Oleh: John Rumbiak
Sunber:
http://elshamnewsservice.wordpress.com/about-elsham/kejahatan-terhadap-kemanusiaan-di-papua-barat/
Pengantar
Di Papua Barat akhir-akhir ini
diberitakan terjadi berbagai kekerasan negara yang berakhir dengan pelanggaran
hak asasi manusia sebagai respon terhadap berbagai aksi yang dilakukan rakyat
Papua Barat untuk menuntut PAPUA BARAT MERDEKA. Aksi-aksi tersebut sebagai
protes terhadap pelanggaran terhadap hak menentukan nasib sendiri yang
melibatkan masyarakat internasional. Suatu sikap yang menurut rakyat dapat
mengakhiri penindasan di tanah Papua serta tindakan untuk menyelamatkan bangsa
Papua dari suatu proses pemusnahan. Mulai dari kasus ‘Biak Berdarah Juli
1998’, ‘Insiden Merauke Oktober 1999’, ‘Timika Berdarah Desember 1999’,
‘Insiden Nabire Februari/Maret 2000’, sampai dengan ‘Peristiwa Wayati
Fakfak Maret 2000’ serta ‘Insiden Sorong Agustus 2000’ (dan tentu saja masih
akan terjadi peristiwa-peristiwa berdarah serupa di waktu-waktu ke depan
jikalau situasi ini tidak berubah). Puluhan orang telah dibunuh, ratusan
ditahan secara sewenang-wenang dan disiksa serta belasan lainnya dinyatakan
hilang. Itu semua bukan ceritra baru. Pengalaman selama 38 tahun (1963 – 2000)
integrasi dengan Republik Indonesia dengan berbagai operasi militer yang
dilakukan telah berakhir dengan ribuan orang Papua dibantai, ditangkap dan
dipenjara secara sewenang-wenang dan disiksa, perempuan-perempuan diperkosa.
Semua ‘Crime Against Humanity in West Papua’ itu dibuat demi Persatuan Nasional
dan Pembangunan.
Paper ini akan mencoba
menjawab sejumlah pertanyaan menyangkut mengapa ada terjadi terus ‘Crime Against
Humanity in West Papua’, Implikasi yang
ditimbulkan terhadap rakyat dan mengajukan beberapa rekomendasi pemecahan.
Persepsi Nasional Tentang
Papua Barat
Kebijakan apapun yang diambil
oleh suatu pemerintah di manapun di dunia ini terhadap suatu kelompok
masyarakat yang dikuasai tidak terlepas dari PERSEPSI yang ada pada si
penguasa. Persepsi itu terbangun dari latar belakang kebudayaan, sejarah dan
keinginan-keinginan juga kekhawatiran-kekhawatiran bagaimana kelompok
masayarakat yang ditargetkan itu mesti diatur. Frantz
Fannon, Seorang psikiater asal Caribia yang kemudian mendukung perjuangan
kemerdekaan rakyat Aljazair dari penjajah Perancis berpendapat bahwa
penjajahan didukung oleh teori-teori kebudayaan yang rasialis. Kaum penjajah
beranggapan bahwa kelompok masyarakat yang dijajah tidak berkebudayaan atau
kebudayaannya rendah dan oleh karena itu berbagai kebijakan dilakukan untuk
memperadabkan sekaligus menaklukkan kelompok masyarakat tersebut.
Dalam kaitan masalah Crime Against Humanity in West Papua
tidak bisa dilihat lepas dari suatu PERSEPSI PEMERINTAH INDONESIA terhadap
rakyat dan tanah Papua Barat. Pemerintah Indonesia memandang Papua Barat adalah
wilayah integral dari Indonesia yang telah direbut dengan darah melalui Komando
Trikora di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, mantan presiden RI yang otoriter.
Papua Barat juga dilihat sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, dapur
masa depan Indonesia. Dalam suatu ceramah di Aula Universitas Cenderawasih di
Jayapura tahun 1983 Ali Murtopo, mantan menteri Penerangan pada waktu itu
mengatakan: “Irian Jaya adalah dapur masa depan Indonesia”. Tetapi Papua Barat
juga dipandang sebagai wilayah di mana berlangsung apa yang oleh Jakarta
disebut sebagai ‘Gerakan Separatis’ yang dapat membahayakan persatuan bangsa.
