Sejumlah tokoh Papua akan menemui beberapa pejabat perwakilan negara-negara asing di Jakarta untuk berdiskusi mengenai kondisi kekinian di Papua. Selain bertemu dengan para pejabat negara-negara asing ini, para tokoh Papua ini juga berencana untuk bertemu dengan beberapa organisasi wartawan untuk mengadukan pemberitaan tentang Papua yang cenderung diskriminatif dan tidak memenuhi etika kewartawanan.
"Pemberitaan media tentang Papua sudah sangat diskriminatif dan cenderung menyudutkan orang Papua. Bukannya melakukan chek and balance, wartawan dan media massa melalui pemberitaannya ikut menyuburkan stigmatisasi separatis terhadap Papua. Media massa juga belakangan ini seakan membenarkan bahwa dan pelaku kekerasan di Papua adalah orang Papua, padahal belum terbukti secara hukum." kata Septer Manufandu, sekretaris eksekutif Foker LSM Papua kepada tabloidjubi.com, Selasa (26/6), di Jakarta.
Ia mencontohkan, dalam kasus teror dan kekerasan yang terjadi belakangan ini, wartawan hanya menunggu informasi dari pihak polisi atau TNI. Setelah mendapat informasi, tidak dilakukan croschek pada pihak-pihak yang dituduh sebagai pelaku kekerasan yang notebene adalah orang Papua. Atau mencari informasi pembanding untuk mengetahui kebenaran peristiwa yang sesungguhnya. Akibatnya, pemberitaan media massa sangat bias penguasa, terutama otoritas keamanan.
Senada dengan Septer Manufandu, Ketua Umum Sinode Gereja Kemah Injil (KINGMI) Papua, Benny Giay, mengatakan dunia perlu tahu kondisi di Papua karena pemberitaan mengenai serangkaian aksi kekerasan tak pernah berimbang dan memperhatikan nasib para korban. Pemberitaan tentang Papua selama ini cenderung menempatkan perspektif otoritas sipil (pemerintah) maupun otoritas keamanan (Polisi dan TNI).
Rencan para tokoh Papua ini dibenarkan oleh Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. "Perwakilan masyarakat Papua ini akan datang ke Sekretariat AJI Indo untuk diskusi soal pemberitaan yang tidak berimbang tentang Papua belakangan ini. Rencananya, besok (27/6) mereka akan datang ke sekretariat AJI Indo." kata Eko Maryadi, ketua umum AJI Indonesia kepada tabloidjubi.com.
Kontras, yang akan mendampingi beberapa perwakilan masyarakat Papua di Jakarta, juga membenarkan hal tersebut. Menurut Syamsul Alam, kordinator Advokasi Kontras, perwakilan tokoh masyarakat Papua ini akan mengunjungi sekretariat AJI Indonesia untuk menyampaikan pendapat mereka tentang pemberitaan media massa belakangan ini. "Beberapa tokoh Papua ini akan ke Kantor AJI Indonesia untuk mempertanyakan soal etika pemberitaan maupun etika Jurnalis. Karena pemberitaan tentang Papua belakangan ini tidak berimbang dan cenderung menyudutkan orang Papua yang ada dibalik peristiwa kekerasan di Papua belakangan ini." kata Kordinator Advokasi Kontras ini.
Sedangkan Victor Mambor, Ketua AJI Kota Jayapura, menanggapi adanya keinginan para tokoh Papua untuk menyampaikan pengaduan pada organisasi pers ini, mengatakan bahwa itu memang prosedur yang seharusnya dilakukan jika masyarakat merasa pemberitaan media massa dan perilaku jurnalis tidak sesuai etika maupun fakta. Ketua AJI Kota Jayapura ini juga mendukung langkah yang dilakukan oleh para tokoh Papua ini. "Memang seharusnya itu yang dilakukan. Para tokoh ini sudah seringkali berdiskusi dengan kami mengenai hal tersebut. Namun masalah ini bukan cuma terjadi pada jurnalis atau media lokal saja. Ini lebih banyak terjadi pada media nasional yang menurut saya tidak punya perspektif yang jelas tentang Papua dan tidak punya pemahaman yang memadai tentang Papua serta masalah yang terjadi di Papua." kata Mambor.
