Yoman: Indonesia Hancurkan Nilai Budaya Papua

Pendeta Socrates Sofyan Yoman. Foto: Hengky Y.
Jayapura, MAJALAH SELANGKAH -- Pendeta Socrates Sofyan Yoman, Ketua Persekutuan Gereja Gereja Baptis di Papua menaggapi sweeping serta menyita kartu-kartu memory dan handphone milik warga yang berisi lagu-lagu bahasa daerah Papua di kabupaten Paniai, Papua. Seperti yang diberitakan tabloidjubi.com bahwa polisi menyita kartu memory dan handphone milik warga yang berisi lagu-lagu daerah dan dihancurkan dengan batu. Keprihatinan atas tindakan polisi ini diungkapkan Yoman  dalam acara Jumpa Pers di toko buku Yoman Ninom Jalan Tabi Tobati 01 Kota Raja, Jayapura, Papua, Rabu (6/3).

Socrates menilai tindakan polisi di Paniai itu menandakan bahwa orang Indonesia mau menghancurkan bangsa-bangsa yang dijajahnya. Nilai budayanya dihancurkan, nilai bahasanya juga dihancurkan, kesenian di hancurkan, ekonomi di hancurkan dan kreativitas bangsa Papua dihancurkan supaya kita tidak punya pegangan di kemudian hari.

"Tindakan polisi dai Paniai itu tidak manusiawi, itu menandakan bahwa meraka mau menghancurkan budaya, nilai bahasa, keseniai, ekonomi maupun kreativitas bangsa Papua supaya kita tidak punya pegangan pada waktu yang akan datang," kata Yoman.

"Apabila kita membaca Buku  yang berjudul Mitos Pribumi Malas yang ditulis oleh Alatas dalam buku menjelaskan mengenai penjajahan Spanyol terhadap Philipina, Belanda menjajah Indonesia. Mereka bilang orang penduduk asli itu tidak punya budaya peradaban, tidak punya apa-apa kaum miskin, kaum tidak sanggup seperti Negara Kesatuan Republik Indonesia sedang menjajah bangsa Papua dengan sistem yang terstruktur," tambah Yoman.

Penghancuran budaya Papua Seperti tulisan Nungroho yang di muat di The Jakarta Post 10 Juli 2012  bahwa The Generatif Politic menurut Pak Nungroho adalah  pandangan-pandangan politik dan angapan-angapan yang yang melumpuhkan dan memperburuk kondisi Masyarakat Papua yang dilaksanakan mendasari  kebijakan publik oleh Pemerintah Indonesia di Papua selama 50 tahun.

Dengan fakta ini saya mau katakan bahwa "Indonesia merasa terganggu dengan keberadaan Orang Papua di Tanah Papua ini, Orang Papua harus dimusnahkan supays kita ambil mereka punya harta kekayaan itulah yang ada di benak Orang Melayu, Orang Indonesia," tuturnya. 

Benny Giyai juga membenarkan hal itu "kadang kita terjebak, kita terkadang bicara mengenai kekerasan Fisik saja, tetapi kekerasan itu juga di lakukan melaui Budaya kekerasan Simbolis kekerasan Psikologis salah satunya adalah, Pelarangan masyarakat terhadap kultural kecuali sama dengan gaya dan seni penguasa kebebasan untuk masyarkat melakukan seni juga di kontrol seperti Arnol Ap dengan Group Mambesak hal ini membuat negara juga terganggu sehingga mereka dibunuh," Tutur Giyai. (MS)





Festival Budaya SMA Adhi Luhur Meriah: Diapresiasi dan Dikritik

Saat dramatari "Upacara Pemberian Nama Anak Adat dan Ratapan Mama-mama Papua" dipentaskan pada Festival Budaya SMA Adhi Luhur Nabire. Foto: Yermias Degei
Nabire, MAJALAH SELANGKAH -- Sekolah Menengah Atas (SMA) YPPK Adhi Luhur, Kolese Le Cocq dArmandville Nabire Papua menggelar Festival Budaya di halaman sekolahnya, Jalan Merdeka Nabire, Sabtu, (02/11/13).
 
Festival digelar meriah. Tampak anak-anak SMA dari berbagai suku yang sekolah di SMA ini mengenakan pakaian adat mereka masing-masing. Tidak hanya para murid, para guru di sekolah ini tampak mengenakan pakaian adat mereka. 

Tidak seperti Festival Budaya tahun-tahun sebelumnya, tampak di tangan tamu dan undangan terlihat bendera merah putih berukuran kecil. "Kami diberi bendera kecil di pintu masuk oleh penerima tamu. Ya, pegang saja," kata Stevanus Mote.  

"Budaya itu bukan hanya soal-soal tampilan, melainkan merupakan seluruh proses kerja. Akhirnya, saya menyampaikan selamat menikmati tampilan-tampilan gelaran budaya dari suku dan etnis yang ada di SMA Adhi Luhur," demikian kata Kepala SMA Adhi Luhur, V. Seno Hari Prakoso, SJ mengakhiri sambutannya. 

Tampilan drama dari suku Asmat, "Perayaan Pembabtisan" dari para Tahun Orientasi Rohani (TOR) dari lima keuskupan di tanah Papua menandai pembukaan Festival ini. 

Bupati Nabire, Isaias Douw dalam sambutannya yang dibacakan Asisten II, Sukadi mengatakan, kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia dari tiap suku bangsa di dunia. Maka, kebudayaan menunjukkan identitas sebuah suku yang harus terus diwariskan oleh generasi muda di zaman ini.
"Saat ini, budaya kita mulai terkikis oleh perubahan zaman. Maka, saya apresiasi apa yang dilakukan SMA  Adhi Luhur ini. Karena budaya adalah perwujudan harga diri sebagai manusia," kata Bupati. 

Selanjutnya, penabuhan tifa Papua oleh Bupati Nabire menandai pemukaan Festival ini secara resmi. Disusul, para siswa menyanyikan lagu Theme Song yang diciptakannya sendiri sebagai opening ceremony dilanjutkan catwalk dari masing-masing suku. 

