NABIRE - Hiruk pikuk pendapat yang dimuat media massa di beberapa hari
terakhir ini terhadap pelaksanaan pemungutan suara ulang di Distrik
Piyaiye mendapat tanggapan balik dari sejumlah tokoh orang tua dan juga
generasi muda asal Distrik Piyaiye. Salah seorang tokoh generasi muda
yang sempat mencalonkan diri menjadi calon wakil bupati asal Piyaiye,
Feliks Kabeida Makai mengatakan, opini publik yang dikembangkan kalangan
tertentu terhadap pelaksanaan pemungutan ulang di Distrik Piyaiye
adalah hak setiap orang untuk mengeluarkan pendapat. Tetapi mesti jelas
sumber berita, ditujukan kepada siapa dan untuk apa. Soalnya, kata
Kabeida, penyebutan namanya pada edisi Selasa kemarin oleh David Makai
sudah salah sasaran.
“Kami di Distrik Piyaiye, nama Feliks Makai ada banyak, jadi yang mana. Kalau saya, ya sumber berita harus menyebutkan dengan jelas identitas saya. Sebab hal kecil ini bisa berakibat fatal bagi nama baik dirinya,” ujar Makai.
Sementara itu, anggota Panwas Distrik Piyaiye yang berdiri disamping Kabeida, Yuliten Magai mengatakan, terkait komentar pencopotan Kepala Distrik Piyaiye dan anggota-anggota PPD, kata Magai, tidak ada istilah pergantian-pergantian dalam 90 hari kerja sebagaimana yang diminta Mahkamah Konstitusi. Panwas Distrik juga tidak melihat pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara. Mahkamah dalam amar putusan halaman 75 dan 76 hanya meminta untuk melaksanakan pemungutan suara ulang dan itu pun sesuai dengan metode yang diinginkan oleh masyarakat adat Piyaiye, bukan yang diinginkan oleh orang yang mengaku pengurus adat atau kepala suku. KPUD juga tidak bisa mengatur sesuai hukum formal yang berlaku, tetapi hal itu berdasarkan adat kebiasaan yang diinginkan rakyat berdasarkan kesepatakan dan hal itu diakui oleh konstitusi negara ini.
“Dalam situasi begini, bisa saja muncul kepala suku gadungan, tokoh adat buatan, padahal orangnya tinggal di Nabire”, ujar Kabeida seraya mengatakan ada orang-orang yang berdiri dibelakang David Makai dan sedang membangun opini publik yang tidak benar dan tidak mendidik.
Terhadap pelaksanaan pemungutan suara di Piyaiye, kata Kabeida, biarkan rakyat sendirilah yang mengatur sesuai kemauan mereka. Rakyat Piyaiye yang tinggal di Nabire, maupun intelek lain untuk tidak ikut campur soal pemungutan suara ulang di Piyaiye.
Kepada pihak kepolisian, Kabeida meminta untuk berdiri di tengah. Kapolres Nabire diminta untuk tidak boleh mengirim pasukan di Piyaiye, karena Piyaiye bukan Daerah Operasi Militer (DOM). Disana, rakyat Piyaiye justru menunggu laporan palsu kepolisian yang masuk di meja MK. Oleh karena itu, untuk Piyaiye, cukup PAM dari Kapolsek Mapia.
Kabeida juga menyinggung pesta demokrasi yang biasa dilakukan di Piyaiye sejak Papua bergabung dengan NKRI. Bahwa, kata Kabeida, disana tidak pernah dilakukan sistem contreng. Sejak jaman Habel Makai, Andreas Bunapa hingga sekarang Laurent Makai tidak pernah rakyat lakukan contreng di TPS. Tetapi rakyat selalu kumpul di ibu kota distrik untuk bicarakan suara dari Piyaiye kasih kepada siapa. Alasan utama, menurut Kabeida, karena Piyaiye ini daerah yang sangat jauh dan terisolisir dan jauh dari jangkauan sehingga suara rakyat Piyaiye tidak boleh rugi, apalagi ada anggota dewan yang meninggal dunia.
“Tanya saja kepala-kepala kampung atau masyarakat dari Piyaiye tentang sistem pemilihan yang dilakukan selama ini. Nanti mereka akan kastau,” ujar Makai.
Jadi, kata Makai, rakyat disana sedang tunggu kapan jadwal pemungutan suara ulang untuk memilih tiga pasangan calon bupati Dogiyai sesuai putusan Mahkamah Konstitusi.
