Diterbitkan : 30 November 2011 - 4:47pm | Oleh Aboeprijadi Santoso (Foto: Koen Cobbaert)
1 Desember 1961. Tepat 50 tahun yang lalu Papua -
kala itu bernama West Nieuw Guinea - mendeklarasikan kemerdekaan. Kini,
propinsi Papua seperti seorang anak kehilangan Ibu Pertiwi. Kolom Aboeprijadi Santoso.
Kalangan politik tertentu di Parlemen Belanda rupanya ingin memanfaatkan momentum ini untuk mengangkat isu Papua dengan merujuk pada hak-hak penentuan nasib sendiri. Tapi Papua bukan Timor Timur. Masalah Papua amat berbeda. Sementara para politisi Belanda kesasar atau masih terjebak dalam tradisi paternalisme kolonial yang mereka kembangkan sendiri.
Setengah abad silam, situasi Papua amat berbeda. Kala itu Belanda masih berperan penting, secara politik dan juga dalam kehidupan beragama di propinsi yang dulunya bernama Irian Barat.
Bendera dan lagu
Deklarasi Kemerdekaan Papua 1 Desember 1961 yang diumumkan di lapangan di Hollandia - kini Jayapura atau Port Numbay - masih berlangsung sepenuhnya di bawah payung Belanda yang secara politik dan religius menjadi panutan lokal Papua dan mencoba memisahkannya dari Republik Indonesia.
Bahkan bendera dan lagunya pun disusun oleh kalangan Papua dan Belanda.
Nasib Papua mengalami tiga kali fait accompli. Pertama di bawah kolonialisme Belanda. Kedua, menjadi daerah sengketa dan baru sejak tahun 1963 resmi berada di bawah pangkuan R.I. Ketiga, sejak 1969 berada di bawah pemerintahan efektif dan eksploitasi Orde Baru.
Sapi perahan Orba
Ketiga proses ini membuat Papua sebagaimana adanya sekarang. Seolah kehilangan Ibu Pertiwi, karena terlambat menjadi bagian dari proses formasi bangsa Indonesia, dan kemudian menjadi sapi perahan Orde Baru, yang membuat Papua terasing dari Indonesia.
Dalam KMB (Konperensi Meja Bundar) 1949, pihak Belanda berhasil mempertahankan kekuasaannya di Irian Barat, membuat Papua ketinggalan dalam proses bangsa. Diplomasi Indonesia kemudian berhasil mengalahkan Belanda.
Pada 1962 di PBB disepakati untuk "mengembalikan" Papua di bawah Indonesia, namun menurut persetujuan PBB, masa depan Papua harus ditentukan melalui plebisit. Celakanya, plebisit atau Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) inilah yang tidak berlangsung secara adil: bukan one man one vote, bahkan dipecundangi Opsus di bawah pimpinan Mayjen Ali Moertopo.
Freeport
Akibatnya, Papua menjadi bagian Indonesia sebagai anak yang terasing. Bahkan, sebelum PBB menyerahkannya secara resmi kepada RI pada 1969, Orde Baru sudah mengundang perusahaan raksasa emas dan tembaga Freeport, yang kini menjadi sengketa panas.
Ketegangan-ketegangan dan konflik yang terjadi kemudian menimbulkan sejumlah pelanggaran besar HAM dan perusakan lingkungan hidup.
Singkatnya, Papua kini tiba di situasi yang terasing dan berkonflik dengan pemerintah pusat.
PVV
Namun beberapa kalangan politik di Belanda, meski keliru melihat situasi ini, mengira dapat memanfaatkan momentum tersebut. Wakil Partai Untuk Kebebasan (PVV), yang dikenal sebagai anti-migran dan anti-Islam, dalam sidang dengar pendapat di Parlemen bersuara mendukung kemerdekaan Papua.
Mereka beralasan perlu mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua.
Suara PVV, partai terbesar ketiga di Belanda yang menjadi penunjang kabinet minoritas perdana menteri Mark Rutte, memperlihatkan oportunisme populis. Suara mereka menggantikan kalangan partai Kristen konservatif yang sejak lama menyikapi Papua dengan semangat paternalisme-kolonial.