Sebuah drama bertema "Perayaan Keberagaman" sosial budaya yang dibawakan para siswa kelas XII usai opening ceremony cukup mengundang tawa hadirin. Drama ini mengisahkan bagaimana kehidupan masyarakat Indonesia yang multi etnis dengan kompleksitas masalahnya. 

Tidak disangka, kritik muncul dari orang tua murid atas drama ini. "Drama ini panjang. Saya justru melihat drama ini lebih banyak diperlihatkan superioritas suku tertentu atas suku lain. Juga, menempatkan tokoh anak Papua ini sebagai pencuri dalam drama ini. Peran dia hanya pencuri, ini bisa menyinggung perasaan orang tua murid, walaupun ingin gambarkan kehidupan sosial kita di Indonesia," kata Antomina.    

Usai drama yang cukup panjang ini, tamu undangan diarahkan ke stand-stand yang menyajikan makanan khas dan karya seni dari tiap suku. Ada makanan khas Batak, Jawa, Bali, Timor, Toraja, Key, Pesisir Papua, Pegunungan Papua, dan Cina. Icip-icip makanan khas berlangsung  sekitar 30 menit. 

Tarian Yospan (Yosim Pancar) secara bersama mengundang para tamu kembali mengikuti acara inti. Acara inti diawali sebuah drama. 

Beberapa siswa berpakaian adat Koteka (pakaian adat laki-laki Pegunungan Papua dan Moge (pakaian adat perempuan Pegunungan Papua) memasuki arena utama dari dua pintu yang didesain khas Papua. 
 
Menyimak Dramatari Papua

"Kehidupan di sekitar Danau Wissel," demikian sebuah papan nama dipajang. Drama "Upacara Pemberian Nama Anak Adat dan Ratapan Mama-mama Papua" dimulai. Ini adalah sebuah dramatari gabungan suku-suku pegunungan Papua dan pesisir Papua yang sekolah di SMA Adhi Luhur. 

Intinya, drama ini menceritakan bagaimana kehidupan orang Papua sebelum ada kontak dengan dunia luar. Para siswa menggambarkan bagaimana kehidupan masing-masing suku sebelum ada kontak dengan dunia luar. 

Pertemuan orang Papua gunung dan orang Papua pesisir pada zaman dahulu digambarkan kembali dalam drama ini. Beberapa anak berpakaian pegunungan Papua bertemu dengan beberapa anak berpakaian pesisir Papua. Di sana terjadi kontak antar mereka dan membangun hubungan sosial dan ekonomi. 

Suasana kehidupan suku-suku yang digambarkan dalam dramatari berubah setelah upacara adat pemberian nama adat usai. Bunyi "bomm, bomm, trum, trum" membuat kehidupan damai yang digambarkan kocar-kacir. Bagaimana kontak-kontak awal dengan dunia luar yang disertai kekerasan di masa lalu digambarkan di sana. 

Air mata beberapa tamu undangan berlinang pada adegan ratapan atas tertembaknya seorang anak laki-laki kepala suku. Suasana tampak benar-benar hening saat salah satu anak tampak tak berdaya meminta pertolongan. Lagu dan bunyi tifa mengiringi adegan ini. Digambarkan,  anak ini meninggal dan ditemukan oleh suku pesisir Papua dan mereka meratapi anak ini. 

Di tengah ratapan suku pesisir, beberapa suku lain yang terseber di Papua mulai berdatangan. Beberapa siswa perempuan yang berperan sebagai mama-mama Papua dan mereka meratapi dia. Suasana ratapan inilah yang membuat  air mata tamu undangan dan beberapa siswa SMP tak tertahankan. Selanjutnya, anak ini digotong keluar oleh suku-suku dalam kondisi hening. 

Diperlihatkan pada akhir drama ini, kondisi bagaimana saat ini orang-orang Papua mulai bangkit dari suasana keterpurukan mereka. Ajakan-ajakan untuk maju dan bekerja untuk memperbaiki kehidupan disampaikan di sana. "Buna yoka, anigou-anigou. Buna yoka ekowai-ekowai" (orang Papua, maju-maju. Orang Papua bekerja-bekerja). 

Selanjutnya, ditampilkan tarian budaya dari suku Jawa, Timor, Tinghoa, Batak, Manado, Toraja, Maluku, dan kebudayaan dari pesisir Papua. Semua penampilan dari tiap suku menarik. Festival yang dimulai 08.00 WIT itu diakhiri sekitar pukul 15.00 WIT. 

"Saya benar-benar senang dan puas melihat anak-anak SMA ini berpakaian adat. Anak saya ini dulu takut tetapi sekarang berani pakai koteka.  Saya salut buat SMA Adhi Luhur yang hidupkan budaya kita," kata Damiana Magai, salah satu orang tua murid. 

Apresiasi disampaikan juga dari Zakeus Petege. "Saya senang dengan kegiatan ini. Saya ajak anak-anak saya ke sini untuk nonton." Kata dia, Festival Budaya ini adalah kegiatan berbobot dan banyak nilai hidup di sana. 

Tidak disangka, salah satu alumni SMA Adhi Luhur, Stevanus menyampaikan kritik tajam. 

"Saya suka acara ini. Tiap dua tahun saya datang nonton. Tetapi, saya tidak suka kalau dalam apresiasi budaya ada muatan-muatannya. Saya jadi heran, kenapa ada bagi-bagi bendera merah putih pada acara budaya ini. Ini kita mau bangun nasionalisme Indonesia karena orang Papua tidak ada nasionalisme atau acara budaya," kata dia. 

Kata dia, pendidikan (sekolah) dan apresiasi budaya tidak bisa disisipi kepentingan. Menurutnya, pendidikan dan kebudayaan haruslah ditetakkan pada posisinya. Hasil dari apresiasi budaya dan pendidikan itu tentu akan melahirkan manusia-manusia yang dapat memilih kehidupannya. "Tidak perlu ada pemaksaan seperti ini," kata dia. (MS/Yermias Degei)


 Sumber : MAJALAH SELANGKAH



Pejalan Kaki Nilai Bupati Dogiyai Langgar Visi-Misinya

Benediktus Goo, pencetus ide aturan kampung. foto: dok pribadi.
Nabire, MAJALAH SELANGKAH -- Pernyataan bupati kabupaten Dogiyai, Thomas Tigi soal memberikan kebebasan untuk kaum hawa mengenakan celana serta menjual dan mengkonsumsi pinang yang nota bene bukan sebagai kebudayaan orang Mee ditentang Solidaritas Pejalan Kaki Dogiyai.

