Seni membatik sudah dia pelajari sejak tahun 1990-an di Pulau Jawa. Saat itu, Mama Ibo menjadi generasi pertama orang asli Papua yang mendapatkan pelatihan membatik, yang dilakukan oleh Irian Jaya Development Foundation (IJDF) ke Pulau Jawa pada 1995. IJDF merupakan perusahaan bentukan Belanda.
"IJDF mengirim lebih dari puluhan. Saat ini hanya saya saja yang tersisa dan masih setia membatik," ucap Mama Ibo yang saat ini memperkerjakan sekitar 20 perempuan asli Sentani di sanggarnya yang diberi nama Putri Dobonsolo. Sanggar ini terletak di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura.
Walaupun dijuluki pembatik perempuan Papua pertama, usaha Mama Ibo tak semulus julukannya. Tak jarang dalam satu bulan, tidak ada pesanan sama sekali. Tahun 2000-an usaha Mama Ibo sempat tak terdengar lagi. Sebab, banyak kain batik bermotif Papua yang dicetak di Pulau Jawa membanjiri Kota Jayapura atau daerah lain di Papua.
"Sampai saat ini, kami masih tergantung bahan baku dari Pulau Jawa, termasuk kain, tinta dan peralatan mencanting batik," kata dia.
Kelompok Putri Dobonsolo berdiri sejak 1996 atau sudah berusia 21 tahun. Namun sampai saat ini produksi masih tergantung pada pemesanan itu pun pemesanan hanya dari kalangan gereja.
"Kalau ada pesanan dari instansi pemerintah atau swasta lainnya, mungkin itu hanya mimpi saya. Sejak dulu sampai sekarang yang membanjiri pesanan kami hanya dari pihak gereja," ia menjelaskan.
Sebagai seorang pendiri Sanggar Putri Dobonsolo, Mama Ibo tetap berkomitmen dalam mengembangkan dan memperkenalkan batik motif Papua ke masyarakat luas. Di rumahnya, sekaligus sanggar tempat mengembangkan usaha inilah, dia juga menggelar pelatihan dan pembinaan bagi generasi muda Papua dalam mengembangkan batik motif Papua.
Perkenalkan Membatik pada Orang Asli Papua
Hampir ratusan motif batik Papua telah dibuat Mama Ibo. Salah satunya adalah motif Yoniki. Motif khas Sentani dan hanya digunakan oleh para ondofolo (kepala suku besar) dan ondoafi (kepala suku). Motif Yoniki memiliki tujuh turunan dan sudah dipatenkan menjadi milik Putri Dobonsolo.
Lalu ada juga motif Hiyake, yang saat ini menjadi tren di kalangan batik Papua. Hiyake bergambar burung Cenderawasih berwarna kuning yang menonjolkan ekornya yang indah.
Ada juga motif Hakalu batu, yakni sebuah batu yang biasanya ditaruh di sebuah belanga atau wadah yang terbuat dari tanah liat. Batu atau halaku ini akan menutup wadah tersebut yang biasanya berisi ikan dan membuat ikan menjadi lembek dan lembut, hingga durinya pun bisa ikut dimakan.
Mama Ibo yakin, seni membatik yang digelutinya ini bisa membawa perekonomian di Papua lebih baik. Hanya saja, seni membatik harus ditekuni dengan baik dan dari ketulusan hati. Sebab, dia mengakui bahwa seni membatik, bukan budaya orang Papua. Di Papua yang ada hanyalah budaya mengukir dan melukis.
"Saya ingin, membatik ini menjadi keterampilan baru di Papua," ujar dia.
Buktinya, Sanggar Putri Dobonsolo menjadi pusat pelatihan membatik dari kalangan ibu-ibu berbagai kabupaten di Papua. Lalu, ada juga sejumlah sekolah menengah kejuruan yang mengirimkan siswanya untuk belajar membatik di sanggar ini.
"Saya senang karena orang-orang Papua mulai melirik batik. Susah-susah gampang memang untuk menggeluti bidang ini," tutur dia.
Apalagi, menurut Mama Ibo, sebagian perempuan Papua dilarang sang suami dalam membatik. "Entah dikatakan oleh sang suami bahwa batik bukan budaya Papua-lah atau karena memang larangan untuk berlama-lama dengan sehelai kain."
Darah Seni Mengalir ke Anak
Mama Ibo memiliki lima anak yang semuanya adalah perempuan. Hampir rata-rata keturunan Mama Ibo mengalir seni membatik pada dirinya. Amelia Ibo, 49 tahun, putri pertamanya mengatakan semua anak Mama Ibo belajar membatik secara otodidak.
"Sejak anak-anak hingga kami berumah tangga, selalu melihat Mama dan pegawainya membatik. Apalagi rumah kami juga adalah pusat membatik," ia menjelaskan.
Salah satu murid di Sanggar Putri Dobonsolo adalah Sofia Sroyer, 16 tahun, siswa kelas XI SMK Negeri 5 Jayapura. Gadis cantik berdarah Biak Numfor ini mengaku sudah setahun terakhir belajar membatik di Sanggar Putri Dobonsolo.
"Kebetulan saya ambil jurusan membatik dan saya juga hobi melukis ataupun menggambar. Sekarang saya belajar seni baru lagi," ucap dia.
Nama besar Mama Ibo sebagai pembatik asal Papua yang gigih dan tekun berjuang memperkenalkan batik bermotif Papua ke seluruh dunia, belumlah dilirik pemerintah daerah sebagai aset. Dia mengaku hanya dihubungi oleh pihak pemerintah di saat ada kegiatan pameran atau ajang besar lainnya. Usai kegiatan tersebut, tak pernah ada kelanjutannya.
Mama Ibo berharap, ada perhatian besar dari pemerintah Papua untuk memajukan kreativitas membatik khas Papua bagi orang-orang asli Papua.
"Batik Papua memiliki cerita, namun banyaknya motif yang dikombinasikan oleh pembatik-pembatik di luar Papua, asalkan ada gambar khas Papua-nya, membuat nilai dan cerita dalam batik itu tidak bermakna," ia memaparkan.
Selain untuk busana, imbuh Mama Ibo, batik Papua sekaligus untuk melestarikan budaya.
Bantuan Galeri
Lambat laun kegigihan Mama Ibo untuk terus mempertahankan seni batik di Papua, akhirnya dilirik oleh Bank Indonesia perwakilan Papua, sebagai salah satu binaannya. Ini dilakukan sebagai kepedulian dalam memajukan industri kreatif dan perempuan, sebagai pendorong penggerak ekonomi di Papua.
"Kelompok membatik Mama Ibo, hampir seluruhnya dikerjakan oleh tangan-tangan perempuan dan BI sangat peduli akan hal ini," ujar Kepala BI perwakilan Papua, Joko Supraktikto, Rabu, 8 Maret 2017.
Kerja sama BI untuk Mama Ibo digelar bersama dengan Pemerintah Kabupaten Jayapura, dalam mengembangkan usaha mikro kecil dan menengah.
"Mama Ibo adalah potensi untuk pengembangan usaha kecil. Batik ini dikerjakan oleh orang asli Papua, berasal dari Papua dan dapat dipasarkan di luar Papua," ujar dia.
Bank Indonesia bahkan menyiapkan galeri untuk memajang hasil produksi batik Mama Ibo. Galeri yang berukuran 5x5 meter itu berada di Lantai II Kediaman Mama Ibo. "Selain melakukan pelatihan, kami juga akan memasarkan produk batik Mama Ibo ke luar Papua," Joko memungkasi. (liputan6)
0 komentar:
Post a Comment