Dulu, saat kampanye Pilpres, Jokowi berjanji akan menyelesaikan persoalan Papua dengan hati dan kerja nyata. Kini, setelah setahun lebih janji itu didengungkan, sudahkah Papua diurus dengan pendekatan hati?
Sejauh ini, memang ada upaya Jokowi untuk menunjukkan kepedulian dan
perhatiannnya kepada Papua. Dia berjanji akan mengunjungi Papua tiga
kali dalam setahun. Sebelumnya, ada wacana Jokowi akan bangun Istana
Kepresidenan di Papua. Sebelumnya juga, Jokowi memberikan grasi terhadap
sejumlah tahanan politik (Tapol) Papua, termasuk Filep Karma.
Namun, semua itu masih terkesan aksi simbolik. Belum merupakan sebuah
perubahan cara pendekatan dan cara kerja dalam mengurus persoalan
rakyat Papua. Akibatnya, keadaan-keadaan lama, yakni eksploitasi yang
digardai dengan kekerasan, masih berlanjut hingga hari ini. Tidak
percaya?
Pada tanggal 23 Desember lalu, dua hari menjelang Natal, seorang
Papua bernama Marcel Doga ditembak mati oleh aparat TNI di Kabupaten
Keerom, Papua. Kejadian itu bermula saat korban meminta haknya sebagai
buruh, yaitu Tunjangan Hari Raya (THR), kepada perusahaan sawit.
Ironisnya, bukannya memenuhi tuntutan korban, perusahaan malah
menggunakan TNI untuk mengusir korban hingga berujung penembakan.
Pada tanggal 1 Desember 2015, Polisi/Brimob juga menembak mati 4
orang dan melukai 8 orang lainnya di kabupaten Yapen, Serui, Papua.
Penembakan ini terkait dengan upacara pengibaran bendera bintang kejora
dan peringatan HUT Papua Barat. Kendati demikian, Polisi/Brimob
seharusnya tidak menggunakan jalan kekerasan untuk menyikapi kejadian
itu.
Pada saat bersamaan, tanggal 1 Desember juga, di Jakarta, aksi
demonstrasi mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
dibubarkan paksa oleh aparat kepolisian. Sebanyak 306 mahasiswa
ditangkap dalam kejadian tersebut.
Kemudian, pada 28 Oktober 2015, TNI juga menembak mati dua warga
sipil dan melukai dua lainnya di distrik Mimika Baru, Timika, Kabupaten
Mimika, Papua. Pemicunya sepele: cekcok antara prajurit TNI dengan warga
yang memblokir jalan karena sedang menyelenggarakan pesta.
Kita juga tentu belum lupa dengan kebrutalan aparat kepolisian dalam
“Insiden Paniai” yang menewaskan 5 orang dan melukai belasan warga sipil
lainnya pada tanggal 8 Desember 2014. Hingga sekarang, pengusutan
kejadian itu belum menemukan titik terang.
Sementara itu, hampir setiap saat kita menyaksikan aksi-aksi
demonstrasi orang Papua dibubarkan paksa. Kadang-kadang disertai
penangkapan aktivis. Semua ini menandakan bahwa aparat keamanan masih
enggan menghargai hak orang Papua untuk berekspresi dan menyatakan
pendapatnya.
Saya kira, semua kejadian di atas menunjukkan bahwa pendekatan
terhadap persoalan Papua belum berubah. Moncong senapan masih lebih
dominan bicara ketimbang dialog. Anggapan terhadap orang Papua, bahwa
mereka
separatis, masih bercokol kuat di corak berpikir sebagian pemangku kekuasaan dan aparat TNI/Polri.
Yang berubah paling-paling adalah kegiatan investasi yang makin
digenjot untuk mengeksploitasi bumi dan kekayaan Papua. Sekarang sudah
ada empat Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Papua, yakni Merauke, Sorong,
Teluk Bintuni, dan Raja Ampat. Sekarang bukan hanya perusahaan tambang,
tetapi perusahaan perkebunan—khususnya sawit—juga mulai merambah setiap
jengkal tanah Papua. Pertanyaannya kemudian, rakyat Papua akan dapat
apa?
Saya mengapresiasi keinginan Presiden Jokowi untuk mengurus Papua
dengan hati. Tetapi, perlu diingat, Presiden SBY juga dulu menjanjikan
membangun Papua dengan hati. Tetapi yang terjadi kemudian: kekerasan
tetap berlanjut, jumlah Tapol meningkat, dan Papua tetap provinsi
termiskin di Indonesia.
Jokowi tidak boleh mengulang itu. Karena itu, Jokowi perlu mengambil
langkah-langkah konkret. Pertama, sudah saatnya pemerintah lebih banyak
mendengar suara orang-orang Papua, termasuk dalam urusan pembangunan.
Jangan lagi Jakarta merasa serba tahu akan kebutuhan orang Papua.
Padahal, belum tentu apa yang dirasa oleh Jakarta sebagai “kebutuhan
Papua” benar-benar adalah kebutuhan rakyat Papua. Lagipula, setiap
pendekatan politik dan ekonomi seharusnya mempertimbangkan tradisi dan
budaya orang-orang Papua.
Untuk keperluan itu, sudah saatnya Jokowi membuka ruang dialog
seluas-luasnya bagi seluruh rakyat Papua. Bukan hanya dialog dengan
elit-elit Papua, tetapi juga dengan rakyat banyak. Saya kira, membangun
Papua dengan hati harus dimaknai dengan pembangunan berbasiskan
partisipasi rakyat.
Namun, dialog tidak mungkin terjadi kalau orang-orang Papua masih
dalam keadaan tertekan; ketika hak berserikat, berkumpul, dan menyatakan
pendapat orang Papua masih ditindas; dan ketika Jakarta masih
menganggap Papua
separatis dan alergi dengan segala yang berbau bintang kejora.
Nah, untuk memulihkan kepercayaan orang Papua terhadap Jakarta, dan
sekaligus memungkinkan orang Papua merasa aman dan bebas menyatakan
pendapatnya, maka pemerintahan Jokowi harus berani menarik TNI/Polri
dari Papua. Pembangunan Kodam baru di Papua harus dihentikan. Sebab,
tidak ada dialog bebas dan demokratis di bawah todongan senjata.
Kedua, Papua sudah harus diajak bicara Indonesia sebagai sebuah
proyek bersama. Di sini bukan sekedar menaruh semakin banyak orang Papua
di pemerintahan dan badan perwakilan nasional, tetapi bagaimana
gagasan-gagasan orang Papua mewarnai proyek bersama dan tujuan bersama
kita sebagai sebuah bangsa.
Rencananya, usai Natal ini, Presiden Jokowi kembali akan berkunjung
ke Papua. Kita berharap ini bukan hanya rutinitas simbolik belaka,
tetapi sebuah upaya untuk membuka kembali ruang dialog seluas-luasnya di
Papua. Sembari menunggu kunjungan Pak Jokowi ke Papua, mari kita
cuitkan tagar ini:
Rudi Hartono
#PapuaMintaDialog []
berdikarionline