Pernyataan tersebut dinilai bertolak belakang dengan salah satu visi-misinya ketika mencalonkan diri sebagai orang nomor satu di kabupaten Dogiyai dengan bunyi Memusnahkan Penyakiit Sosial di Dogiyai.

Kepada majalahselangkah.com, salah satu pencetus ide untuk melarang kaum hawa mengenakan celana, mengkonsumsi miras serta pinang dan bandar togel, Benediktus Goo mengatakan, seharusnya Bupati Dogiyai merasa bersyukur dengan aturan kampung yang sudah berjalan, karena beberapa kampung yang menerapkan idenya telah menyadari akan ancaman terhadap budaya Mee di Dogiyai.

"Sebenarnya aturan kampung yang beberapa kampung sudah berhasil ini bupati bersyukur karena mereka sudah sadar akan ancaman budaya luar. Mengapa? Karena masyarakat sedang mendorong visi-misi bupati tentang Memusnahkan Penyakit Sosial di Dogiiyai," tuturnya.

Lebih lanjut kata dia, aturan yang sedang berjalan ini salah satunya untuk membendung cara gaya hidup barat atau western life serta gaya hidup modern atau modern life style. Karena menurutnya, hal tersebut memaksakan diri dan jauh melenceng dari budaya yang telah ada sejak nenek moyang.

"Mengangkat budaya lokal itu yang mesti kita pikirkan, memakaii celana pendek itu sudah meniru kehidupan orang barat. Bukan hanya perempuan tetapi larangan lain bagi laki-laki juga ada seperti dilarang mengenakan cincing, tampilan rambut seperti perempuan daln lain-lain," sambung dia.

Lelaki alumni Universitas Cenderawasih ini berkisah, awalnya ide itu lahir setelah kejadian yang memakan korban jiwa akibat mengkonsumsi miras.

Saat itu, kata dia, ide tersebut diusulkan kepada kepala distrik Kamuu Utara bersama dua rekan lainnya dan tanpa berpikir panjang ide tersebut diterima, karena hal sama dipikirkan juga oleh orang nomor satu di distrik Kamuu Utara tersebut. Perlahan aturan itu diterapkan dan hasilnya berjalan maksimal, lalu aturan ini diterapkan juga di kampung Mauwa distrik Kamuu dan mulai menyebar ke beberapa kampung di kabupaten Dogiyai.

Kata Benny, sapaan akrab Benediktus Goo, walaupun bupati sudah memberikan kebebasan untuk mengenakan celana serta menjual dan mengkonsumsi pinang namun, kata dia aturan kampung akan tetap berjalan.

"Pernyataan bupati itu menurut kami hanya sebatas opini, bukan keputusan tertulis jadi aturan yang sudah berjalan ini tidak akan berhenti disitu saja, karena masyarakat di beberapa kampung menerima baik ide kami itu," jelas Goo

Sebelumnya bupati kabupaten Dogiyai saat melantik ibu-ibu PKK mempersilahkan perempuan untuk memakai celana secara bebas serta menjual pinang dan togel di Dogiyai. (M2/Ms)  