Aneh
Dulu, Papua menjadi obyek badan yang bernama "Door De Eeuwen Trouw" (Setia Berabad-Abad, Red.). Badan ini tidak aktif lagi, tapi kini PVV menggantikannya. Sikap ini aneh karena PVV justru merupakan partai populisme-kanan yang sekuler dan sangat berorientasi ke dalam.
Mengapa PVV cenderung melihat keluar kalau menyangkut isu Papua?
Sementara mereka terjebak tradisi paternalisme warisan jaman kolonial, kini PVV menunjukkan sikap yang naif bila mengharapkan isu Papua dapat dikompori menjadi isu referendum PBB untuk mencapai kemerdekaan.
Naif
PVV naif ketika mengabaikan tiga soal dasar. Pertama, berbeda dengan Papua, Timor Timur yang jajahan Portugal menjadi korban invasi tahun 1975 – serupa Kuwait menjadi korban invasi Saddam tahun 1990. Sebagian besar masyarakat dunia menentang aneksasi Timor Timur.
Sementara Papua menjadi bagian RI melalui proses diplomasi yang sah.
Kedua, diplomasi gerakan perlawanan Timor Timur sepanjang tahun 1990-an sukses karena bersamaan waktu ditunjang oleh perlawanan gerilya bersenjata. Sinkronisasi perlawanan ini tidak pernah terjadi di Papua.
Kesasar
Ketiga, masalah Papua kini memanas di masa Indonesia memasuki tahap demokrasi dan desentralisasi. Kalangan luar negeri, termasuk PVV di Belanda, tidak pernah memahami ini sebagai masalah good governance yang harus diselesaikan bersamaan dengan penghormatan atas hak hak asasi dan hak-hak Papua atas sejarah yang diselewengkan Orde Baru.
Kalangan yang mengangkat isu Papua di Parlemen Belanda rupanya masih terjebak warisan paternalisme kolonial terhadap Papua, atau kesasar, keliru melihat Papua seolah-olah konflik ini mirip isu Timor Timur di masa lalu.
http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/
Kalangan politik tertentu di Parlemen Belanda rupanya ingin memanfaatkan momentum ini untuk mengangkat isu Papua dengan merujuk pada hak-hak penentuan nasib sendiri. Tapi Papua bukan Timor Timur. Masalah Papua amat berbeda. Sementara para politisi Belanda kesasar atau masih terjebak dalam tradisi paternalisme kolonial yang mereka kembangkan sendiri.
Setengah abad silam, situasi Papua amat berbeda. Kala itu Belanda masih berperan penting, secara politik dan juga dalam kehidupan beragama di propinsi yang dulunya bernama Irian Barat.
Bendera dan lagu
Deklarasi Kemerdekaan Papua 1 Desember 1961 yang diumumkan di lapangan di Hollandia - kini Jayapura atau Port Numbay - masih berlangsung sepenuhnya di bawah payung Belanda yang secara politik dan religius menjadi panutan lokal Papua dan mencoba memisahkannya dari Republik Indonesia.
Bahkan bendera dan lagunya pun disusun oleh kalangan Papua dan Belanda.
Nasib Papua mengalami tiga kali fait accompli. Pertama di bawah kolonialisme Belanda. Kedua, menjadi daerah sengketa dan baru sejak tahun 1963 resmi berada di bawah pangkuan R.I. Ketiga, sejak 1969 berada di bawah pemerintahan efektif dan eksploitasi Orde Baru.
Sapi perahan Orba
Ketiga proses ini membuat Papua sebagaimana adanya sekarang. Seolah kehilangan Ibu Pertiwi, karena terlambat menjadi bagian dari proses formasi bangsa Indonesia, dan kemudian menjadi sapi perahan Orde Baru, yang membuat Papua terasing dari Indonesia.
