SEBUAH ALTERNATIF
PEMBANGUNAN
Vox populi vox dei ! Suara rakyat suara Tuhan !
Kalimat
perumpamaan ini begitu luar biasa, mempunyai makna cukup dalam yang menjelaskan
bahwa rakyat betul-betul punya kuasa atas sebuah negara. Namun dalam tulisan
ini, suara rakyat diposisikan dalam konteks yang lebih kecil yakni kabupaten
dogiyai.
Kabupaten
Dogiyai sebagai sebuah kabupaten, hingga kini ternyata belum berhasil
memposisikan rakyat sebagai orang yang mempunyai kuasa atas kabupaten secara
berdaulat. Yang ada justru hanya pembusukan politik antar elit-elit politik
dalam birokrasi yang terkesan saling
menjatuhkan satu sama lain dengan target mencari nama baik di mata masyarakat.
Fenomena ini menjadi cermin dalam melihat praktek politik yang selama ini
memposisikan rakyat hanya sebatas memberikan legitimasi sosial-politik maupun
yuridis bahkan rakyat tidak mempunyai posisi tawar atas setiap produk kebijakan
yang dikeluarkan oleh kabupaten dogiyai, ironisnya lagi sejauh ini rakyat hanya
menjadi penonton dan objek kebijakan.
Fungsi
kontrol dan pengawasan yang dimiliki oleh rakyat sebagai bentuk turunan dari
konsep kuasa, hingga kini juga tidak ada ruang yang tersedia untuk melakukan
pengawasan atas praktek penyelenggaraan kabupaten dogiyai.
Kondisi
seperti ini mendorong kita untuk mencari model alternatif-alternatif
pembangunan yang kiranya tepat diterapkan di Kabupaten Dogiyai. Selain itu,
agar moto yang diusung oleh Kabupaten Dogiyai “ Dogiyai Dou Ena” tidak
hanya menjadi retorika belaka yang terus dikonsumsi oleh publik sementara
rakyatnya mengkonsumsi getahnya; Namun, lebih dari itu ialah agar moto Dogiyai Dou Ena menjadi spirit
dalam membangun dogiyai secara bersama-sama melalui kesepahaman bersama.
Prinsip Dasar
Demokrasi Partisipatif
Gagasan
demokrasi partisipatif dapat kita telusuri dari pemikiran Jean-Jacques Rousseau
yang mengatakan bahwa wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif akan
bersifat korup dan menipu rakyat. Ia juga menolak keras adanya pendapat bahwa
setiap orang dapat membuat Undang-Undang atau peraturan atas nama orang lain.
Rousseau sangat yakin bahwa rakyat sendirilah yang dapat membuat aturan yang
sesuai dengan kepentingannya, hingga ia menghimbau sebaiknya jangan
mempercayakan tugas itu kepada orang lain ( Rousseau, tt: 83). Sejalan dengan
pemikiran Rousseau, Hannah Arendt juga sangat keras mengkritik pengambilan
keputusan yang bersifat sentralistis dan hirarkis. Arendt menjadi salah seorang
pejuang diterapkannya gagasan untuk mengembalikan spirit pengambilan keputusan
yang bersifat partisipatif seperti yang pernah diterapkan negara kota pada
zaman Yunani kuno ( Arendt, 1963:276).
0 komentar:
Post a Comment