 Sumber: Majalahselangkah.com

Jejak Kapitalisme Ekstraktif di Bumi Papua

Telah dicetak dan diterbitkan dalam Satu Papua Edisi 02/2013
Jakarta, 27 Mei 2011 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi meluncurkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Kabupaten Timika Papua termasuk satu dari empat daerah yang dipusatkan bagi 17 proyek groundbreaking ini.    Proyek yang dicanangkan adalah proyek jalan raya Timika-Enarotali sepanjang 135 km dengan investasi senilai Rp 600 miliar yang akan dilaksanakan oleh Pemprov Papua dan Pemkab Merauke. Selain itu, juga dicanangkan proyek pembangunan jalan raya dari Merauke-Waropko sepanjang 600 km yang akan membutuhkan dana sebesar Rp 1,2 triliun.
 Bagi Papua, MP3EI adalah tahap berikut dari skema pengurasan sumber daya alam. Momentum ini tidak terpisahkan dari kontrak jangka panjang Indonesia dengan perusahaan tambang Freeport-McMoRan di Papua. Disusul kemudian ratusan investasi yang memutilasi ruang bumi Papua dalam konsesi-konsesi tambang, migas, perkebunan, industri kehutanan dan proyek-proyek lainnya. Tidak ada yang memungkiri, berbagai kejahatan kemanusian dan lingkungan turut terjadi sejak perusahaan-perusahaan itu beroperasi.
 Jejak Kapitalisme Ekstraktif
Sejak operasi pertambangan Freeport-McMoRan tahun 1967 hingga saat ini, Papua telah masuk dalam cengkraman kapitalisme ekstraktif yang memberikan prioritas pada keamanan aliran energi, material dan investasi (finance kapital) lebih utama ketimbang keselamatan alam dan manusia lokal.  Tata ruang di Papua kini penuh sesak dengan konsesi-konsesi pertambangan dan migas yang dikenal memiliki daya rusak besar pada secara permanen pada lingkungan.
Papua juga menjadi incaran industri perkebunan skala besar baik yang terkait atau tidak dengan MP3EI. Industri kehutanan (logging) juga marak merambah segenap penjuru kawasan hutan di Papua. Data dinas kehutanan untuk kegiatan pertambangan di Papua yang telah dizinkan 42 unit dengan total luas 96.563 Ha. Kementrian ESDM mengaku tidak memiliki data dari izin usaha pertambangan (IUP) data yang dikeluarkan pemerintah daerah. Saat ini ada 60 izin (Papua 26 izin dan Papua Barat 34 Izin) meliputi luas Sekitar 961.372,39 hektar. Itu belum termasuk izin baru dari kabupaten, Konsesi kontrak karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKB2B) dan Wilayah Kerja Migas.
Konsesi kontrak karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKB2B) dan Wilayah Kerja Migas oleh pemerintah pusat masih mendominasi peruntukan lahan di Papua.  Peta ruang konsesi pertambangan dan migas menjadi bukti masifnya konsolidasi lahan untuk kepentingan industri keruk. Konsesi tambang yang notabene dikeluarkan oleh pemerintah pusat menyisakan sedikit ruang bagi daerah kabupaten. Di Kabupaten Tolikara Papua, hanya tersisa tidak lebih 50% wilayah kelola daerah setelah dikurangi berbagai konsesi tambang termasuk konsesi Freeport dan kawasan lindung kehutananan. Tidak sedikit perseteruan berlanjut hingga proses gugatan pengadilan atau para Bupati yang mbalelo dengan mengeluarkan izin pertambangan di lokasi yang sama. Pada akhirnya keputusan yang kental dengan praktik korup ini menjadi “bom waktu” konflik dikemudian hari.
Kewenangan besar kepala daerah kabupaten seringkali berbenturan dengan agenda pemerintah pusat. Terjadi tumpang tindih peruntukan lahan hingga konflik kepentingan atas penguasaan sumber daya alam yang makin diperparah dengan praktik korupsi dan kolusi.
Di lapangan perampasan paksa berlangsung secara kasat mata. Mega proyek LNG Tangguh telah merampas 50 ha lahan marga Sowai di kampung Tanah Merah lama. PT Freeport juga telah mengambil paksa tanah adat orang Amungme.Tragedi kelaparan dan kematian massal warga di Distrik Kwoor berhubungan dengan konflik konsesi pertambangan dan kerusakan lingkungan di bagian hulu Kwoor, Kabupaten Tambrauw. Konflik konsesi tambang antara PT. Akram Resources dan PT. Choice Plus Energi Petroleum diduga telah menyebabkan kerusakan lingkungan di kawasan cakar alam Tambrauw Utara juga di Suaka Marga Satwa Jamursbamedi.
 Keselamatan Papua
Agenda apitalisme ekstraktif telah menyusup dalam agenda pemekaran dan otonomi khusus (otsus) Papua. Penanda dominasi kapitalisme ekstraktif adalah monopoli ruang dan perburuan potensi nilai uang yang dibisa dihasilkan hingga pengurasan bahan mentah. Bagi daerah pemekaran atau kabupaten baru segera dapat dilihat dari jumlah izin usaha pertambangan yang dikeluarkannya. Agenda pemekaran juga dilatarbelakangi penguasaan sumber daya alam, bukan demi keselamatan. Saat ini ada sekitar 50 usulan pemekaran kabupaten di Papu , bahkan ada wacana pemekaran Papua Tengah, Papua Timur dan Teluk Cenderawasih, sehingga menjadi tujuh provinsi.
Sementara itu ekspor bahan mentah dari Papua terus meningkat. Pada November 2012 sebesar US$136.81 juta atau mengalami peningkatan 9,23 persen dibandingkan Oktober 2012. Barang-barang yang diekspor pada bulan November 2012 terdiri atas Bijih Tembaga & Konsentrat (HS26) senilai US$130,31 juta; Kayu & Barang dari Kayu (HS44) senilai US$6,49 juta; dan ekspor golongan non migas lainnya sebesar US$0,01 juta. Pada bulan November 2012 tidak ada ekspor Ikan & Hewan Air Lainnya (HS03).
Otonomi khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat seharusnya dapat berbuat lebih untuk keselamatan Papua asalkan dijalankan berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat. bukan menjdi perasan energi dan material bagi negara lain. Bukan tidak mungkin, dengan laju pengurasan begitu besar potensi dan kekayaan sumber daya alam tinggal mitos belaka bagi generasi masa depan Papua.
Pada bagian penghujung dari hiruk pikuk eksploitasi ruang dalam praktek kapitalisme ekstraktif di Papua adalah jaminan layanan pasokan energi dan material yang tidak dinikmati oleh warga Papua. Pasokan ini dipastikan untuk melayani kepentingan negara-negara tertentu dan pemerintah pusat. Sementara bagi warga Papua, menyempitnya ruang hidup dan hilangnya layanan alam adalah krisis yang harus mereka hadapi dimasa kini dan masa depan.
Tim Jaringan Advokasi Tambang


 Sumber: Imfonapas

Mahasiswa Papua Jakarta Tolak Penjualan Gas ke China

Jakarta - Ratusan massa yang tergabung dalam Komite Aksi Mahasiswa Papua Jakarta (KAMPA Jakarta) melakukan aksi di kawasan SCBD. Mereka meminta kepada pemerintah untuk menyetop penjualan gas murah ke China.

Massa yang didominasi oleh mahasiswa Papua ini menilai penjulan gas murah tersebut telah merugikan rakyat Indonesia khususnya rakyat di Papua. Mereka menyatkan tidak rela jika Kekayaan alam bumi Papua dieksplorasi untuk kepentingan asing, sementara rakyat Papua menjerit dalam kelaparan.

“Kami menolak kebijakan ini. Ini telah merusak alam di Papua. Stop penjualan gas murah ke China,” kata Koordiantor Aksi Noval Hutomo di depan kawasan SCBD Jl Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, Kamis (6/2).

Noval mengaku heran, Pemerintah lebih senang menjual gas dari Papua ke Fujian China ke perusahaan China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dengan harga yang tidak sewajaranya. “Penjualan gas ke China hanya US$ 3,5 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU), sementara harga yang dipatok untuk internasional sebesar US$18 MMBTU, dan anehnya lagi harga jual gas di Indonesia sendiri dijual US$ 10 pe MMBTU. Jadi harga untuk kepentingan rakyat sendiri, lebih mahal hampir tiga kali lipat dibanding yang dijual ke China!, ini kan aneh,” tegasnya.