Penduduk asli, bangsa Papua, di wilayah ini dipandang sebagai ‘primitif’ dan
terbelakang sehingga mereka mesti diperadabkan.
Persepsi pemerintah tersebut mendasari lahirnya dua
kebijakan utama dalam menangani Papua Barat, yaitu militerisme dan
kebijakan-kebijakan pembangunan (transmigrasi, keluarga berencana, turisme,
pertambangan, pertanian, dll). Semua itu dilakukan demi persatuan nasional dan
pembangunan. Kebijakan-kebijakan ini selanjutnya “melegalkan” terjadinya ‘Crime
Against Humanity in West Papua dewasa ini.
Perang terhadap Orang Papua
dan Implikasinya: Jiwa yang Patah
Sejak integrasi Papua Barat ke
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1963 “perang” pun digelar
melawan bangsa Papua. Gerakan Papua merdeka (OPM) menjadi alasan bagi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) – sekarang TNI pisah dari POLRI, untuk
melancarkan operasi-operasi militer di berbagai wilayah di Papua Barat. Secara
garis besar akan digambarkan beberapa peristiwa besar yang telah berakibat
terhadap terjadinya ‘Crime Against Humanity in West Papua’:
Periode 1963 – 1969
Masa transisi di mana sesudah kedaulatan Papua Barat,
berdasarkan New York Agreement 15 Agustus 1962, dilimpahkan dari Pemerintah
Belanda ke Pemerintah Indonesia dan persiapan menuju ke apa yang disebut “Act
of Free Choice” pada tahun 1969. Pada masa ini pemerintah dan angkatan
bersenjata Republik Indonesia memasukkan ribuan aparat keamanan dan
petugas-petugas pemerintah untuk memastikan bahwa rakyat Papua Barat menjadi
bagian integral dari Republik Indonesia bilamana ‘Act of Free Choice’ terjadi.
Rakyat diintimidasi, terjadinya penangkapan dan penahanan di luar hukum,
pembunuhan-pembunuhan. Akibatnya hanya 1025 saja dari total 800.000 rakyat
Papua waktu itu yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia untuk secara terpaksa memilih menjadi
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Periode 1970 – 1984
Perlawanan rakyat Papua yang memprotes hasil
‘Act of Free Choice’ dalam bentuk berdirinya ‘Organisasi Papua Merdeka’ (OPM)
menjastifikasi berlangsungnya operasi-operasi militer di wilayah-wilayah yang
diidentifikasi sebagai kantong-kantong gerakan OPM. Ribuan pasukan militer
diturunkan di wilayah-wilayah tersebut, kebebasan rakyat dipasung dan
pembantaian terhadap rakyat pun digelar. Operasi-operasi militer tersebut
antara lain: Kasus Biak (1970/1980); Kasus Wamena (1977) dan Kasus Jayapura
(1970/1980). Kasus 1984 di mana Arnold C. Ap dan Eduard Mofu, dua seniman Papua
dibunuh dan 12 000 penduduk kemudian mengungsi ke Papua New Guinea.
Periode 1985 – 1995
Operasi militer untuk menumpas OPM terus dilancarkan
aparat keamanan, terutama di kawasan pegunungan tengah Papua Barat. Dari semua
peristiwa yang terjadi ‘Kasus Timika 1994/1995’ yang melibatkan PT. Freeport
Indonesia yang dilaporkan Keuskupan Gereja Katolik Jayapura di mana 16 orang
dibunuh, 4 orang hilang dan puluhan lainnya ditahan dan disiksa serta 5
perempuan ditahan dan diperkosa.
