Timika - (Jum`at,
22/03/13) Komite Perdamaian Dunia
(The World Peace Committee) berencana membangun Prasasti Perdamaian Dunia di SP
VII, 15 KM dari Kota Timika, Kabupaten Mimika Provinsi Papua.
Peletakan batu pertama dilakukan
Sabtu, (26/1) oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, Hak Asasi Manusia dan
Pertahanan Keamanan (Menkopolhukam), Joko Suyanto.
Prasasti akan dibangun setinggi 21
meter, pondasi pertama setinggi 5 meter. Pada prasasti itu akan berisi
pesan-pesan perdamaian dari para pimpinan tertinggi Indonesia sampai terendah,
Presiden RI, pejabat lembaga tinggi negara, tokoh masyarakat, pengusaha,
budayawan, seniman, kepala desa bahkan artis.
Tidak hanya itu, 267 suku besar di
Papua akan diminta menuliskan pesan perdamian mereka pada prasasti itu,
ditambah telapak tangan. Tulisan itu dimaksudkan untuk mengajak semua pihak
secara bersama-sama menciptakan perdamaian di Papua.
Selain prasasti, Komite Perdamaian
Dunia merencanakan membangun jalan Perdamaian Dunia di lokasi yang sama.
Dikabarkan, Penjabat Gubernur Papua Constan Karma meresmikan jalan perdamaian
ini.
Kepala Divisi Pengembangan Wilayah
Asia Pasific dan Oceeania Departemen Komunikasi Komite Perdamaian Dunia (The
World Peace Committee) Hudi Wantoro mengatakan, pendirian prasasti itu
permintaan Majelis Rakyat Papua (MPR) kepada Komite Perdamaian Dunia.
Terkait pembangunan prasasti dan
jalan perdamaian ini, Wakil Uskup Keuskupan Timika, Pastor Nato Gobay, Pr
mengatakan, gereja di Papua menolak dengan tegas rencana itu. Ia menilai,
prasasti adalah perdamaian semu.
“Kami, pihak gereja menolak dengan
tegas rencana pembangunan prasasti perdamian di Timika. Membangun perdamaian di
Papua bukan dengan simbol-simbol. Kalau SBY mau damai, maka dia seriusi dialog
Papua-Jakarta,” katanya.
Pejuang Hak Asasi Manusia ini
mengatakan, pembangunan Prasasti itu damai paslu. “Itu palsu. Dia mau tenangkan
orang Papua. Dalam damai palsu itu orang Papua mau dihabiskan. Kami mau SBY dia
seriusi dialog Jakarta-Papua. Prasasti ini hanya simbol. Kenyataannya, orang
Papua mati di mana-mana sejak tahun 1961. Terus terang saya tidak terima,”kata
Pastor tegas.
Pastor menjelaskan, konflik di Papua
itu belum berakhir sejak tahun 1961 silam. Kata dia, sejak pelaksaan penentuan
pendapat rakyat (PEPERA) tahun 1969, konflik di Papua belum pernah berakhir.
PEPERA digelar di bawah todongan senjata dan tidak sesuai mekanisme
internasional, satu orang satu suara.
Jadi, kata dia, perdamaian
sesungguhnya di Papua adalah penyelesaian komprehensif atas berbagai soal.
Katanya, mulia dari masalah sejarah masa lalu, rentetan pelanggaran hak asasi
manusia, hingga marjinalisasi dalam pembangunan saat ini.
“Otsus dikembalikan rakyat karena
tidak selesaikan soal sejarah, HAM, dan orang Papua semakin marjinal. Lalu,
Jakarta tawarkan UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat:red)
tapi itupun tak diterima rakyat. Jaringan Damai Papua ambil jalan tengah,
dialog Jakarta-Papua. Jika negara punya kemauan baik, maka penyesaian
sesungguhnya adalah dialog. Dialog adalah sarana penyelesaian masalah Papua,”
kata dia.
[006-majalahselangkah]
0 komentar:
Post a Comment