Melihat kondisi tersebut, Kampa-Jakarta mengutuk keras aksi ‘BIADAB’ yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Ditengah kemiskinan yang melanda sebagian rakyat Indonesia khususnya di Papua, para oknum-oknum pejabat dengan leluasanya merampok kekayaan milik sendiri. Dimana rasa cinta tanah air pejabat-pejabat korup tersebut. “Negara kehilangan pundi-pundi uangnya, hanya untuk kepentingan pribadi para pejabat korup,” bebernya.

Noval mengajak kepada seluruh komponen bangsa untuk bersama-sama turun ke jalan menolak penjualan gas ke China dan oknum-oknum pemerintah yang memainkan harga jual LGN murah ke China untuk digantung sebagai bentuk hukuman atas pengkhianatan terhadap rakyat bangsa Indonesia.

Kebijakan yang dikeluarkan ini jelas melanggar Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 3 Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Hanya ada satu kata, lawan dan usir penjajah China dari bumi Papua.

“Kami meminta kepada Presiden SBY untuk segera mengeluarkan keputusan stop penjualan gas murah ke China, dan sebaliknya pemerintah China untuk tidak lagi membeli gas dari Indonesia,” tandasnya. (OTK)


 Sumber: Nonstop Online

Sidang Dewan HAM PBB, PM Vanuatu Soroti Masalah HAM di Papua

Perdana Menteri Vanuatu, Moana Carcasses Katokai Kalosil [google]
JAYAPURA - Pidato Perdana Menteri Vanuatu, Moana Carcasses Katokai Kalosil pada Sidang Tingkat Tinggi ke 25, Dewan Hak Azasi Manusia PBB di Jenewa, Swiss, 4 Maret lalu menyorot permasalahan yang ada di Papua.

Menanggapi pidato tersebut, Koordinator juru runding Papua, Octavianus Motte mengucapkan terimakasih atas dukungan dari pimpinan negara kepulauan di Pasifik selatan itu. “Mewakili rakyat  Papua saya ucapkan terimakasih,  terimakasih, dan perjalanan masih panjang. Kami butuh dan dukungan doa rakyat Papua,”kata Octovianus Motte, dari Swiss  dalam perbincangan  via telepon dengan  SP, Jumat (7/3) dini hari.

Octovianus Motte terpilih sebagi juru runding di luar negeri  dalam Konferensi Perdamaian Tanah Papua (KPP) 2011 yang  diselenggarakan pada tanggal 5-7 Juli di Jayapura. 

Menurut dia,  PM Vanuatu langsung to the point dalam pidatonya.   “Kita sebagai negara-negara demokrasi tidak boleh mengabaikan suara kesakitan bangsa Papua Barat,”kata Oktovianus mengutip pernyataan PM Vanuatu.

Kata ini  merupakan salah satu kata kata yang menarik dan menggugah dalam pidato tersebut.   Naskah pidato PM Pidato Perdana Menteri Vanuatu, Moana Carcasses Katokai Kalosil, yang diterima SP,  Jumat dini hari via surat elektronik dalam  berbahasa Inggris juga diselingi bahasa Vanuatu dikirim dari   juru runding  Papua di luar negeri yang menghadiri   Sidang Tingkat Tinggi ke 25, Dewan Hak Azasi Manusia PBB di Jenewa.  

Dalam pidato PM Vanuatu  sebanyak 5 halaman tersebut dikatakan diataranya,   persoalan hak asasi manusia yang sudah berdampak serius kepada masyarakat pribumi melanesia di Papua Barat sejak 1969. “Saya lakukan ini dengan rasa hormat dan kerendahan hati. Negara saya melalui sidang ini mau ungkapkan apa yang menjadi keprihatinan terkait situasi hak asasi manusia di Papua Barat. Kami sangat prihatin atas cara dan sikap dunia internasional yang mengabaikan keinginan orang Papua, yang hak asasinya telah diinjak-injak dan tertekan sejak tahun 1969.

”isi dari pidato tersebut   Pak Presiden, apa yang kita buat saat hak-hak bangsa Melanesia di Papua Barat tertindas atas keikutsertaan dan kehadiran militer? Sejak Pepera tahun 1969 yang kontroversial itu, Papua Barat menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi dan dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia.   Komisi nasional Hak Azasi Manuasi menyimpulkan bahwa tindakan itu tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan, menurut UU Nomor: 26/2000.  

“Tuan Presiden, sebagai warga Melanesia, saya disini untuk mendorong agar segera dilakukan tindakan. Ketidakadilan di Papua Barat adalah ancaman terhadap prinsip keadilan di dunia. Saya tidak bisa tidur saat tahu bahwa di tahun 2010 Yawan Wayeni, yang dikenal sebagai seorang pemberontak, direkam oleh aparat keamanan saat terbaring tak berdaya bersimbah darah dengan usus terburai  dari perutnya. Saya prihatin pada tahun 2010,  Telengga Gire dan Anggen Pugu Kiwo diikat TNI dan disiksa secara kejam”.  

“Sungguh memprihatinkan ketika saya saksikan video sekelompok laki-laki Papua diikat dan ditendang oleh prajurit TNI tidak berseragam yang seharusnya melindungi mereka. Saya merasa gelisah karena antara Maret 2011 hingga Oktober 2013, terdapat 25 orang Papua Barat dibunuh, dan tanpa tindakan untuk membawa pelakunya ke pengadilan. Teramat memalukan bagi saya sebagai warga Melanesia, mengetahui sekitar 10 persen dari populasi orang Papua Barat telah dibunuh oleh aparat Indonesia sejak 1963. Walaupun proses reformasi di Indonesia sudah berlangsung 15 tahun, tetapi mencemaskan karena bangsa Melanesia segera menjadi kaum minoritas di tanah mereka sendiri,”ujarnya.  

