Menurut Seorang Pengamat Kwik Kian Gie, informasi
mengenai "subsidi BBM" adalah menyesatkan dan omong kosong. Saya
(blogger) berpendapat, karena omong kosong itu sengaja digunakan untuk
menyesatkan masyarakat maka bisa dikategorikan sebagai penipuan. Mari kita
bahas secara ilmiah, meski mohon ma'af, data tentang angka-angka yang digunakan
dalam analisis ini seperti kuantitas produksi dan konsumsi BBM serta harga BBM
mungkin keliru, namun secara esensi adalah benar adanya.
Subsidi adalah kerugian biaya yang ditanggung
pemerintah karena biaya produksi BBM yang dikeluarkan lebih besar dari
penjualannya. Misalnya saja biaya produksi 1 liter BBM adalah Rp 4.500 dan
harga jualnya Rp 3.000. Maka untuk setiap 1 liter BBM yang diproduksi
pemerintah harus memberikan subsidi Rp 1.500.
Sekarang mari kita lihat dalam konteks produksi BBM di
Indonesia. Produksi BBM mentah di Indonesia sekitar 1 juta barrel per-hari, 92%
diserahkan produksinya kepada asing dan 8% sisanya ke Pertamina. Dari 92% BBM
mentah yang diproduksi asing sebanyak 70%-nya menjadi hak negara c.q
pemerintah. Dengan asumsi Pertamina adalah perusahaan pemerintah, maka total
produksi BBM mentah yang menjadi hak pemerintah adalah 64% dari total produksi
minyak mentah nasional atau sekitar 640.000 barrel per-hari. Harga produksi
minyak mentah, katakanlah sekitar $20/barrel meski mungkin jauh lebih murah
lagi.
Jika harga pasaran minyak mentah adalah $80/barrel
sebagaimana beberapa waktu lalu, maka keuntungan pemerintah adalah ($80 - $20)
x 640.000 per-hari atau $38,4 juta atau sekitar Rp 380 milir per-hari.
Sementara itu untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam
negeri, pemerintah harus mengimpor minyak sebesar 100.000 barrel per-hari.
Dengan harga pasaran $80 dollar/barrel, maka pemerintah harus mengeluarkan
biaya sebesar $8 juta atau sekitar Rp 75 miliar per-hari. Dengan demikian maka
pemerintah masih mendapatkan surplus sebesar Rp 380 miliar - Rp 75 miliar = Rp
305 miliar per-hari atau sekitar Rp 111 triliun setahun.
Kemudian katakanlah terjadi kenaikan harga BBM
internasional hingga mencapai $100 per-barrel. Pengeluaran pemerintah untuk
mengimpor minyak memang naik menjadi $10 juta atau sekitar Rp 90 miliar
per-hari. Namun pendapatan pemerintah, tanpa menaikkan harga minyak, masih
lebih besar dari angka itu dan pemerintah masih menanggung untung Rp 380 miliar
- Rp 90 miliar = Rp 290 miliar per-hari atau sekitar Rp 105 triliun setahun.
Sama sekali tidak ada subsidi, hanya berkurang keuntungan sebesar Rp 111
triliun - Rp 105 triliun = Rp 6 triliun.
Lalu mengapa pemerintah, media massa, pengamat ekonomi
liberal dan "teh botol" (teknokrat "bodoh tolol, meminjam
istilah Prof Sanyoto") menakut-nakuti rakyat dengan omong kosong (meminjam
istilah Kwik Kian Gie) soal "subsidi BBM" yang memberatkan keuangan
pemerintah? Tidak lain karena dengan naiknya harga BBM, para pemilik perusahaan
minyak asing yang mengelola 92% minyak mentah Indonesia dan pemerintahan
liberal jajahan yahudi Indonesia tidak ingin kehilangan kesempatan mendapatkan
durian runtuh. Dengan menaikkan harga minyak, tentu mereka mendapatkan
keuntungan lebih besar meski tanpa itu pun mereka tidak pernah sama sekali
mengeluarkan "subsidi" sesenpun. Kekurangan keuntungan yang hanya
sebesar Rp 6 triliun itu sudah dianggap bencana dan mereka rela membebani
rakyat dengan kenaikan BBM hanya agar keuntungan mereka tidak berkurang.
Sekali lagi tidak pernah ada subsidi. Kenaikan harga
BBM internasional hanya mengakibatkan berkurangnya keuntungan pemerintah dan
perusahaan minyak asing dan itu membuat pemerintah merasa keberatan. Inilah
akibatnya kalau pemerintah tidak berpihak kepada rakyatnya sendiri melainkan
kepada asing.
FACEBOOK
0 komentar:
Post a Comment