Dalam satu bulan terakhir, setidaknya tiga polisi tewas dibunuh di Papua. Pembunuhan pertama terjadi 7 November terhadap AK Dominggus Awes, Kapolsek Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. Dia ditembak mati oleh penyerang yang merampas senjatanya.
Pembunuhan kedua terjadi 3 Desember di distrik yang sama. Dua anggota Brimob Bripda Feerly dan Bripda Eko tewas dihajar anak panah para penyerang dari perbukitan. Polisi sampai hari ini belum bisa menangkap para pelaku dua pembunuhan tersebut.
Situasi Papua akhir-akhir ini memang dilematis. Dibilang aman, tidak! Dibilang perang, pun tidak! Situasi mendua beginilah yang membuat kepincangan persepsi.
Pemerintah meningkatkan jumlah personel polisi dan tentara ke Papua. Karena Papua dipersepsikan aman dan damai, pengerahan itu dikecam sebagai langkah represif. Pembunuhan terhadap dua anggota Brimob justru terjadi di tengah pengerahan pasukan ke Papua.
Trauma militerisme selama tiga dasawarsa era Orde Baru rupanya begitu mencekam sehingga publik kini belum juga rela berpihak kepada polisi yang selama Orde Baru adalah bagian dari tentara. Dengan demikian, kekerasan dan pembunuhan terhadap polisi dianggap wajar, sementara kekerasan terhadap warga dengan gampang dianggap pelanggaran HAM.
Organisasi-organisasi kemasyarakatan berteriak lantang ketika seseorang, entah di Papua atau di mana pun, meninggal di tangan polisi. Tetapi, ketika nyawa polisi berjatuhan di Papua, tidak ada suara yang membela. Seakan-akan pembunuhan polisi adalah wajar oleh siapa saja, di mana saja, dan dengan alasan apa saja.
Dari perspektif fungsi keamanan yang diemban, polisi harus menjadi kepentingan publik karena fungsi keamanan yang dibebankan kepadanya adalah sebagian dari hak asasi manusia. Dengan demikian, membela polisi adalah juga menjadi kewajiban publik. Hak asasi adalah milik setiap warga negara, termasuk polisi.
Pemerintah harus menegaskan dengan konsekuen situasi di Papua. Jika Papua daerah damai, tidak ada alasan untuk tidak menegakkan hukum di sana. Kekerasan dilawan kekerasan hanya terjadi di wilayah perang.
Terlepas dari citra dan perilaku polisi yang belum memuaskan kita semua, polisi sama seperti hakim harus dihormati. Publik harus membayangkan betapa mengerikan sebuah negara tanpa polisi. Karena itu, siapa pun yang membunuh polisi harus dihukum berat.
Menjadi polisi sulit dan mahal. Alangkah naifnya ketika kita membiarkan dan menganggap lumrah nyawa polisi menjadi bulan-bulanan di Papua. Bagi polisi perlu diingatkan, dalam situasi apa pun kesiagaan mutlak. Itulah tuntutan profesionalisme.
Media Indonesia
0 komentar:
Post a Comment