oleh
Asrida Elisabeth [Jayapura] di 1 January 2018
Gabungan organisasi masyarakat sipil di Papua antara lain Yayasan
Pusaka, Walhi Papua, Jerat Papua, KPKC GKI Tanah Papua, SKPKC Fransiskan
Papua dan SKP Keuskupan Agung Merauke, mengeluarkan catatan akhir tahun
mengenai perampasan tanah, kekerasan dan deforestasi di Papua selama
2017.
Salah satu bagian penting dalam catatan akhir tahun ini, adalah peran
negara melalui kebijakan memperparah perampasan dan deforestasi di
Papua.
Kebijakan-kebijakan itu seperti pemberian izin baru untuk perkebunan
dan pertambangan, alih fungsi hutan dan implementasi reforma agraria
tanpa musyawarah dan kesepakatan dengan masyarakat adat sebagai pemilik
hak ulayat.
“Di Tanah Papua, negara mempunyai otoritas luas mengkontrol dan
menentukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam,” kata Franky
Simparante, Direktur Yayasan Pusaka.
Negara, katanya, sedemikian rupa mengatur dan mengkonstruksi pola dan
struktur ruang, fungsi dan peruntukan kawasan hutan, berdasarkan
pengetahuan formal dan kepentingan ekonomi, yang terkadang kontradiktif
dengan nilai dan pengetahuan masyarakat adat.
Sepanjang 2017, katanya, pemerintah menerbitkan izin-izin baru untuk
perkebunan dan pertambangan. Untuk perkebunan, Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (LHK) memberikan izin pelepasan kawasan hutan kepada tiga
perusahaan perkebunan sawit dan industri pangan, yakni: PT. Bangun Mappi
Mandiri di Kabupaten Mappi Juli 2017 seluas 18.006 hektar, PT.
Agriprima Cipta Persada di Kabupaten Merauke Juli 2017 sebanyak 6.200
hektar dan PT Menara Wasior di Kabupaten Teluk Wondama pada September
2017 dengan luasan 28.880 hektar. Jadi, total izin baru perkebunan sawit
pada 2017 untuk tiga perusahaan 53.806 hektar.
Buat pertambangan, pemerintah menerbitkan izin baru kepada enam
perusahaan pada 2017, yakni empat pertambangan di Papua, yakni, PT Wira
Emas Persada di Nabire seluas 1.242 hektar, PT Aurum Wira Persada di
Nabire luas 13.880 hektar dan PT Trident Global Garmindo dengan 17. 830
hektar, PT Madinah Qurrata’ain di Dogiyai 23.340 hektar. Keempat
perusahaan eksplorasi emas.
Dua perusahaan di Papua Barat, yakni, PT Bayu Khatulistiwa Sejahtera
di Manokwari, eskplorasi emas, 7.741 hektar dan PT Dharma Nusa Persada
seluas 20.805 hektar.
Pada Maret 2017, Menteri LHK juga membuat keputusan Nomor
SK.172/Menlhk/Setjen/PLA.2/3/ 2017, tentang perubahan alih fungsi hutan
lindung Momi Anggi di Gunung Botak, Manokwari Selatan, seluas 2.318
hektar. Peruntukannya, antara lain, jadi hutan produksi konversi (HPK)
231 hektar dan hutan produksi terbatas (HPT) 2.100 hektar. Keputusan
ini, katanya, diduga mengakomodasikan kepentingan perusahaan tambang
pasir kuarsa PT SDIC.
Selain itu, pembongkaran dan penggusuran hutan untuk kepentingan
perusahaan sawit dalam jumlah cukup luas juga terjadi selama 2017.
Perusahaan yang membongkar dan penggusuran hutan untuk kebun sawit
antara lain, PT Agriprima Persada Mulia di Merauke, PT Kartika Cipta
Pratama di Boven Digoel dan PT Permata Putera Mandiri di Sorong Selatan.
|
Warga adat menolak lahan jadi kebun sawit. Foto: SKP Merauke |
Bagaimana lahan kelola rakyat?
Hal lain, katanya, soal tanah obyek reforma agraria (Tora). Kebijakan
ini terbit sebagai bagian amanat Nawacita dan program jangka menengah
pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Di Papua, pemerintah menetapkan hutan obyek Tora sekitar 1.729.175
hektar atau 43% luas Tora nasional (4,1 juta hektar). Kebanyakan,
katanya, Tora diperoleh dari pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan
sawit seluas 1.174.804 hektar dan HPK tak produktif 391.506 hektar.