Sekedar untuk diketahui bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 3/PHPU.D-X/2012 pada AMAR PUTUSAN halaman 75 dan 76 point ketiga, jelas-jelas sudah perintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Dogiyai untuk melakukan pemungutan suara ulang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Dogiyai di delapan kampung Distrik Piyaiye dengan metode pemilihan sesuai tata cara yang dikehendaki kesatuan masyarakat hukum adat. (nd)
“Kami di Distrik Piyaiye, nama Feliks Makai ada banyak, jadi yang mana. Kalau saya, ya sumber berita harus menyebutkan dengan jelas identitas saya. Sebab hal kecil ini bisa berakibat fatal bagi nama baik dirinya,” ujar Makai.
Sementara itu, anggota Panwas Distrik Piyaiye yang berdiri disamping Kabeida, Yuliten Magai mengatakan, terkait komentar pencopotan Kepala Distrik Piyaiye dan anggota-anggota PPD, kata Magai, tidak ada istilah pergantian-pergantian dalam 90 hari kerja sebagaimana yang diminta Mahkamah Konstitusi. Panwas Distrik juga tidak melihat pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara. Mahkamah dalam amar putusan halaman 75 dan 76 hanya meminta untuk melaksanakan pemungutan suara ulang dan itu pun sesuai dengan metode yang diinginkan oleh masyarakat adat Piyaiye, bukan yang diinginkan oleh orang yang mengaku pengurus adat atau kepala suku. KPUD juga tidak bisa mengatur sesuai hukum formal yang berlaku, tetapi hal itu berdasarkan adat kebiasaan yang diinginkan rakyat berdasarkan kesepatakan dan hal itu diakui oleh konstitusi negara ini.
“Dalam situasi begini, bisa saja muncul kepala suku gadungan, tokoh adat buatan, padahal orangnya tinggal di Nabire”, ujar Kabeida seraya mengatakan ada orang-orang yang berdiri dibelakang David Makai dan sedang membangun opini publik yang tidak benar dan tidak mendidik.
Terhadap pelaksanaan pemungutan suara di Piyaiye, kata Kabeida, biarkan rakyat sendirilah yang mengatur sesuai kemauan mereka. Rakyat Piyaiye yang tinggal di Nabire, maupun intelek lain untuk tidak ikut campur soal pemungutan suara ulang di Piyaiye.
Kepada pihak kepolisian, Kabeida meminta untuk berdiri di tengah. Kapolres Nabire diminta untuk tidak boleh mengirim pasukan di Piyaiye, karena Piyaiye bukan Daerah Operasi Militer (DOM). Disana, rakyat Piyaiye justru menunggu laporan palsu kepolisian yang masuk di meja MK. Oleh karena itu, untuk Piyaiye, cukup PAM dari Kapolsek Mapia.
Kabeida juga menyinggung pesta demokrasi yang biasa dilakukan di Piyaiye sejak Papua bergabung dengan NKRI. Bahwa, kata Kabeida, disana tidak pernah dilakukan sistem contreng. Sejak jaman Habel Makai, Andreas Bunapa hingga sekarang Laurent Makai tidak pernah rakyat lakukan contreng di TPS. Tetapi rakyat selalu kumpul di ibu kota distrik untuk bicarakan suara dari Piyaiye kasih kepada siapa. Alasan utama, menurut Kabeida, karena Piyaiye ini daerah yang sangat jauh dan terisolisir dan jauh dari jangkauan sehingga suara rakyat Piyaiye tidak boleh rugi, apalagi ada anggota dewan yang meninggal dunia.
“Tanya saja kepala-kepala kampung atau masyarakat dari Piyaiye tentang sistem pemilihan yang dilakukan selama ini. Nanti mereka akan kastau,” ujar Makai.
Jadi, kata Makai, rakyat disana sedang tunggu kapan jadwal pemungutan suara ulang untuk memilih tiga pasangan calon bupati Dogiyai sesuai putusan Mahkamah Konstitusi.
Sekedar untuk diketahui bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 3/PHPU.D-X/2012 pada AMAR PUTUSAN halaman 75 dan 76 point ketiga, jelas-jelas sudah perintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Dogiyai untuk melakukan pemungutan suara ulang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Dogiyai di delapan kampung Distrik Piyaiye dengan metode pemilihan sesuai tata cara yang dikehendaki kesatuan masyarakat hukum adat. (nd)
Sumber |
0 komentar:
Post a Comment