Tuan Presiden, seluruh dunia kini dapat terhubung dengan teknologi baru, harusnya tidak ada lagi alasan kurangnya informasi terkait situasi hak asasi manusia yang dialami orang Papua Barat selama lebih dari 45 tahun.   Melalui internet dan riset kaum akademisi dan LSM-LSM internasional, anda akan temukan fakta dasar yang menunjukkan pelanggaran hak-hak orang Melanesia di Papua Barat secara brutal. Tapi kenapa kita tidak membahasnya di Sidang ini? kenapa kita palingkan muka dari mereka dan menutup telinga kita dari suara-suara orang Papua yang kebanyakan telah menumpahkan darah demi keadilan dan kebebasan yang mereka dambakan.  

“Saya bersemangat karena persoalan ini sekarang sampai di Komite Hak Asasi Manusia Parlemen Eropa, dan kami berharap tindakan-tindakan nyata untuk memperbaiki kondisi hak asasi manusia bagi saudara dan saudari kami di Papua Barat. Selanjutnya saya menyerukan pemerintah negara-negara maju, khususnya negara-negara Afrika dan negara di Kepulauan Karibia dan Pasifik agar mengutuk keras tindakan pelanggaran hak asasi manusia ini. Saya mau suarakan lagi kata-kata Martin Luther King Jr., dalam pidatonya tahun 1963 bahwa, “Tidak ada hal di dunia ini yang lebih berbahaya daripada sikap pengabaian yang polos dan ketololan yang disengaja”. Kita sebagai negara-negara demokrasi tidak boleh mengabaikan suara kesakitan bangsa Papua Barat,”kata Moana Carcasses Katokai Kalosil  

"Tuan Presiden, rasa prihatin yang kami angkat ini lebih dari sekedar persoalan menjaga 70 persen kekayaan minyak dan gas di Papua Barat. Ini adalah persoalan status politis. Rasa prihatin kami ini lebih dari sekedar persoalan ekonomi, dimana 80 persen kekayaan hutan, laut dan tambang tetap menjadi milik Papua Barat. Ini adalah persoalan penghormatan atas hak asasi dan eksistensi bangsa Melanesia. Tuan Presiden, akses harus diberikan kepada pakar hak asasi manusia PBB, wartawan internasional dan LSM internasional untuk berkunjung ke Papua.   Dari berbagai sumber sejarah, jelaslah bahwa bangsa Melanesia di Papua Barat sebagai kambing hitam perang dingin dan menjadi tumbal untuk memenuhi selera kekayaan sumber alam Papua Barat. Tuan Presiden, jika utusan Sekjen PBB saat itu, Ortiz Sanz, mengibaratkan Papua Barat sebagai kanker".  

“Di tubuh PBB dan tugas dia untuk menghilangkannya, dan dari apa yang kita lihat sejauh ini, sangat jelas bahwa kanker ini tidak pernah dihilangkan, hanya ditutup-tutupi. Suatu saat, kanker ini akan didiagnosa, kita tidak perlu takut kalau PBB telah lakukan kesalahan di masa lalu, kita harus mengakui kesalahan kita dan memperbaikinya,”ujarnya.  

Tuan Ketua, sebagai penutup, pemerintahan saya yakin bahwa persoalan hak asasi manusia di Papua harus dibawa kembali dalam agenda PBB. “Saya mendorong agar Dewan HAM PBB pertimbangkan pengesahan resolusi tentang situasi hak asasi manusia di Papua Barat. Akan lebih baik bila mandat meliputi penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua, dan berikan saran untuk penyelesaian politik secara damai di Papua Barat. Hal ini juga akan membantu Presiden Yudhoyono dalam mengupayakan dialog dengan Papua,”kata PM Vanuatu dalam pidatonya yang dihadiri Hadir pada kegiatan tersebut sesuai agenda yang telah dimilikinya adalah Secretary-General H.E. Mr. Ban Ki-Moon, President of Human Rights Council H.E. Mr. Baudelaire Ndong Ella, President of General Assembly H.E. Mr. John W. Ashe, High Commissioner Ms. Navi Pillay dan Host country H.E. Mr. Didier Burkhalter, President of the Swiss Confederation [154/suarapembaruan.com]


  

Wabup Dogiyai : Sekretaris KPUD agar berkantor di Dogiyai bukan di Nabire.

Wakil Bupati Kabupaten Dogiyai, Herman Auwe, S.Ip
( insert Foto : Herman Anouw).
Dogiyai (rasudofm): Kepada Wartawan, diruang kerjanya, kemarin (3/4) di Dogiyai, Wakil Bupati Kabupaten Dogiyai, Herman Auwe,S.Ip meminta sekertaris Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Dogiyai agar segera berkantor di Dogiyai, karena masalah pemilihan DPR maupun Pemilihan Presiden tinggal satu bulan, dan dinilai selama ini tidak pernah berada di Dogiyai dan tidak melakukan koordinasi kerja kepada Pemerintah Kabupaten Dogiyai,

“kalau selalu ada di Nabire kerja apa di nabire? tanya wakil bupati,

Menurut Wakil, Sekretaris KPUD Dogiyai agar selalu ada di Dogiyai untuk melakukan koordinasi kerja bersama pemerintah setempat, dan juga sebagai bentuk tindakannya agar dalam minggu ini pula sekretaris KPUD Dogiyai agar segera melaporkan sejumlah tahapan penyelenggaraan Pemilihan umum 2014 ini,

“sebab kami tidak mau dengar kalau pemilihan DPR maupun Pemilihan Presiden 2014 ini ini Kabupaten Dogiyai yang bermasalah sehingga sejumlah dana penyelenggaraan pemilihan umum belum bisa dicairkan dan rencana tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu 2014 yang direncanakan oleh lembaga KPUD Dogiyai seringkali mengalami kendala, 

Ia juga menegaskan bahwa, kalau menyangkut dana penyelenggaraan Pemilihan Umum 2014 ini pemerintah Daerah Kabupaten Dogiyai telah menganggarkan pos dana khusus untuk berbagai tahapan penyelenggaraan pemilihan DPR maupun pemilihan Presiden 2014, dan tinggal melakukan koordinasi kerja kepada pemerintah setempat,”

Selain itu, dana yang dihibahkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi Papua kepada KPUD Dogiyai hingga saat Pemerintah Daerah Kabupaten Dogiyai tidak tahu, karena sekretaris KPUD Dogiyai tidak pernah melaporkan kepada Pemerintah setempat,

“kemarin saya lihat sekertaris KPUD Dogiyai ada di Dogiyai selama dua hari, namun dia tidak menemui kami untuk menjelaskan apa yang sedang dilakukannya namun langsung turun ke kota Nabire sehingga kami pemerintah Daerah Kabupaten Dogiyai tidak tau sampai sejauhmana penggunaan keuangan maupun tahapan penyelenggaraan pemilihan umum,” Kesalnya. 