“Penetapan ini dipastikan melanggar hak-hak konstitusional dan
hak-hak hukum orang asli Papua, karena semena-mena, tanpa ada
konsultasi, sosialisasi, musyawarah dan mufakat bersama masyarakat adat,
sebagai penguasa dan pemilik tanah adat.“
Dalam konteks misi reforma agraria di Papua, kata Angky, sapaan
akrabnya, seharusnya program reforma agraria diarahkan pada pengakuan
perlindungan terhadap hak-hak atas tanah dan penyelesaian konflik
agraria. “Orang Papua bukan masyarakat tanpa tanah, mereka bermasalah
dengan perampasan dan penyingkiran akses atas tanah.
Abai UU Otonomi Khusus
Di Papua berlaku UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pasal
43, ayat (4) dan penjelasan mengatur, penyediaan tanah ulayat untuk
keperluan apapun melalui musyawarah dengan masyarakat adat guna dapatkan
kesepakatan.
Musyawarah itu, katanya, mendahului penerbitan surat izin perolehan
dan pemberian hak oleh instansi berwenang. Kesepakatan , katanya, jadi
syarat penerbitan izin dan keputusan pemberian hak.
Sayangnya, implementasi ketentuan ini sengaja tak pernah
dilaksanakan. “Negara maupun korporasi yang didukung negara mencaplok
dan merampas tanah-tanah tanpa persetujuan masyarakat adat Papua.”
Sementara itu, kebijakan dan pemberian izin baru dalam 2017
bertentangan dengan kebijakan Presiden tentang moratorium izin baru atau
Inpres Nomor 6/2017 tentang penundaan dan penyempurnaan tata kelola
pemberian izin baru hutan alam primer dan gambut.
Seharusnya, kebijakan ini dapat memberikan kesempatan kepada negara
mengevaluasi, dan mengendalikan izin-izin pemanfaatan hasil hutan maupun
lahan yang bertentangan dengan UU, cacat hukum serta merugikan hak
masyarakat adat.
Pemerintah berulang-ulang menyebutkan strategi pendekatan pembangunan
dan pengembangan wilayah mengutamakan keunggulan komparatif, berbasis
budaya dan wilayah adat.
Namun, katanya, paradigma pembangunan negara masih mengutamakan pertumbuhan ekonomi sentralistik dan berbasis modal besar.
Protes perampasan lahan
Bagi-bagi izin pada pemodal menciptakan perampasan lahan warga ulayat
meluas sepanjang 2017. Tercatat aksi oleh Front Aksi Masyarakat Adat
Independen (MAI) Timika, terdiri dari perwakilan masyarakat adat Kamoro
dan Amungme terkait PT. Freeport Indonesia.
Kemudian, Masyarakat adat Yimnawai Gir di Arso, Kabupaten Keerom kala
konflik dan protes ke PTPN II, dan
Suku Yerisiam dari Kampung Sima
Distrik Yaur, Nabire soal PT. Pasific Mining Jaya. Organisasi mahasiswa
dan pemuda Papua di Kota Jayapura protes peradilan atas PT. Pasific
Mining Jaya,
Front Pembela Peduli Lembah Kebar di Manokwari, dan
Aliansi Mahasiswa Papua Selatan di Merauke terkait Merauke Integrated
Food and Energy Estate (MIFEE).
Aksi-aksi protes ini sering berujung kekerasan. “Negara dan
perusahaan gunakan pendekatan keamanan dengan cara kekerasan fisik dan
verbal untuk menggembosi, meredam dan menaklukkan aksi-aksi masyarakat
maupun buruh,” katanya.
Perusahaan, juga diduga terlibat provokasi kelompok tertentu dan
bertindak main hakim sendiri menyerang aktivis pembela masyarakat adat
dan lingkungan, maupun keluarga mereka.
Kasus-kasus kekerasan ini, katanya, menambah panjang daftar pelanggaran HAM di Papua yang hingga kini belum terselesaikan.
Ke depan?
Berbagai organisasi ini mendesak, pemerintah menghentikan perampasan
tanah masyarakat adat Papua karena bertentangan dengan konstitusi dan
melanggar hak asasi manusia.
Kebijakan pembangunan, katanya, yang mengutamakan kepentingan
pertumbuhan ekonomi dan berbasis modal besar harus diubah. “Jadikan
kebijakan pembangunan menjunjung tinggi HAM, mengutamakan keadilan,
pengetahuan dan kepentingan masyarakat adat Papua, serta keberlanjutan
lingkungan,” ucap Franky.
Mereka juga mendesak pemerintah menyelesaikan pelanggaran HAM masa
lalu dan menghentikan pendekatan keamanan dalam berbagai kegiatan sosial
ekonomi, hukum dan politik.
“Kami juga mendesak pemerintah sungguh-sungguh memenuhi, mengakui,
menghormati dan melindungi hak-hak konstitusional masyarakat adat Papua,
termasuk hak atas tanah.”
www.mongabay.co.id