Oleh: Oktovianus PogaubADA dua akar masalah
besar di Papua Barat, pertama; Papua Barat yang dipaksa berintegrasi ke
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menyisihkan banyak
masalah (berkaitan dengan sejarah dan status politik bangsa Papua),
kedua; kehadiran perusahan Multi-nasional PT Freeport McMoRan sejak
tahun 1967 di Timika, Papua Barat.
Di tahun 1962 saat terjadi sengketa antara Belanda dan Indonesia, duta
besar Amerika Serikat untuk PBB Elswoth Bungker mengusulkan sebuah
“proposal” penyelesaiaan masalah Papua Barat yang disebut New York
Aggrement 1962. Dalam perjanjian ini mengatur hak menentukan nasib
sendiri (self determination) bagi penduduk asli Papua Barat. Self
Determination dijamin oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam
Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, pada pasal I. Ada dua opsi utama
dalam perjanjian tersebut, apakah orang Papua Barat memilih merdeka dan
berdaulat sebagai sebuah bangsa, atau memilih bergabung dengan Indonesia
(Prof. P.J Drooglever, 2005)
Pada pasal XVIII ayat (1) menyebutkan
sistem pemilihan dilakukan dengan cara one man one vote atau satu orang
Papua memberikan satu suara. Artinya, 800.000 penduduk Papua kala itu
harus memberikan suara terkait nasib dan masa depan mereka di kemudian
harinya. Tetapi berbeda dengan fakta yang terjadi di lapangan. Indonesia
melalui aparat TNI/Polri melakukan berbagai rekayasa dan manipulasi
agar pemilihan dimenangkan oleh pihak Indonesia dengan mimilih hanya
1.025 orang Papua dan non-Papua untuk mewakili 800.000 penduduk Papua
Barat.
Pengakuan beberapa saksi sejarah, sekitar dua bulan sebelum
dilaksanakan penentuan pendapat rakyat (PEPERA), mereka dikarantina
secara khusus, tinggal di barak-barak militer, dan mendapat dikte dari
militer untuk memilih Indonesia. Mereka diancam akan dibunuh jika tidak
memilih bergabung dengan Indonesia. Hampir sebagian besar keluarga
mereka juga mendapat ancaman yang sama. Mereka memilih dibawah tekanan,
todongan senjata, dan ancaman militer Indonesia. Masyarakat
Internasional tidak diberikan akses untuk bertemu dengan mereka, apalagi
memantau penyelenggaraan PEPERA di tahun 1969.
Akhirnya, hampir 100%
rakyat Papua Barat memilih bergabung dengan Indonesia. Nasib rakyat
Papua Barat ditentukan oleh moncong senjata militer Indonesia. Padahal,
sebelum Indonesia datang dan menduduki Papua, Belanda telah
mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat dengan membentuk dewan-dewan
wilayah Papua Barat yang disebut Niuew Guine Raad. Dan pada tanggal 1
Desember 1961 Papua telah dideklarasikan sebagai sebuah negara merdeka
dan berdaulat seperti negara-negara lain di dunia.
Pasca PEPERA,
setiap orang Papua yang kontra dengan hasil tersebut diculik dan
dibunuh. Sebagian besar orang Papua melarikan diri ke Belanda, ada yang
ke Papua New Guine (Papua Timur) dan bahkan sampai ke Australia. Jhon
Rumbiak aktivis hak asasi manusia memperkirakan sekitar 12.000 rakyat
Papua Barat “berlari” ke luar wilayah Papua pasca PEPERA . Sejak itu
Indonesia mengambil alih tanah Papua Barat melalui Trikora atau yang
disebut dengan Tri Komando Rakyat.