Ia kalau memang ada di nabire terus, apa ada dana yang kurang sehingga lobi dana pada para donatur atau memang tidak mau bekerja menjadi sekertaris KPUD  itu harus jelas supaya kita mencari solusi,” Tegasnya.

Wakil Bupati menjelaskan bahwa, Pos bantuan dana telah kami anggarkan dari Pemerintah daerah Dogiyai untuk penyelenggaraan pemilihan DPR dan Presiden 2014 ini dari alokasi dana tambahan, sedangkan dana yang dihibahkan oleh pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat kami tidak tahu, karena sekertaris KPU belum pernah melakukan koordinasi kerja kepada pemerintah daerah setempat, 

“sampai saat ini kami tidak tahu, berapa dana yang dikirim kepada sekretaris KPU, karena sekretaris KPU tidak pernah ketemu kami,” Ujar Wakil Bupati.

“kemarin dia ada di dogiyai, namun dia tidak koordinasi kerja bersama kami pemerintah tetapi langsung turun ke Nabire, pada hal, saya selalu ada di Dogiyai tetapi dia lihat kami musuh bagi dia, pada hal kita yang kasih jabatan untuk dia” Kata Wakil Bupati.

Sebab itu harapan kami bahwa kegiatan atau tahapan penyelenggaraan pemilihan umum ini selalu berjalan sesuai dengan jadwal dari KPU Pusat maupun KPU Daerah yang telah diamanatkan melalui undang – undang yang telah ada,

“tahapan penyelenggaraan pemilihan tetap dijalankan sebab itu agenda Nasional, bukan agenda daerah, tinggal bagaimana sekretaris KPU mau menjalankan program Nasional ini,” Kata Herman.

Sementara itu Ketua KPUD Dogiyai, Didimus Dogomo,ST juga membenarkan bahwa sekretaris KPUD Dogiyai tidak pernah berada di kantor KPUD Dogiyai sehingga sejumlah tahapan pelaksanaan kegiatan pemilihan Umum seringkali terkendala namun selalu laksanakan,

“Saya akan laporkan kepada Bupati Dogiyai bahwa sekretaris KPUD Dogiyai tidak pernah berkantor di Dogiyai, sebab Sekretaris KPUD adalah perwakilan birokrasi yang ada di lembaga Kpu,” Kata Ketua.(rsdfm/Herman Anouw)


Peredaran Uang Melumpuhkan Sosialisme

Peredaran uang di era Otsus, Otsus Plus dan UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua) di Papua yang semakin melonjak hingga kian hari melumpuhkan sikap sosial. “Kalau orang sudah banyak duit, orang kadang lupa teman sekalipun apalagi sesama yang lain” begitulah ungkapan yang sering terdengar di kalayak ramai.

Bagi orang yang ada di Papua sudah tidak asing lagi untuk menyebut nilai rupiah. Mulai dari angka rupiah yang paling rendah sampai angka besar sudah dengan mudah sangat disebutkan dari mulut orang. Realitas di seluruh Papua yang kita bisa temukan, uang logam sampai lima ratus rupiah hampir dan bahkan sudah tidak berlaku lagi. Yang nampak orang sudah menggunakan uang dari angka seribu ke atas. Sementara di berbagai provinsi lain di Indonesia tidak seperti di Papua.

Peredaran uang di Papua dalam jumlah rupiah yang sangat besar, membuat orang agak lupa daratan. Yang memegang uang adalah punya sayap. Bisa terbang kemana-mana dan bisa memiliki segala sesuatu. Entahlah sesuatu itu baik atau pun buruk sekalipun. Tetapi sayang, karena ada juga sebagian besar orang Papua masih merayap di dasar, karena tidak mendapat bagian dan tidak seperti mereka yang punya uang banyak. Yang punya uang memiliki kategori-kategori tertentu, tapi di sini kami sebut adalah para pemegang kekuasaan atau elit politik. Entahlah para para konglomerat dan elit Papu itu mendapatkan uang dengan cara halal atau tidak. Namun yang nampak jelas di hadapan mata adalah dengan hasil korup. Para penguasa dan elit politik Papua, menguras hak milik rakyat kecil. Lihat saja faktanya sekarang di era Otsus, Otsus Plus dan UP4B serta dengan adanya Perusahan-perusahan raksasa di Papua. Orang asli Papua sendiri ditelan oleh kapitalisme yang bermain tidak sehat, demi membunjitkan perutnya sendiri. Rakyat menjadi miskin di atas tanahnya sendiri.

Sebagai bukti akibat permainan kotor, pembuncitan perut para penguasa dan elit politik serta kapitalis di Papua oleh media detik.com, merilisnya bahwa angka kemiskinan di Papua sangat tinggi. Di media itu, pada tahun 2013 Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Armida S. Alisjahbana mengungkapkan tingkat kemiskinan di Papua mencapai 31,1% dari jumlah penduduk. Angka yang dikutip dari BPS per Maret 2013, menunjukkan bahwa presentase orang miskin di Papua dua kali lipat lebih tinggi dari tingkat rata-rata kemiskinan di Indonesia yaitu 11,37%.  Inilah akibat egoisme dan kerakusan manusia untuk menjadi penguasa uang.

Lantas, kalau terjadi demikian dimanakah nurani sosialisme para penguasa, elit Papua dan kapitalis? Walau rakyat kecil tidak memaksakan untuk harus mendapatkan apa yang menjadi haknya, tetapi yang harus dipertanyakan di sini adalah ada sebuah sistim “kematian sosialisme” dalam diri para penguasa dan elit politik serta kapitalis sangat nampak. Terlihat bukti keberpihakan dan penumbuhan sikap sosial sangat lemah. Bagaikan sikap sosial sudah menjadi “almarhum” dalam diri para penguasa dan elit politik serta kapitali di Papua.

