Oleh: Viktor Krenak - Perkembangan
gejolak Papua saat ini, khususnya yang berkaitan dengan peluncuran
International Lawyer for West Papua (ILWP) serta kaukus parlemen untuk
mendukung pemisahan Papua dari NKRI (IPWP) di beberapa negara Eropa dan
Asia Pasifik, tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Apalagi, Amerika
Serikat (AS) yang kita ketahui sejak awal telah memainkan peran sangat
menentukan di forum-forum internasional untuk mendukung integrasi Papua
ke dalam NKRI, kini mulai berubah, ibarat berdiri di dua kaki.
Pada
kaki yang satu, AS tampak mendukung penuh kebijakan Otonomi Khusus
(Otsus) yang diberlakukan di Tanah Papua, namun pada kaki yang lain AS
diam-diam menjalin persekutuan dengan negara-negara seperti Inggris,
Australia, Belanda yang mendukung separatisme di Papua. Salah satu
buktinya, adalah AS telah memberikan ruang gerak kepada para aktivis pendukung Papua merdeka (pro-M) seperti Herman Wainggai
yang saat ini telah menetap di AS. Negara yang sangat ketat soal
kedatangan orang asing itu telah menampung Herman Wanggai dkk entah
dengan jenis visa apa.
Herman
sebelumnya tinggal di Australia. Kita ingat peristiwa tahun 2008 lalu
ketika Herman berhasil menyelundupkan 28 orang Papua (termasuk
anak-anak) ke Pulau Christmas, Australia untuk meminta suaka politik ke
negara kanguru itu.
Setelah sukses membentuk sel di Australia, dan berhasil mendorong Partai
Hijau untuk menjadi tuan rumah peluncuran IPWP Asia Pasifik pada
Februari 2012 yang lalu, Herman dkk coba merambah ke negeri Paman Sam.
Hasilnya, dengan dukungan Benny Wenda dari Inggris dan Oridek AP dari Belanda, ILWP pun berhasil diluncurkan di negeri Paman Sam.
Telunjuk Hillary
Inikah
maksud Hillary Clinton (Menlu AS) yang pada November tahun lalu di
Hawai (sebagaimana dilansir AFP 11/11/2011) mengatakan bahwa Pemerintah AS telah khawatir atas kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, sehingga pihaknya akan mendorong adanya dialog dan reformasi politik berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan legal rakyat Papua ?
Ini
pulakah missi AS menempatkan pangkalan militernya di Darwin, agar
bersama Australia bisa mengontrol perkembangan gerakan separatisme di
Papua? Artinya, jika gerakan itu semakin besar dan membuat masa depan
Freeport terancam, maka politik cari amanpun segera dimainkan dengan
berlindung di balik HAM.
Ternyata,
politik luar negeri AS adalah politik ‘cari aman’, sekaligus politik
cari makan. Demi kelangsungan hidup Freeport di Tanah Papua, Act of Free Choice di Papua bisa dilakukan berkali-kali.
Maka orang Papua harus bersiap untuk melakukan PEPERA sekali lagi.
Bahkan mungkin akan ada PEPERA-I (tahun 1969), PEPERA-II (2014 ?),
PEPERA-III dan seterusnya…hingga emas dan tembaga di perut bumi Cendrawasih habis dikeruk.
Perkara
sudah ada Resolusi Majelis Umum PBB IV No.2504 tanggal 19 November 1969
yang mengesahkan hasil PEPERA (I-?), kalau AS mau, tinggal diamandemen.
Toh sudah ada ILWP di AS, tinggal menunggu komando saja. KOMPASIANA
0 komentar:
Post a Comment