Berbagai operasi militer
dikedepankan untuk “menyelesaikan” masalah Papua Barat. Orang Papua
Barat selalu disiksa, diteror, dan bahkan dibunuh. Sampai saat ini masih
terus terjadi, terakhir yang terjadi di Kongres Rakyat III pada 19
Oktober lalu dengan menewaskan tiga orang warga sipil, juga yang
baru-baru ini terjadi Kabupaten Puncak Jaya, Papua. Amnesty
International menyatakan sekitar 1 juta warga sipil telah menjadi
korban dari kejahatan militer Indonesia.
Militer Indonesia selalu
beranggapan kedaulatan NKRI lebih penting dari nyawa manusia Papua.
Artinya, membunuh orang Papua tentu dibenarkan oleh hukum negara
Indonesia. Karena itu pula orang Papua Barat terus dibantai, dibunuh dan
dimusnahkan. George Aditjondro pernah menyatahkan bahwa “Kedaulatan
rakyat lebih penting dari pada kedaulatan NKRI, karena rakyat yang
memberikan legitimasi kehadiran negara”.
Berikutnya, kehadiran PT
Freeport McMoRan juga merupakan akar masalah di tanah Papua. Freeport
masuk di Papua sejak tahun 1967, padahal Papua baru akan dipaksa
bergabung dengan Indonesia di tahun 1969 melalui pelaksanaan PEPERA.
Artinya, Freeport hadir di Papua dua tahun sebelum Papua bergabung
dengan Indonesia secara resmi. Kita bisa mengatakan kehadiran Freeport
di Papua Barat tentu ilegal dan bermasalah.
Kehadiran PT Freeport
Indonesia telah mengorbankan hak-hak rakyat Papua, terutama hak politik
untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri. Kepentingan kapitalisme
dan imprealisme telah mengorbankan nasib ribuan penduduk asli Papua kala
itu. Dalam perjalanannya, Freeport membayar aparat militer Indonesia
untuk “menjaga” areal perusahan dengan cara membunuh dan menculik warga
sipil setempat yang sebenarnya punya hak-hak adat atas tanah
pertambangan.
Saat berbicara tentang keadilan, kedamaiaan, dan
hak-hak hidup, maka orang Papua Barat di areal Freeport selalu dianggap
sebagai separatis atau Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Ini melegitimasi
aparat militer untuk membunuh semakin banyak orang Papua. Sejak tahun
1967 hingga 2011 kehadiran Freeport justru menjadi bencana bukan berkah
bagi rakyat Papua Barat. Sampai saat ini rakyat Papua Barat masih hidup
sangat miskin diatas kekayaan emas. Indonesia dan Amerika yang
diuntungkan dari kekayaan alam Papua.
Mogok 10.000 buruh Freeport
yang menuntut kenaikan upah dan dimulai sejak 15 September 2011 sampai
saat ini juga tak digubris oleh manajemen Freeport. Padahal, Freeport
telah menikmati keuntungan yang sangat besar dari bumi Cenderawasih.
Semakin berlarut-larutnya masalah antara buruh dan manajemen memperbesar
peluang penutupan perusahan multi-nasional ini dari tanah Papua.
Dengan
memaparkan dua akar masalah diatas, maka referendum bagi rakyat Papua
Barat, dan penutupan Freeport di Timika, Papua adalah solusi terbaik.
Referendum artinya, biarkan sekitar 1,5 juta penduduk asli Papua
menentukan pilihan, apakah ingin tetap berada dalam Indonesia, atau
berpisah dan membentuk negara sendiri. Ini cara-cara dan solusi yang
paling demokratis, dan ia dijamin hukum internasional.
Freeport juga
harus ditutup karena tidak memberikan manfaat apa-apa bagi rakyat Papua,
dan malahan ia justru melahirkan banyak bentuk pelanggaran hak asasi
manusia terhadap warga Papua Barat. Beberapa saat lalu tersiar kabar
Freeport membayar ratusan hingga ribuan aparat militer untuk mengamankan
aset-aset mereka. Melihat fakta-fakta yang terjadi, tentu bisa
dibenarkan kalau Freeport memang membayar aparat untuk membunuh warga
sipil.