Menurut Mambor, persoalan lainnya adalah pemahaman seorang jurnalis tentang narasumber. Jurnalis di Papua ini seperti memiliki mindset bahwa yang namanya narasumber itu adalah otoritas sipil maupun keamanan saja, seperti Pejabat Polisi, Pejabat TNI, Gubernur, Kepala Dinas, Bupati, Anggota DPRP/DPRD serta elit di Papua lainnya.
"Ini aneh. Entah kenapa seperti itu. Yang dianggap narasumber itu cenderung hanya kelompok elit saja, dari otoritas sipil dan keamanan. Inilah sebabnya kenapa media massa di Papua cenderung memberitakan sesuatu dari perspektif penguasa saja jika terjadi peristiwa kekerasan di Papua ini. Korban kekerasan jarang mendapatkan porsi memadai dalam pemberitaan." terang Mambor.
Meski demikian, dirinya juga berharap agar para tokoh Papua ini memahami juga posisi seorang jurnalis pada media massa tempat dia bekerja. Karena terkadang, nurani seorang jurnalis tidak sama dengan kebijakan redaksinya. "Seorang jurnalis, bisa saja membuat berita yang berimbang dengan perspektif yang berimbang pula. Namun terkadang, pemberitaan model begini mental di redaksinya karena ada kepentingan lain." kata Mambor.
Walau begitu, ia tidak terlalu khawatir dengan situasi seperti ini. Karena menurutnya, saat ini peran media sosial sangat kuat. "Saat ini informasi lalu lalang di dunia maya melalui media sosial. Kebohongan otoritas sipil maupun otoritas keamanan tentang Papua lewat media mainstream bisa dipatahkan melalui media sosial. Itulah sebabnya banyak bermunculan situs-situs tidak jelas pengelolanya seperti centraldemokrasi.com atau zonadamai.wordpress.com hingga akun-akun di kompasiana yang menurut saya bertujuan untuk mendistorsi informasi tentang Papua." ujar Mambor yang juga Pimpinan Redaksi tabloidjubi.com ini!!!!
tabloidjubi.com
http://www.matebadiipapua.co.cc/2012/07/pemberitaan-tentang-papua-dinilai.html
Ia mencontohkan, dalam kasus teror dan kekerasan yang terjadi belakangan ini, wartawan hanya menunggu informasi dari pihak polisi atau TNI. Setelah mendapat informasi, tidak dilakukan croschek pada pihak-pihak yang dituduh sebagai pelaku kekerasan yang notebene adalah orang Papua. Atau mencari informasi pembanding untuk mengetahui kebenaran peristiwa yang sesungguhnya. Akibatnya, pemberitaan media massa sangat bias penguasa, terutama otoritas keamanan.
Senada dengan Septer Manufandu, Ketua Umum Sinode Gereja Kemah Injil (KINGMI) Papua, Benny Giay, mengatakan dunia perlu tahu kondisi di Papua karena pemberitaan mengenai serangkaian aksi kekerasan tak pernah berimbang dan memperhatikan nasib para korban. Pemberitaan tentang Papua selama ini cenderung menempatkan perspektif otoritas sipil (pemerintah) maupun otoritas keamanan (Polisi dan TNI).
Rencan para tokoh Papua ini dibenarkan oleh Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. "Perwakilan masyarakat Papua ini akan datang ke Sekretariat AJI Indo untuk diskusi soal pemberitaan yang tidak berimbang tentang Papua belakangan ini. Rencananya, besok (27/6) mereka akan datang ke sekretariat AJI Indo." kata Eko Maryadi, ketua umum AJI Indonesia kepada tabloidjubi.com.
