya mengajak kita sekalian untuk menyatukan hati, membulatkan tekan untuk membangun Kabupaten Nabire menjadi lebih baik sesuai dengan profesi dan talenta yang Tuhan berika kepada kita.

“Kita pelihara situasi daerah agar tetap kondusif, sehingga roda pemerintahan tetap berjalan sesuai dengan harapan kita bersama,” tekan bupati seraya menambahkan bantuan ini bukan pertama kali ini saja, sebelumnya juga telah disalurkan bantuan kepada sejumlah koperasi yang ada di daerah ini.

Kepala Diskoperindag Nabire Bambang Agus Widjanarko, menambahkan dana bantuan modal usaha yang diserahkan sekitar Rp.72.000.000 dari 30 pedagang kaki lima dan asongan yang memiliki kios atau tiap pedagang menerima Rp. 2.400.000, ditambah masing-masing menerima alat timbangan.

(Sumber : Papuaposnabire)

Siapa Penerus Nomor 10 Di Persipura ?

Ada yang datang dan ada pula yang pergi. Itu biasa dalam sebuah klub sepakbola profesional. Satu demi satu pemain akhirnya hengkang.Pemain mungil gelandang serang Persipura Zah Rahan pertama kali menyatakan niat kepergiannya, mencari suasana baru di negeri jiran Malaysia.

“Saya pergi dan akan kembali,”kata Zah Rahan Krangar, usai Persipura mengalahkan tim All Star di Lapangan Mandala, Sabtu (21/9).  Zah Rahan juga yang memberikan assist kepada Boaz dan Ian Luiz Kabes saat tim bertajuk Mutiara Hitam menang tipis 2-1 atas tim Samba Brasil, Santos FC U 23 di Jogyakarta, Kamis(3/10).

Bahkan kelincahaannya itu pemain asal Liberia ini mendapat pujian dari pelatih Santos , Ballio dalam konferensi pers seusai pertandingan. Pelatih Santos pun melontarkan pujian kepiawaian talenta Persipura karena bermain sangat kompak, terorganisir, dan mereka punya taktik permainan serta para pemain yang bagus.

Pemain kelahiran Monrovia, Liberia, 7 Maret 1985 itu, sangat lincah dan merupakan “otak” dari permainan Mutiara Hitam, terutama dari sektor tengah. Gaya main yang elegant dan didukung oleh skill di atas rata-rata, Zah Rahan menjadi salah satu gelandang asing terbaik di Indonesia.

“Permainannya agak beda dengan pemain lainnya dan memiliki visi dalam bermain,”kata Jance Rumbino mantan Kapten Cenderawasih FC klub IPL dari Jayapura, Papua. Dia tampil bagus dan sulit mencari pemain mirip Zah Rahan. Memang ada pemain lain seperti Erick Wicks, Mbida Messy, David Laly, Gustavo Lopez tetapi Zah Rahan masih unggul di antara mereka.

Kondisi ini pula diakui oleh asisten pelatih Persipura Cristian Leo Jarangga, karena Zah Rahan selalu tampil prima. “Persipura tampak kewalahan melawan Persib Bandung, beruntung Persipura bisa menang tanpa kehadiran Boaz dan Zah Rahan,”kata Jarangga seraya menambahkan peran Bochi dan Zah Rahan sangat besar dalam tim. Walau demikan Jarangga menegaskan kalau Persipura selalu mengutamakan kolektivitas ketimbang  permainan individu.

Pemain timnas Liberia ini juga termasuk pemain multi fungsi yang bisa ditempatkan di segala sektor. Selain Zah, pemain bernomor punggung 13 Ian Luis Kabes, juga pemain yang mampu bermain diberbagai sektor. Namun pemain nomor 10 Zah mampu memberikan umpan-umpan matang sehingga selalu memanjakan para striker Persipura.

Pemain yang akan bermain di Liga Malaysia ini tinggal di Monrovia , Liberia dalam permukiman berbentuk apartemen atau rumah susun. Tak heran kalau setiap naik turun tangga dia selalu berjuggling dengan bola. Para penghuni rusun di Monrovia merasa terganggu dan menegur si kecil Zah. Bukan takut malahan dia keasyikan berjogling tanpa menghiraukan mereka. Hasilnya memang tak sia-sia kemampuan skill terus terasah, bahkan memperkuat timnas Liberia. Tempat asal Zah Rahan pernah pula melahirkan salah seorang bintang AC Milan, George Weah.

Kini Zah pergi dan siapa pewaris nomor punggung 10. Pemain Persipura sebelumnya yang  menggunakan nomor punggung 10 adalah mantan kapten Persipura Eduard Ivakdalam. Agaknya pemain bernomor punggung 10 termasuk penting dan langka.

(Sumber : Tabloidjubi)



 
Copyright © 2013. RASUDO FM DOGIYAI - All Rights Reserved

Distributed By Free Blogger Templates | Lyrics | Songs.pk | Download Ringtones | HD Wallpapers For Mobile

Proudly powered by Blogger