Diterbitkan : 16 Maret 2012 - 12:17pm | Oleh Johan Huizinga (Foto: www.aviacrash.nl)
Kecelakaan pesawat di Biak tahun 1957 menjadi headline berita
kala itu. Namun tidak pernah ada monumen peringatan baik bagi 58
korbannya, maupun untuk penduduk Papua yang berhasil menyelamatkan nyawa
10 korban.
pesawat yang kecelakaan di biak 1957 |
KLM tetap berpangku tangan. Berkat Hannie de Rijke en Henk Wagenaar,
dua korban selamat, sekarang didirikan monumen peringatan atas
kecelakaan naas tersebut.
“Kami sungguh diburu waktu!” tutur Hannie de Rijke. Dari 10 korban
selamat, hanya lima yang masih hidup. Kebanyakan keluarga korban pun
telah lanjut usia. Penduduk Papua yang ketika itu rela mempertaruhkan
nyawa di laut demi menyelamatkan para korban pun sudah banyak yang
meninggal dunia.
Saat kecelakaan terjadi 16 Juli 1957, Hannie berusia delapan tahun.
Bersama orang tua, saudara laki-laki serta saudara perempuannya, ia
menumpang pesawat Super Constellation Neutron milik KLM dari Biak.
Ayahnya adalah seorang pengacara di Papua dan mereka sekeluarga hendak
berlibur ke Belanda.
Low Pass
“Connie”, sebagaimana pesawat itu dipanggil, lepas landas pukul 03.32 dini hari dari lapangan udara Mokmer, Biak. Hamparan laut memantulkan cahaya di bawah sinar bintang-bintang. Sang pilot bermaksud menunjukkan pemandangan cahaya di Biak kepada para penumpangnya sekali lagi.
“Connie”, sebagaimana pesawat itu dipanggil, lepas landas pukul 03.32 dini hari dari lapangan udara Mokmer, Biak. Hamparan laut memantulkan cahaya di bawah sinar bintang-bintang. Sang pilot bermaksud menunjukkan pemandangan cahaya di Biak kepada para penumpangnya sekali lagi.
Pesawat pun menukik tajam di atas laut dan kembali melintasi bandara
untuk melakukan “low pass”. Petugas pengatur lalu lintas bandara sengaja
menyalakan lampu di sepanjang lintasan bandara. Namun pesawat
kehilangan keseimbangan.
Dalam waktu kurang dari tiga menit setelah memulai aksinya, pesawat pun terjerembab ke laut.
Ekor pesawat patah
“Saya memang merasakan kalau waktu itu kami terbang miring sekali. Setelah itu, langsung semuanya gelap. Saya tidak ingat lagi,” kata Hannie de Rijke sambil mengingat-ingat. Hannie beruntung. Ia duduk bersama keluarganya di bagian ekor pesawat yang kemudian patah. Mereka pun tergelincir dengan kursi mereka ke lantai pesawat.
“Saya memang merasakan kalau waktu itu kami terbang miring sekali. Setelah itu, langsung semuanya gelap. Saya tidak ingat lagi,” kata Hannie de Rijke sambil mengingat-ingat. Hannie beruntung. Ia duduk bersama keluarganya di bagian ekor pesawat yang kemudian patah. Mereka pun tergelincir dengan kursi mereka ke lantai pesawat.
“Dibantu ayah saya, ibu tetap mengambang dengan kursinya. Ia cuma
bisa berenang kalau airnya dangkal.” Hannie pun berenang di antara
potongan pesawat yang terbakar. Akhirnya ia dan seluruh anggota
keluarganya, serta korban selamat lainnya berhasil diselamatkan penduduk
Papua dari dalam air.
Tanpa monumen peringatan
Kenapa tidak pernah didirikan monumen untuk mengenang kecelakaan pesawat terparah dalam sejarah ketika itu? “KLM tidak berbuat apa-apa,” kata Hannie. “Mereka memang menolong dengan memberikan manifest penumpang, tapi selebihnya jangan berharap apa-apa. Hal itu ditegaskan sebanyak empat kali dalam sebuah surat.”