Kontras, yang akan mendampingi beberapa perwakilan masyarakat Papua di Jakarta, juga membenarkan hal tersebut. Menurut Syamsul Alam, kordinator Advokasi Kontras, perwakilan tokoh masyarakat Papua ini akan mengunjungi sekretariat AJI Indonesia untuk menyampaikan pendapat mereka tentang pemberitaan media massa belakangan ini. "Beberapa tokoh Papua ini akan ke Kantor AJI Indonesia untuk mempertanyakan soal etika pemberitaan maupun etika Jurnalis. Karena pemberitaan tentang Papua belakangan ini tidak berimbang dan cenderung menyudutkan orang Papua yang ada dibalik peristiwa kekerasan di Papua belakangan ini." kata Kordinator Advokasi Kontras ini.
Sedangkan Victor Mambor, Ketua AJI Kota Jayapura, menanggapi adanya keinginan para tokoh Papua untuk menyampaikan pengaduan pada organisasi pers ini, mengatakan bahwa itu memang prosedur yang seharusnya dilakukan jika masyarakat merasa pemberitaan media massa dan perilaku jurnalis tidak sesuai etika maupun fakta. Ketua AJI Kota Jayapura ini juga mendukung langkah yang dilakukan oleh para tokoh Papua ini. "Memang seharusnya itu yang dilakukan. Para tokoh ini sudah seringkali berdiskusi dengan kami mengenai hal tersebut. Namun masalah ini bukan cuma terjadi pada jurnalis atau media lokal saja. Ini lebih banyak terjadi pada media nasional yang menurut saya tidak punya perspektif yang jelas tentang Papua dan tidak punya pemahaman yang memadai tentang Papua serta masalah yang terjadi di Papua." kata Mambor.
Menurut Mambor, persoalan lainnya adalah pemahaman seorang jurnalis tentang narasumber. Jurnalis di Papua ini seperti memiliki mindset bahwa yang namanya narasumber itu adalah otoritas sipil maupun keamanan saja, seperti Pejabat Polisi, Pejabat TNI, Gubernur, Kepala Dinas, Bupati, Anggota DPRP/DPRD serta elit di Papua lainnya.
"Ini aneh. Entah kenapa seperti itu. Yang dianggap narasumber itu cenderung hanya kelompok elit saja, dari otoritas sipil dan keamanan. Inilah sebabnya kenapa media massa di Papua cenderung memberitakan sesuatu dari perspektif penguasa saja jika terjadi peristiwa kekerasan di Papua ini. Korban kekerasan jarang mendapatkan porsi memadai dalam pemberitaan." terang Mambor.
Meski demikian, dirinya juga berharap agar para tokoh Papua ini memahami juga posisi seorang jurnalis pada media massa tempat dia bekerja. Karena terkadang, nurani seorang jurnalis tidak sama dengan kebijakan redaksinya. "Seorang jurnalis, bisa saja membuat berita yang berimbang dengan perspektif yang berimbang pula. Namun terkadang, pemberitaan model begini mental di redaksinya karena ada kepentingan lain." kata Mambor.
Walau begitu, ia tidak terlalu khawatir dengan situasi seperti ini. Karena menurutnya, saat ini peran media sosial sangat kuat. "Saat ini informasi lalu lalang di dunia maya melalui media sosial. Kebohongan otoritas sipil maupun otoritas keamanan tentang Papua lewat media mainstream bisa dipatahkan melalui media sosial. Itulah sebabnya banyak bermunculan situs-situs tidak jelas pengelolanya seperti centraldemokrasi.com atau zonadamai.wordpress.com hingga akun-akun di kompasiana yang menurut saya bertujuan untuk mendistorsi informasi tentang Papua." ujar Mambor yang juga Pimpinan Redaksi tabloidjubi.com ini!!!!
tabloidjubi.com
http://www.matebadiipapua.co.cc/2012/07/pemberitaan-tentang-papua-dinilai.html
0 komentar:
Post a Comment