Jayapura – Tonotwiyat adalah
hutan perempuan di Papua. Hutan mangrove seluas 8 hektar ini berada
persis di depan Kampung Enggros, Kota Jayapura Papua. Disebut hutan
perempuan karena memang hanya perempuan yang boleh beraktivitas di hutan
tersebut.
Jaraknya dari kampung hanya 3 menit perjalanan menggunakan perahu motor tempel. Apakah tidak boleh laki-laki masuk ke hutan tersebut? Boleh saja saat akan mengambil kayu untuk membuat rumah atau untuk kebutuhan kayu bakar. Namun saat memasuki hutan dipastikan tidak ada perempuan yang sedang beraktivitas di dalam.
‘’Sebelum laki-laki pergi mengambil kayu harus diumumkan di kampung terlebih dulu, supaya mama-mama dorang tidak masuk ke hutan, ya harus minta izin dulu kalau laki-laki mau masuk ke hutan perempuan,’’ ujar Kepala Kampung Enggros Origenes Meraudje.
Jika ada laki-laki memasuki hutan perempuan akan mendapat sanksi adat. Namun kejadian tersebut sangat jarang terjadi. Terakhir 2012 lalu, seorang pemuda dikenai sanksi adat dengan membayar manik-manik. Dia masuk hutan perempuan saat mama-mama sedang mencari kerang.
“Pemuda itu mengancam seorang mama dengan pisau, dia ditangkap warga kampung karena warga mendengar teriakan mama-mama dari dalam hutan,’’ ujar Ondoafi Kampung Enggros John Sanyi (59).
Bagi Mama Nela Hababuk (53), hutan perempuan adalah sumber kehidupan, karena di dalam tersedia ikan, kerang, kepiting yang diambil untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga.
Jika stok ikan, kerang maupun kepiting di dapur sudah menipis maka mama-mama mulai berembuk untuk masuk ke Tonowiyat. Mereka bisa menghabiskan waktu sepanjang hari di dalam hutan perempuan.
“Kalau kami mau masuk ke hutan kami saling mengajak, anak-anak perempuan juga kita ajak, kami bawa bekal secukupnya untuk makan siang karena biasanya kami berada dalam hutan dari pagi hingga menjelang malam,’’ ujar Mama Nela.
Saat berada dalam hutan dan muai mencari kerang yang tertanam dalam lumpur, kaum perempuan mengeluarkan pakaian sehingga tidak selembar kain pun yang melekat di tubuh. Mereka akan berada dalam air berjam-jam lamanya. Kadang menyelam untuk mengangkat kerang dari dalam lumpur, atau menggunakan kaki untuk mengambil erang.
Sebuah perahu sudah disiapkan dan terus berlabuh dalam tengah hutan yang kemudian diisi dengan kerang-kerang atau kepiting yang didapat.
‘’Kalau tidak pakai baju itu sudah merupakan kebiasaan dari nenek moyang dan menurun ke kami. Kami rasakan jika menggunakan baju selama berada dalam air mencari kerang kadang kulit gatal dan juga kita tidak bebas bergerak,’’ cerita Maria Meraudje (63).
Saat berada dalam hutan perempuan, mama-mama bebas berekspresi. ‘’Kami kadang bernyanyi bercerita yang lucu-lucu sehingga tertawa nyaring, kadang suara tertawa kami kedengaran sampai ke kampung. Kami tertawa bebas bercerita apa saja sambil mencari kerang,’’ ujar Mama Nela.
Seperti kaum perempuan yang tinggal di wilayah perairan, kaum perempuan di Enggros juga sejak kecil sudah diajar mendayung perahu, karena saatnya nanti mereka mendayung perahu masuk ke hutan perempuan. (Far/Aza/Nds/INI-Network)
Oleh: Dharma Somba
Jaraknya dari kampung hanya 3 menit perjalanan menggunakan perahu motor tempel. Apakah tidak boleh laki-laki masuk ke hutan tersebut? Boleh saja saat akan mengambil kayu untuk membuat rumah atau untuk kebutuhan kayu bakar. Namun saat memasuki hutan dipastikan tidak ada perempuan yang sedang beraktivitas di dalam.
‘’Sebelum laki-laki pergi mengambil kayu harus diumumkan di kampung terlebih dulu, supaya mama-mama dorang tidak masuk ke hutan, ya harus minta izin dulu kalau laki-laki mau masuk ke hutan perempuan,’’ ujar Kepala Kampung Enggros Origenes Meraudje.
Jika ada laki-laki memasuki hutan perempuan akan mendapat sanksi adat. Namun kejadian tersebut sangat jarang terjadi. Terakhir 2012 lalu, seorang pemuda dikenai sanksi adat dengan membayar manik-manik. Dia masuk hutan perempuan saat mama-mama sedang mencari kerang.
“Pemuda itu mengancam seorang mama dengan pisau, dia ditangkap warga kampung karena warga mendengar teriakan mama-mama dari dalam hutan,’’ ujar Ondoafi Kampung Enggros John Sanyi (59).
Bagi Mama Nela Hababuk (53), hutan perempuan adalah sumber kehidupan, karena di dalam tersedia ikan, kerang, kepiting yang diambil untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga.
Jika stok ikan, kerang maupun kepiting di dapur sudah menipis maka mama-mama mulai berembuk untuk masuk ke Tonowiyat. Mereka bisa menghabiskan waktu sepanjang hari di dalam hutan perempuan.
“Kalau kami mau masuk ke hutan kami saling mengajak, anak-anak perempuan juga kita ajak, kami bawa bekal secukupnya untuk makan siang karena biasanya kami berada dalam hutan dari pagi hingga menjelang malam,’’ ujar Mama Nela.
Saat berada dalam hutan dan muai mencari kerang yang tertanam dalam lumpur, kaum perempuan mengeluarkan pakaian sehingga tidak selembar kain pun yang melekat di tubuh. Mereka akan berada dalam air berjam-jam lamanya. Kadang menyelam untuk mengangkat kerang dari dalam lumpur, atau menggunakan kaki untuk mengambil erang.
Sebuah perahu sudah disiapkan dan terus berlabuh dalam tengah hutan yang kemudian diisi dengan kerang-kerang atau kepiting yang didapat.
‘’Kalau tidak pakai baju itu sudah merupakan kebiasaan dari nenek moyang dan menurun ke kami. Kami rasakan jika menggunakan baju selama berada dalam air mencari kerang kadang kulit gatal dan juga kita tidak bebas bergerak,’’ cerita Maria Meraudje (63).
Saat berada dalam hutan perempuan, mama-mama bebas berekspresi. ‘’Kami kadang bernyanyi bercerita yang lucu-lucu sehingga tertawa nyaring, kadang suara tertawa kami kedengaran sampai ke kampung. Kami tertawa bebas bercerita apa saja sambil mencari kerang,’’ ujar Mama Nela.
Seperti kaum perempuan yang tinggal di wilayah perairan, kaum perempuan di Enggros juga sejak kecil sudah diajar mendayung perahu, karena saatnya nanti mereka mendayung perahu masuk ke hutan perempuan. (Far/Aza/Nds/INI-Network)
Oleh: Dharma Somba
0 komentar:
Post a Comment