Mama-mama Papua di Kota Jayapura, Papua, beberapa waktu lalu. Meskipun terkendala terbatasnya modal dan tempat usaha yang berpindah-pindah, mereka tetap gigih berusaha untuk keluarga. |
Papua - Terik mentari menyengat jantung kota Jayapura, Papua, siang itu,
beberapa saat lalu. Lalu lintas semrawut dan macet di beberapa ruas
jalan. Namun, Pasar Sementara di Jalan Percetakan, Jayapura, masih
terlihat lengang. Hanya beberapa mama-mama pedagang pasar yang sedang
berbenah menyiapkan jualan.
Mama Inselina (60) sudah menggelar jualannya, buah pinang, sirih, rokok filter yang dijual eceran, kapur, dan sagu di lapak kayu. Sejak Pasar Sementara dibuka dua tahun lalu, dia memilih tempat di dekat pintu masuk pasar. ”Ini pasar malam. Mulai ramai kalau sore, tetapi sa (saya) jualan sejak pagi sampai malam,” kata dia, sambil terus mengunyah pinang.
Beberapa orang membeli pinang darinya. Tidak banyak. Beberapa buah saja lengkap dengan kapur. Pinang dijual Rp 1.000 per dua buah. Kapur seplastik kecil seharga Rp 1.000. ”Sejak dulu sa jualan pinang ini sudah,” ucap mama Inselina.
Mama berbadan subur ini sudah lupa bertahun-tahun berjualan pinang. Ia beberapa kali terpaksa pindah tempat karena digusur pemerintah. Ia pernah berjualan di pinggir pantai, Pasar Ampera, di depan swalayan Gelael, dan kini di Pasar Sementara di seberang Hotel Aston, Jayapura, yang menjulang.
Mama Paulina Haluk (40) menghampiri mama Inselina, membeli pinang dan sebatang rokok. Mama Paulina juga berjualan di Pasar Sementara, tetapi belum menggelar dagangannya, yaitu sayuran, seperti kangkung, daun singkong, sawi, dan ubi. ”Itu masih ditutupi terpal. Jika dibuka saat panas begini, nanti cepat layu. Tak laku,” katanya lagi.
Pasar Sementara dikhususkan bagi mama-mama Papua pedagang pasar. Pasar ini menampung pedagang yang sebelumnya berjualan di sekitaran swalayan Gelael, Jayapura.
Tulang punggung keluarga
Mama Paulina yang berasal dari Wamena mengaku mulai berjualan sejak remaja. Ada kesamaan antara dirinya dan mama Inselina, atau mama-mama lain di pasar itu. Mereka adalah tulang punggung ekonomi keluarga. Suami mama Inselina dahulu adalah buruh serabutan. Kini dia hanya tinggal di rumah karena tenaganya telah terkuras dan lebih sering sakit, menua. Suami mama Paulina juga buruh serabutan yang tak pasti penghasilannya.
Keduanya tekun berusaha dengan hasil tidak seberapa untuk menghidupi keluarga. Dari berjualan, mama Inselina memperoleh keuntungan sekitar Rp 100.000 per hari. Mama Paulina mendapatkan lebih besar, sekitar Rp 200.000 per hari. Angka ini bukan jumlah yang besar di Jayapura karena harga berbagai kebutuhan serba mahal. Uang itu sebagian besar terkuras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, belum untuk membiayai sekolah anak-anak.
Namun, mama Paulina mampu menguliahkan anak sulungnya, nona Surgorina Itlay (21), di sebuah sekolah tinggi ilmu pemerintahan dan politik di Jayapura. Putrinya sempat kuliah di Universitas Cenderawasih (Uncen), tetapi terpaksa diminta keluar karena ia tak kuat membiayai uang transpor harian dari Jayapura ke kampus Uncen di Abepura. Apalagi, empat anaknya masih sekolah juga.
Tantangan yang dihadapi mama-mama pedagang pasar kian hari kian berat. Harga barang kian melambung. Untuk belanja barang dagangan, butuh modal lebih besar. Harga petatas (ubi) satu karung, keladi sekarung, atau singkong sekarung masing-masing kini Rp 500.000. Belum lagi untuk membeli sayuran dan biaya angkutan. Dengan modal Rp 2 juta, mama Paulina harus pandai mengelola usaha mikronya. Pengalaman bertahun-tahun dan daya juang membuatnya mampu bertahan.
Modal usaha mama-mama Papua umumnya pas-pasan. Uluran tangan pemerintah dirasakan minim. Mama Paulina ingat betul, satu-satunya kucuran bantuan modal yang pernah diterimanya sebesar Rp 1 juta dari Gubernur Papua saat itu, Barnabas Suebu. ”Sudah lunas saya bayar. Sekarang kalau mau modal lagi harus pinjam sendiri ke koperasi,” katanya.