Tokoh Spritual Hindu Mahatma Gandhi pernah berucap: “Bumi ini cukup untuk melayani keperluan manusia, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kerakusan manusia.” Papua termasuk salah satu daerah yang kaya. Sayangnya negeri yang kaya raya itu salah urus. Kesalahan dalam mengurus sebagai salah satu akibat keserakahan yang telah dilembagakan dan disahkan greeded has been institutionalized and legitimised. Korupsi dan pengurasan hak milik rakyat kian menggurita, membudaya, dan seolah tak bertepi lagi. Dari bangun tidur, sampai tidur kembali, seolah tiada ruang hampa tanpa korupsi dan pengurasan. Hal ini, tentu terkait dengan budaya negeri ini.

Orang asli Papua yang dahulu oleh leluhurnya telah mewariskan sikap sosialisme semakin hari semakin tumpul. Aka akal budi untuk berpikir, hari nurani untuk berasa, mata untuk melihat realitas dunia dengan terang benerang kini semakin buta. Nilai moral bagi manusia harus menjadi landasan utama dalam melakukan sesuatu. Mengapa? Karana etika, moralitas, dan hati nurani akan terus mengawasi tindakan dan prilaku manusia. Nafsu kebinatangan manusia cendrung mendominasi jika nilai dan hati nurani berjalan tidak berimbang, sehingga nilai baik buruk sulit dipilah secara terinci. Di sinilah etika dan kejernihan hati nurani itu diperlukan. Namun, sayangnya Orang sudah hampir tidak mampu melihat realitas dunia dengan baik dan benar. Untuk memilah dan memilih baik dan buruk saja hampir tidak jelas. Hampir kebanyakan para elit Papua sudah dan sedang terjerumus ke dalam kebutaan akal, nurani dan mata oleh karena uang dan jabatan. Uang dan jabatan sudah dan sedang dipandang sebagai “dewa” yang mampu membawa kehidupan kepada damai dan aman. Orang sudah dan sedang tidak sadar lagi bahwa di dunia ini ada sesama lain yang membutuhkan pertolongan dan penghargaan. Ini semua akibat sikap egoisme fundamental yang dikembangkan dalam diri, sehingga menjadi buta untuk bersosialis dengan sesama. Sikap egoisme fundamental menjadi akibat utama kebutaan yang meruntuhkan sikap sosialis.

Nilai-nilai moral yang luhur dari para leluhur Papua semakin punah akibat perbuatan jahil. Sikap saling menolong, menghargai, menghormati, memperhatikan dan sederetan nilai perhormatan terhadap harkat dan martabat manusia sudah dan sedang menuju kepunahan. Terlihat jelas pada masa-masa kini, orang tidak lagi menjunjung nilai-nilai itu dengan aksi “perdagangan” sesama manusia Papua demi mendapatkan uang dan jabatan. Sesama menjual sesama.

Para leluhur di dunia “ide” bisa saja sedang menyaksikan segala perbuatan dan sikap buruk yang terjadi. Mereka dapat meratap dari dunia “ide” kalau melihat para generasi penerusnya tidak mengindahkan warta luhur yang pernah diwariskan. Mereka bisa sangat menyesal atas perbuatan yang tidak terhormat dan terpuji.

Sungguh aneh kalau tongkat estafet yang ada pada kaum muda disia-siakan. Apa yang akan diceritakan oleh generasi berikut kalau sejarah norma hidup sosialis dari para leluhur terdahulu itu mati pada generasi kita? Apa yang akan menjadi pegangan hidup bagi generasi berikut, kalau generasi muda kini mematikan atau tidak meneruskan nilai luhur itu? Untuk mengangkat nilai-nilai kebenaran, keadilan, penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia serta mengangkat jati diri kita sebagai manusia Papua adalah tugas “para golongan putih.” Siapakah “para golongan putih itu?” jawaban ada pada kita masing-masing, silahkan menjawabnya. (Fr. Honaratus Pigai)

Sumber: Muye Voice



OKIKA PEOPLE IN JAYAWIJAYA REFUSE NEW AUTONOMOUS REGION

A demosntration by Okika Peoples to rejected the proposed split of Okika from Jayawijaya Regency (Jubi)
Jayapura, 27/2 (Jubi) – Residents of Kurulu have rejected the proposed split of Okika from Jayawijaya Regency. They protested  plans to turn their customary land into the capital of Okika Regency.

“It’s because the community is not ready to face globalization, which will marginalize the indigenous people,” said Boni Alua, the spokesman of the team opposing the split at Abe Grand Hotel, Jayapura on Thursday (27/2).

He said the division was not the wish of the Okika people, but that of  local elites who are disappointed at losing in the political battle in 2008.

The head of the team, Benyamin Logo, said it had been tasked by  customary leaders to convey their  rejection to all related stakeholders.
“We refuse the establishment of Okika Regency. But please don’t stigmatized us as separatists,” he said.

People refuse the establishment of new regency because of some reasons.  The word Okika is culturally a sacred name that describes the cultural structure of Baliem Valley in particular for Kurulu region.
“It could reveal all sacred places of Kurulu. People believe this could result in economic destruction and disasters,” Benyamin added.

“The local people of Yawika Village are traditional farmers and could not do anything else. If their village turned to be a city’s capital therefore their farming area would be smaller. It would threaten their lives because without other skills they would be marginalized in their own land. Lacking of human resources qualities and quantities of Okika would possibly withdraw the attention of the outsiders to fulfill the government offices. And like other new regencies in the Papua highland areas, it would raise social problems because the indigenous people are once again marginalized,” he said.(Jubi/Aprila/rom)

Sumber : tabloidjubi.com

 
Copyright © 2013. RASUDO FM DOGIYAI - All Rights Reserved

Distributed By Free Blogger Templates | Lyrics | Songs.pk | Download Ringtones | HD Wallpapers For Mobile

Proudly powered by Blogger