(dok/ist) |
Sudah 50 tahun Papua menjadi bagian Indonesia. Wilayah paling timur
Indonesia itu bergabung ke dalam Republik Indonesia pada 15 Agustus
1962.
Sayangnya, hingga kini di wilayah tersebut masih terus terjadi konflik
dalam berbagai ruang dan dimensi. Seperti tiada hentinya jeritan,
rintihan, kesedihan yang terjadi setiap dan hari, yang menandakan bahwa
di Provinsi Papua masih tersisa persoalan besar.
Tentu saja kita paham persoalan tersebut tidak begitu saja turun dari langit, melainkan memiliki akar historisnya. Ironisnya, konflik-konflik itu bermula dari sejarah politik yang kelam. Dalam pengamatan penulis ada dua faktor pemicu gejolak politik di Papua, yang kita suka atau tidak, telah menjadi embrio atas semua riak-riak yang muncul.
Pertama, proses integrasi politik di Papua pada 1960-an, dinilai
sebagian masyarakat sebagai sebuah proses yang belum tuntas, sehingga
tersimpan secercah harapan untuk batalnya proses itu, bila melihat
kembali lembaran legalitas integrasi politik tersebut.
Apalagi proses integrasi politiknya yang penuh intimidasi, kekerasaan, penganiayaan, juga penuh bujuk rayu dan janji. Bahkan, proses penentuan pendapat rakyat (plebisit) juga tidak dilaksanakan menurut prinsip-prinsip demokrasi yang dianut secara universal, yakni one man, one vote.
Kedua, pembangunan integrasi politik di Papua selama 50 tahun oleh pemerintah Indonesia lebih mengedepankan pendekatan militer dan keamanan (security approach) dibandingkan pendekatan peningkatan kesejahteraan (prosperity approach).
Pendekatan doktriner agar rakyat Papua menerima, tunduk, dan taat
terhadap simbol-simbol negara tidak mesti dilaksanakan dengan pendekatan
militer. Apalagi menciptakan kondisi Papua seakan-akan berada di daerah
terjajah justru menimbulkan rasa traumatik (the history of sadness),
antipati terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Cuma Janji
Cuma Janji
Dengan demikian, dua faktor pemicu di atas sepatutnya menjadi perhatian pemerintah. Apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Agustus 2011 dalam pidato kenegaraan pernah menyampaikan keinginan untuk menyelesaikan persoalan Papua dengan pendekatan kemanusiaan.
Kita semua berharap dengan pernyataan Presiden tersebut diharapkan agar
pemerintah memulai melaksanakan pendekatan kesejahteraan. Namun,
ironisnya pelanggaran HAM semakin besar justru terjadi dalam satu tahun
terakhir.
Kekerasan demi kekerasan di seputar tambang tembaga yang dikelola PT Freeport, seakan tidak berhenti. Penembakan dan pembunuhan di Puncak Papua, berbagai peristiwa di Manokwari, dan konflik akhir-akhir ini sering kali di Jayapura.
Menurut laporan Kontras, dalam semeser satu 2012 terjadi 22 kali
peristiwa penembakan di Papua. Itu semua mencerminkan eskalasi konflik
yang makin meruncing.
Sesungguhnya, bila dicermati, penyelesaian konflik di Papua tidak serumit yang kita bayangkan. Pada saat ini di Papua ada dua arus utama perjuangan, yakni kelompok yang melakukan perlawanan terhadap Jakarta, demi tercapainya kemerdekaan sosial dan ekonomi, merdeka dari kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan.
Meskipun demikian, kita juga tidak bisa menafikan bahwa di Papua ada
juga yang menginginkan kemerdekan politik (political freedom), yaitu
mereka yang menuntut agar proses integrasi politik di Papua ditinjau
kembali, atau meminta referendum.
Melihat dua arus utama itu, dan agar konflik di papua tidak berlarut-larut, seharusnya pemerintah pusat dan rakyat Papua tidak menunda menggelar dialog.
Format dialog itu haruslah bermartabat, sejajar, berkeadilan, dan
berperikemanusiaan. Dialog yang melibatkan semua elemen masyarakat di
Papua, demikian pula pemerintah pusat yang langsung dipimpin Presiden,
bukan Menko Polhukam, apalagi hanya diwakili utusan khusus.
Penulis mengingatkan, dengan cepatnya internasionalisasi masalah Papua, akan membesar pula kristalisasi nilai-nilai kepapuaan sebagai akibat rasa senasib dan seperjuangan yang dialami penduduk asli Papua.
Dengan demikian, bila terlambat memulai dialog untuk menciptakan
prakondisi Papua sebagai tanah damai, aman, dan tenteram, tidak mustahil
terjadi berbagai tindakan melawan kemanusiaan (crime againts
hummanity).
Pada akhirnya, dapat saja terjadi intervensi kemanusiaan (hummanitarian
intervetion) dari negara-negara asing yang selama ini terlihat
membayangi konflik di papua.
*Penulis adalah pengamat masalah Papua; tinggal di Jakarta.
*Penulis adalah pengamat masalah Papua; tinggal di Jakarta.
0 komentar:
Post a Comment