Mereka bisa meminjam modal di Koperasi Mama-mama Pedagang Pasar, yang kantornya di area Pasar Sementara. Kalau terdesak kebutuhan, mereka tak jarang meminjam ke ”koperasi jalan-jalan”, tentu saja dengan bunga yang mencekik leher. (erwin edhi prasetya)
Mama Inselina (60) sudah menggelar jualannya, buah pinang, sirih, rokok filter yang dijual eceran, kapur, dan sagu di lapak kayu. Sejak Pasar Sementara dibuka dua tahun lalu, dia memilih tempat di dekat pintu masuk pasar. ”Ini pasar malam. Mulai ramai kalau sore, tetapi sa (saya) jualan sejak pagi sampai malam,” kata dia, sambil terus mengunyah pinang.
Beberapa orang membeli pinang darinya. Tidak banyak. Beberapa buah saja lengkap dengan kapur. Pinang dijual Rp 1.000 per dua buah. Kapur seplastik kecil seharga Rp 1.000. ”Sejak dulu sa jualan pinang ini sudah,” ucap mama Inselina.
Mama berbadan subur ini sudah lupa bertahun-tahun berjualan pinang. Ia beberapa kali terpaksa pindah tempat karena digusur pemerintah. Ia pernah berjualan di pinggir pantai, Pasar Ampera, di depan swalayan Gelael, dan kini di Pasar Sementara di seberang Hotel Aston, Jayapura, yang menjulang.
Mama Paulina Haluk (40) menghampiri mama Inselina, membeli pinang dan sebatang rokok. Mama Paulina juga berjualan di Pasar Sementara, tetapi belum menggelar dagangannya, yaitu sayuran, seperti kangkung, daun singkong, sawi, dan ubi. ”Itu masih ditutupi terpal. Jika dibuka saat panas begini, nanti cepat layu. Tak laku,” katanya lagi.
Pasar Sementara dikhususkan bagi mama-mama Papua pedagang pasar. Pasar ini menampung pedagang yang sebelumnya berjualan di sekitaran swalayan Gelael, Jayapura.
Tulang punggung keluarga
Mama Paulina yang berasal dari Wamena mengaku mulai berjualan sejak remaja. Ada kesamaan antara dirinya dan mama Inselina, atau mama-mama lain di pasar itu. Mereka adalah tulang punggung ekonomi keluarga. Suami mama Inselina dahulu adalah buruh serabutan. Kini dia hanya tinggal di rumah karena tenaganya telah terkuras dan lebih sering sakit, menua. Suami mama Paulina juga buruh serabutan yang tak pasti penghasilannya.
Keduanya tekun berusaha dengan hasil tidak seberapa untuk menghidupi keluarga. Dari berjualan, mama Inselina memperoleh keuntungan sekitar Rp 100.000 per hari. Mama Paulina mendapatkan lebih besar, sekitar Rp 200.000 per hari. Angka ini bukan jumlah yang besar di Jayapura karena harga berbagai kebutuhan serba mahal. Uang itu sebagian besar terkuras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, belum untuk membiayai sekolah anak-anak.
Namun, mama Paulina mampu menguliahkan anak sulungnya, nona Surgorina Itlay (21), di sebuah sekolah tinggi ilmu pemerintahan dan politik di Jayapura. Putrinya sempat kuliah di Universitas Cenderawasih (Uncen), tetapi terpaksa diminta keluar karena ia tak kuat membiayai uang transpor harian dari Jayapura ke kampus Uncen di Abepura. Apalagi, empat anaknya masih sekolah juga.
Tantangan yang dihadapi mama-mama pedagang pasar kian hari kian berat. Harga barang kian melambung. Untuk belanja barang dagangan, butuh modal lebih besar. Harga petatas (ubi) satu karung, keladi sekarung, atau singkong sekarung masing-masing kini Rp 500.000. Belum lagi untuk membeli sayuran dan biaya angkutan. Dengan modal Rp 2 juta, mama Paulina harus pandai mengelola usaha mikronya. Pengalaman bertahun-tahun dan daya juang membuatnya mampu bertahan.
Modal usaha mama-mama Papua umumnya pas-pasan. Uluran tangan pemerintah dirasakan minim. Mama Paulina ingat betul, satu-satunya kucuran bantuan modal yang pernah diterimanya sebesar Rp 1 juta dari Gubernur Papua saat itu, Barnabas Suebu. ”Sudah lunas saya bayar. Sekarang kalau mau modal lagi harus pinjam sendiri ke koperasi,” katanya.
Mereka bisa meminjam modal di Koperasi Mama-mama Pedagang Pasar, yang kantornya di area Pasar Sementara. Kalau terdesak kebutuhan, mereka tak jarang meminjam ke ”koperasi jalan-jalan”, tentu saja dengan bunga yang mencekik leher. (erwin edhi prasetya)
Sumber : Kompas Cetak
Editor : Kistyarini
0 komentar:
Post a Comment