Dalam KMB (Konperensi Meja Bundar) 1949, pihak Belanda berhasil mempertahankan kekuasaannya di Irian Barat, membuat Papua ketinggalan dalam proses bangsa. Diplomasi Indonesia kemudian berhasil mengalahkan Belanda.
Pada 1962 di PBB disepakati untuk "mengembalikan" Papua di bawah Indonesia, namun menurut persetujuan PBB, masa depan Papua harus ditentukan melalui plebisit. Celakanya, plebisit atau Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) inilah yang tidak berlangsung secara adil: bukan one man one vote, bahkan dipecundangi Opsus di bawah pimpinan Mayjen Ali Moertopo.
Freeport
Akibatnya, Papua menjadi bagian Indonesia sebagai anak yang terasing. Bahkan, sebelum PBB menyerahkannya secara resmi kepada RI pada 1969, Orde Baru sudah mengundang perusahaan raksasa emas dan tembaga Freeport, yang kini menjadi sengketa panas.
Ketegangan-ketegangan dan konflik yang terjadi kemudian menimbulkan sejumlah pelanggaran besar HAM dan perusakan lingkungan hidup.
Singkatnya, Papua kini tiba di situasi yang terasing dan berkonflik dengan pemerintah pusat.
PVV
Namun beberapa kalangan politik di Belanda, meski keliru melihat situasi ini, mengira dapat memanfaatkan momentum tersebut. Wakil Partai Untuk Kebebasan (PVV), yang dikenal sebagai anti-migran dan anti-Islam, dalam sidang dengar pendapat di Parlemen bersuara mendukung kemerdekaan Papua.
Mereka beralasan perlu mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua.
Suara PVV, partai terbesar ketiga di Belanda yang menjadi penunjang kabinet minoritas perdana menteri Mark Rutte, memperlihatkan oportunisme populis. Suara mereka menggantikan kalangan partai Kristen konservatif yang sejak lama menyikapi Papua dengan semangat paternalisme-kolonial.
Aneh
Dulu, Papua menjadi obyek badan yang bernama "Door De Eeuwen Trouw" (Setia Berabad-Abad, Red.). Badan ini tidak aktif lagi, tapi kini PVV menggantikannya. Sikap ini aneh karena PVV justru merupakan partai populisme-kanan yang sekuler dan sangat berorientasi ke dalam.
Mengapa PVV cenderung melihat keluar kalau menyangkut isu Papua?
Sementara mereka terjebak tradisi paternalisme warisan jaman kolonial, kini PVV menunjukkan sikap yang naif bila mengharapkan isu Papua dapat dikompori menjadi isu referendum PBB untuk mencapai kemerdekaan.
Naif
PVV naif ketika mengabaikan tiga soal dasar. Pertama, berbeda dengan Papua, Timor Timur yang jajahan Portugal menjadi korban invasi tahun 1975 – serupa Kuwait menjadi korban invasi Saddam tahun 1990. Sebagian besar masyarakat dunia menentang aneksasi Timor Timur.
Sementara Papua menjadi bagian RI melalui proses diplomasi yang sah.
Kedua, diplomasi gerakan perlawanan Timor Timur sepanjang tahun 1990-an sukses karena bersamaan waktu ditunjang oleh perlawanan gerilya bersenjata. Sinkronisasi perlawanan ini tidak pernah terjadi di Papua.
Kesasar
Ketiga, masalah Papua kini memanas di masa Indonesia memasuki tahap demokrasi dan desentralisasi. Kalangan luar negeri, termasuk PVV di Belanda, tidak pernah memahami ini sebagai masalah good governance yang harus diselesaikan bersamaan dengan penghormatan atas hak hak asasi dan hak-hak Papua atas sejarah yang diselewengkan Orde Baru.
Kalangan yang mengangkat isu Papua di Parlemen Belanda rupanya masih terjebak warisan paternalisme kolonial terhadap Papua, atau kesasar, keliru melihat Papua seolah-olah konflik ini mirip isu Timor Timur di masa lalu.
http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/
0 komentar:
Post a Comment