Periode 1996 – 1998
Operasi militer menumpas OPM pimpinan Kelly Kwalik yang
menyandera para ilmuwan barat di wilayah Mapnduma, Pegunungan Tengah Papua
Barat dalam jangka waktu 1996 - 1998. Menurut ELS-HAM Papua Barat (Mei 1998)
Drama penyanderaan ini menjadi alasan bagi pihak militer Indonesia untuk
kemudian melancarkan operasi militer baik pada masa penyanderaan, operasi
pembebasan sandera dan pasca pembebasan sandera di mana sekitar 35 penduduk
sipil dibunuh, 13 perempuan diperkosa, 166 rumah penduduk dan 13 gereja (Gereja
Kemah Injil Indonesia) dibakar musnah.
Periode 1998 - 2000
Sejak tumbangnya Presiden Suharto pada bulan Mei 1998
berbagai tindak kekerasan dilakukan oleh aparat keamanan terhadap rakyat Papua
Barat yang melakukan hak kebebasan berekspresi dengan berdemonstrasi dan
mengibarkan bendera Papua Barat (Bintang Fajar) di berbagai kota di Papua
Barat.
Berbagai ‘Crime Against Humanity in West Papua’ tersebut mempunyai implikasi baik psikologis,
social, budaya and ekonomi terhadap diri bangsa Papua. Mereka mengalami Jiwa
yang Patah (hilang percaya diri, frustrasi, apatis, mengendapkan dendam dan
kebencian yang mendalam terhadap pihak yang membuat mereka menderita). Secara
social rakyat terpecah belah dan saling tidak percaya satu sama lain. Suatu
kenyataan yang, selain berbagai factor lainnya, juga melatar-belakangi mengapa
rakyat Papua dewasa ini menuntut untuk melepaskan diri dari Negara Kesatun
Republik Indonesia
sebagai bangsa yang merdeka.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Masalah ‘Crime Against Humanity in West
Papua’ pada dasarnya terjadi karena ada suatu persepsi nasional
yang bersifat rasis, eksklusif dan penuh kecurigaan terhadap keberadaan orang
Papua. Persatuan nasional dan pembangunan telah menjadi dalih yang sangat
kuat untuk lahirnya militerisme di Papua Barat yang telah menyebabkan
terjadinya ‘Crime Against Humanity’. Semua ‘Crime Against Humanity in West Papua’ telah menyebabkan terjadinya rakyat Papua
yang mengalami ‘A Broken Soul’.
Pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia mesti membebaskan diri
dari pandangan rasis, eksklusif dan curiga terhadap orang Papua. Orang Papua
mesti diakui sebagai suatu kelompok masyarakat yang secara ras berbeda dengan
bangsa Indonesia
lainnya serta mesti diterima sejajar dengan yang lainnya.
Pendekatan militer di Papua Barat mesti segera diakhiri
karena telah menyebabkan terjadinya berbagai ‘Crime Against Humanity’ dan
jikalau terus dipertahankan untuk menangani masalah Papua Barat dewasa ini
justru akan menimbulkan masalah-masalah baru yang rumit dan sulit untuk
diselesaikan.
Pemerintah Indonesia mesti memiliki kemauan politik yang
sungguh-sungguh dan didukung oleh semua pihak untuk mempertanggungjawabkan
berbagai ‘Crime Against Humanity’ dengan membawa keadilan remedy kepada rakyat
Papua Barat, Rekonsiliasi dan Perdamaian. Justice ini penting untuk memulihkan
secara psikologis penderitaan korban atau keluarga korban selama
bertahun-tahaun mengalami penderitaan, tetapi juga sebagai proses law
enforcement, menanamkan kultur supremasi hukum di atas segala kepentingan.
Proses rehabilitasi, terutama healing proscess melalui
berbagai bentuk kegiatan untuk membebaskan rakyat secara psikologis dari beban
trauma, dendam dan kebencian yang diendapkan dari pengalaman buruk yang
dialami.
Membangun kultur penghormatan
terhadap hak asasi manusia dan demokrasi melalui berbagai bentuk pendidikan HAM
dan Demokrasi.
Oleh: John Rumbiak
Penulis adalah aktivist di
ELSHAM, Papua
Sunber:
0 komentar:
Post a Comment