Kenapa tidak pernah didirikan monumen untuk mengenang kecelakaan pesawat terparah dalam sejarah ketika itu? “KLM tidak berbuat apa-apa,” kata Hannie. “Mereka memang menolong dengan memberikan manifest penumpang, tapi selebihnya jangan berharap apa-apa. Hal itu ditegaskan sebanyak empat kali dalam sebuah surat.”
Hannie tidak mau lagi berspekulasi tentang motif dari pihak KLM.
Komite Penerbangan (Raad voor de Luchtvaart) saat itu menyimpulkan “
bukan kesalahan terbang, bukan juga gangguan teknis yang bisa
menjelaskan penyebab kecelakaan”.
Namun komite menganggap aksi “low run” selama penerbangan normal
tidak boleh dilakukan lagi. Hannie menyimpulkan, “Aksi semacam itu
seharusnya dilakukan dengan pesawat olahraga, bukan dengan pesawat
komersil yang penuh penumpang,”
Laki-laki berperawakan kecil
Hannie de Rijke kembali ke Belanda tahun 1960. Baru pada tahun 1987 ia kembali lagi ke Biak untuk pertama kalinya, demi mencari penduduk Papua yang menyelamatkan nyawanya. Ada sepuluh orang. “Koper saya dipenuhi kado untuk mereka.”
Hannie de Rijke kembali ke Belanda tahun 1960. Baru pada tahun 1987 ia kembali lagi ke Biak untuk pertama kalinya, demi mencari penduduk Papua yang menyelamatkan nyawanya. Ada sepuluh orang. “Koper saya dipenuhi kado untuk mereka.”
Hanya Hendrik Simbiak yang masih ingat telah mengeluarkan Hannie dari
dalam air. “Saya jadi sangat emosional dan langsung menangis. Ini untuk
pertama kalinya, namun tentu saja wajar. Hendrik adalah laki-laki
berperawakan kecil, tapi tetap sedikit nyeleneh. Kemudian ia membuatkan
saya sebuah patung kayu.”
Satu-satunya kenangan yang diberikan para korban selamat kepada
penduduk Papua ketika itu adalah sebuah lonceng. Namun kini didirikan
sebuah monumen peringatan di Biak yang akan dibuka pada 16 Juli 2012,
tepat 55 tahun setelah kecelakaan naas tersebut.
Biaya sebesar 12.000 euro berhasil dikumpulkan dari sumbangan
keluarga, teman, dan kenalan para korban. “Tapi tetap saja harus
ditambahkan dana lainnya,” kata Hannie tertawa dan menunjuk ke halaman
situs mereka.
Pulang ke rumah
Hannie belum berhasil menghubungi semua keluarga korban. Ada juga orang Inggris yang menumpang pesawat “Connie” waktu itu. Namun Hannie telah bicara dengan banyak orang yang ingin menghadiri pembukaan monumen peringatan.
Hannie belum berhasil menghubungi semua keluarga korban. Ada juga orang Inggris yang menumpang pesawat “Connie” waktu itu. Namun Hannie telah bicara dengan banyak orang yang ingin menghadiri pembukaan monumen peringatan.
Batu peringatan itu ditempelkan di dinding luar museum kecil yang
dibangun sendiri oleh penduduk Papua demi mengenang kecelakaan tersebut.
Kenangan atas Papua tetap bertumpuk. Kecelakaan pesawat ini tetap
menjadi babak yang sulit ditutup. Namun kerinduan terhadap “kampung
halaman” juga tidak terhapuskan.
Ketika remaja, Hannie berharap menemukan suasana dan aroma yang sama
dalam liburannya di Spanyol atau Yunani. “Namun tidak pernah sama. Baru
waktu kembali ke Papua untuk pertama kalinya dan melangkah keluar
pesawat, saya langsung merasakan kehangatan, aroma, irama, kelembaban,
pulang ke ‘kampung halaman’.”
0 komentar:
Post a Comment