Home » , , » Ranesi Kurangi Ketegangan dan Konflik Papua

Ranesi Kurangi Ketegangan dan Konflik Papua

Akhirnya, sesudah 65 tahun setia menemani pendengar dan pembaca, Radio Nederland Siaran Indonesia dengan berat hati mohon diri. Kali ini untuk waktu tak terbatas. Menandai berakhirnya era Ranesi, kami siapkan berbagai artikel khusus tentang Ranesi, mitra, dan tentu saja pendengar. Kali ini giliran suara dari Papua.

Radio Nederland dan media asing merupakan jendela bagi Papua agar didengar dunia, tapi juga agar melaporkan fakta-fakta yang terjadi sehingga dapat meminimalisir ketegangan dan konflik di wilayaj tersebut. Demikian kesimpulan dua suara dari Papua.

“Demokrasi di Indonesia itu minus Papua, tak ada kebebasan pers di sini. Ini mirip nasib orang Jawa di bawah Belanda tahun 1900an atau orang Afrika Selatan tahun 1950an,” demikian keluh Pendeta Benny Giay senada dengan Marten Goo dari kelompok NAPAS, National Papuan Solidarity.

“Kalau bisa bantulah kami, dunia perlu bantu kami. Gereja kami punya peralatan radio tapi tak mampu membiayai program program radio komunitas,” ujar Pendeta Benny Giay. Menurut pendeta Papua ini, selama tahun-tahun belakangan, Ranesi dan media luar lainnya itu penting. “Kita bisa bilang itu semacam jendela melalui mana kita bisa lihat dunia luar, kita bisa rasakan suara orang Papua bisa didengar disana.”


Dipanah dua kali
“Dengan tutupnya Ranesi, maka itu menjadi tragedi. Kita sudah diserang habis-habisan. Masyarakat sipil tak punya ruang hidup, jadi kita dipanah dua kali, satu dari Indonesia karena tak ada kebebasan pers. Satu lagi dari Radio Nederland. Ini tikaman dua kali.”

Baik Pendeta Benny Giay mau pun aktivis Jakarta dari Papua, Marten Goo, berpendapat alasan menutup Ranesi itu “aneh”. “Media asing seperti Radio Nederland kan kanal yang harus dibuka karena menjalankan peran ini mengangkat suara Papua yang dibungkam. Orang-orang Papua setia mendengar, mereka tidak takut dengar radio. Dengan begitu, ini memberi semacam kekuatan ini solidaritas, memberi kekuatan psikologis.”

Bebas minus Papua
Kedua tokoh Papua tersebut membenarkan bahwa Indonesia memang sudah demokratis tetapi  sebenarnya minus Papua. Kalau Papua termasuk Indonesia, maka pers di Papua belum bebas. Media massa di Papua kadang diserang, diteror, termasuk dalam kasus pembunuhan mutakhir terhadap Mako Tabuni. Dia itu pernah memukul seorang tentara yang menyamar mengaku wartawan. Jadi, pers di Indonesia itu bebas dalam arti Indonesia minus Papua, tuturnya. 

Menurut Benny Giay, praktek penguasa di Papua masih seperti di masa Orde Baru. “Pemilik suratkabar masih sering ditelpon, wartawan dikejar-kejar, dipecat, tentara juga punya saham di koran-koran. Ini kita bisa lihat, maka saya bilang ini sama dengan nasib orang Jawa di tahun 1900 an, atau orang Afrika Selatan tahun 1950 an dimana semua koran dikuasai negara demi menjaga keamanan. Nah ini kita tidak bisa keluar dari bingkai-bingkai ideologis (NKRI) ini,” tambahnya.
Tentang ditutupnya Ranesi, “dat is jammer omdat ik denk Radio Nederland geeft ons een stem, veel Papuans luisterden naar Radio Nederland!” (Sayang sekali, sebab Radio Nederland memberi suara kepada kami, banyak orang Papua mendengarkan Radio Nederland), demikian keluh Pendeta B. Giay, jebolan fakultas theologi Vrije Universiteit di Amsterdam tersebut.
Aktivis National Papuan Solidarity (NAPAS) Marten Goo senada. “Kalau Freeport aman, aparat tidak mendapat dana keamanan, maka harus dipastikan ada konflik. Di Puncak Jaya minimal setiap tahun harus ada konflik sebab APBD (Anggaran Pembangunan & Belanja Daerah) sebesar Rp 3 milyar itu, kalau tidak ada konflik, maka dana itu harus dikembalikan.”

Dilarang sebarkan hasil investigasi
Dalam kerangka itulah, “kami melihat misalnya teman-teman yang mengasuh Jubi online melaporkan diri mereka terancam. Mereka dilarang menyebarkan hasil investigasi kasus penembakan Mako Tabuni. Lihat juga wartawan asing susah masuk Papua, jangankan wartawan, advokasi internasional juga susah masuk.

"Ini berarti Papua diisolir. Kalau sudah begitu, ini itu dilarang, itu artinya Papua belum demokratis. Orang mendoa (di makam pemimpin Papua alm. Theys Eluay) saja dilarang. Jadi media luar itu dapat membantu kami. Kami senang kalau media luar (Indonesia dan asing) masuk, karena mereka akan menyampaikan apa-apa yang terjadi. Kalau mereka tidak bisa masuk, justru kami bingung, kemana lagi kami akan menyalurkan fakta. Penyiaran fakta-fakta yang terjadi – itu dapat meminimalisir konflik,” demikian ungkap Marten Goo.






  Sumber:  Radio Nederlad

Share this video :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2013. RASUDO FM DOGIYAI - All Rights Reserved

Distributed By Free Blogger Templates | Lyrics | Songs.pk | Download Ringtones | HD Wallpapers For Mobile

Proudly powered by Blogger