UP4B dan Dialog Bukan Solusi
Ketika rakyat Papua Barat
menuntut referendum sebagai solusi penyelesaiaan masalah Papua Barat,
pemerintah Indonesia selalu menjawab dengan berbagai aturan atau
Undang-Undang yang bukan menjadi kebutuhan mendasar. Yang paling baru
adalah disahkannya Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat
(UP4B) di Jakarta oleh Presiden SBY.
UP4B diteken untuk
menyelesaikan masalah Papua Barat dengan menunjuk Letjen TNI (Purn)
Bambang Darmono sebagai kepala. Bambang Darmono merupakan panglima
tinggi ditubuh militer untuk “memberantas” Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di
Aceh sebelum pernjanjian Helsinki disepakati. Artinya, Bambang punya
reputasi buruk selama menjadi panglima militer, dan tentu tak akan bisa
diterima rakyat Papua Barat.
UP4B bukan merupakan jawaban, tapi
sumber masalah baru. Karena ia lahir bukan dari kebutuhan rakyat, dan
diusulkan oleh rakyat. UP4B juga sampai saat ini tidak mendapat
legitimasi dari rakyat Papua Barat karena hanya memfokuskan dibidang
pembangunan infrastruktur, investasi-investasi, serta pembangunan
ekonomi rakyat yang bukan menjadi kebutuhan mendasar saat ini.
Konflik
Papua bukan karena orang Papua tidak sejahtera, miskin, atau tidak bisa
makan, melainkan karena hak-hak hidup orang Papua yang terus
dilecehkan; dan juga harkat dan martabat orang Papua yang terus
dihancurkan negara Indonesia. Contoh, pelanggaran HAM dari waktu ke
waktu terus meningkat, tanpa ada proses hukum bagi aparat yang melakukan
tindakan brutal tersebut.
Selain mensahkan UP4B, presiden SBY juga
mengutus Farid Hussain untuk menggelar dialog antara rakyat Papua Barat
dan pemerintah Indonesia. Farid Hussain dulu berperan penting dalam
penyelesaian konflik di Aceh. Pertanyaannya, apakah akan berhasil juga
di tanah Papua.
Farid datang dengan beberapa syarat untuk berdialog,
yakni; di dalam NKRI, Undang-Undang Otsus, dan UP4B. Tentu dialog dengan
syarat model ini tak bisa diterima rakyat Papua Barat karena Otsus
sejak hadir di Papua telah ditolak secara keras dari rakyat Papua Barat.
Dan jika Farid terus dipaksakan diutus untuk menggelar dialog, tentu
akan menimbulkan masalah baru yang tentu akan sukar untuk diselesaikan
lagi. Kalaupuan mau dipaksakan gelar dialog, maka NKRI harga mati harus
ditinggalkan dulu.
Rakyat Papua Barat secara tegas menolak UP4B,
juga Farid Hussain, dan meminta digelar referendum sebagai solusi
terbaik bagi rakyat Papua Barat juga pemerintah Indonesia. Indonesia
harus mengakui telah gagal membangun orang Papua Barat. Wajah Indonesia
di tanah Papua adalah ketidakadilan, operasi militer, teror, intimidasi,
pembunuhan, dan permasalahan lainnya. “Wahai Indonesia, biarkan rakyat
Papua Barat menentukan nasib sendirinya”. Kita harus mengakhiri!
*Oktovianus Pogau adalah Sekjend Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Konsulat Indonesia, tinggal di Jakarta.
Sumber:
http://www.pasificpost.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3439:refererendum-solusi-terbaik-up4b-dan-dialog-bukan-jawaban&catid=296:artikel&Itemid=558
Referendum Solusi Terbaik; UP4B dan Dialog bukan jawaban!
Posted by Admin RASUDO FM
Posted on 09:26:00
with No comments
0 komentar:
Post a Comment