SISTEM PERKAWINAN ADAT SUKU MEE
Oleh: Yahya S.W. Iyai
1.
Pengertian
perkawinan adat suku MEE
Wakawegai adalah istilah perkwinan
dalam adat suku MEE. Wakawegai sendiri berasal dari dua
suku kata yaitu waka yang berarti hubungan antara pria dan wanita, atau
bersatu, dan wegai yang berarti memiliki. Maka dapat disimpulkan pengertian
perkawinan sebagai berikut:
a. Pria dan wanita memiliki
hubungan
b. Pria dan wanita bersatu,
atau
c. Seorang pria dan seorang
(beberapa) wanita memiliki hubungan khusus dan bersatu atau bersama.
Jadi
wakawegai adalah hubungan khusus antara pria dan wanita yang dipersatukan
dengan ikatan mege makii (pembayaran maskawin).
Perkawinan dalam adat suku Mee dikatakan resmi dan sah apabila maskawin dibayar
lunas. Dan seorang wanita diperbolehkan oleh orang tuanya untuk mengikuti sang
pria.[1]
Suku Mee mengenal dua system perkawinan yaitu monogamy dan poligami. Monogami
umumnya diberlakukan bagi orang yang
miskin (daba Mee), dan sederhana
hidupnya. Sedangkan poligami diberlakukan bagi orang yang kaya (tonawi).
2 [2] Tujuan Perkawinan
Seperti yang ditulis oleh
oleh Welemin Tuturop dalam makalanya[3]
bahwa tujuan dari perkawinan adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh keturunan yang
banyak (pada masa lampau dengan adanya keturunan yang banyak bisa dipergunakan
untuk menghadapi musuh).
2. Melestarikan warisan adat,
dan melanjutkan marga
3. Mendapatkan anak
laki-laki.
Demikian juga
perkawinan dalam adat suku Mee tidak jauh brbeda dengan tujuan prkawinan
tersebut di atas. Tujuan prkawinan adat suku Mee adalah sebagai berikut:
1. Mendapat anak. Terutama anak laki-laki sebagai pewaris
keturunan.
2. Menambah jumlah tuma (marga) dan menaikan gengsi di
tengah masyarakat.
3. Dengan mendapatkan anak
yang banyak diharapkan ada perubahan ekonomi ditengah masyarakat, dan
mendatangkan kehidupan/mempertahankan status terutama dalam perang, berkebun,
politik, memelihara babi dan lain-lain.
4. Anak menjadi tanda
persatuan antara istri dan suami (terutama anak laki-laki). Kebanyakan dalam keluagra Suku Mee kawin banyak Istri
atau menceraikan istri dikarenakanan istri mandul atau hanya mendapatkan anak
perempuan.[4]
3.
Proses Perkawinan
Sebelum mengenal lebih mendalam tentang proses
perkawinan dalam adat suku Mee, diperkenalkan lebih dahulu bentuk perkawinan
dalam adat suku Mee. Bentuk perkawinan adat suku Mee ada dua, yaitu Monogami
dan Poligami. Kedua bentuk perkawinan ini turut mempengaruhi proses perkawinan
adat suku Mee.
a.
Bentuk-bentuk perkawinan
dalam adat suku Mee
Dalam
perkawinan adat suku Mee dikenal dua bentuk perkawinan yaitu monogamy dan
poligami. Kebanyakan masyarakat Mee yang monogamy adalah mereka yang miskin,
sederhana atau tidak mempunyai banyak harta. Tetapi mereka yang mempunai isteri
lebih dari satu adalah orang kaya (tonawi) atau mempunyai harta banyak.
Perkawinan semacam ini tidak berarti untuk melampiaskan nafsu, tetapi untuk
mendapat anak lebih banyak sebagai pewaris keturunan, dan agar anak-anak
membantu orang tua mendapat kekuatan dan mempertahankan diri dari lawan /menambah
kekayaan orang tua.
b.
Pemilihan jodoh[5]
Pemilihan
jodoh biasanya terjadi dalam pesta-pesta adat seperti pesta pertukaran barang (pesta
tapaa),
dan pesta babi (pesta yuwoo), yang melibatkan banyak orang
dari berbagai kampung. Kaum pemuda dan pemudi juga hadir dalam peseta itu. Pada
pesta ini kaum pemuda dan pemudi mengungkapkan perasaanya melalui syair-syair
dan memilih pasangan hidupnya. Pemilihan jodoh ini tidak hanya melaui
pesta-pesta tetapi juga bisa ditentukan oleh orang tua atau oleh laki-laki dan
perempuan itu sendiri saat berjupa. Namun dalam pemilihan itu ada syarat-syarat
yang harus diperhatikan.
c.
Syarat-syarat perkawinan
Dalam perkawinan adat suku
Mee, ada beberapa hal yang menjadi persyaratan perkawinan adat yaitu sebagai
berikut: [6]
v Adanya Persetujuan
Dalam
perkawinan adat suku Mee biasanya harus ada persetujuan kawin antara mempelai pria
dan wanita. Orang tua juga memaikan peranan penting dalam hal persetujuan. Jika
orang tua tidak merestui maka perkawinan dibatalkan. Ini berkaitan dengan
persoalan tuma sama (marga sama) dan
peristiwa sejarah nenek moyang yang kelam pada masa silam, serta berasal dari
satu totem yang sama. Jika dilihat kembali dan kedapatan hal seperti ini, maka
perkawinan dibatalkan. Jika tidak maka orang tua akan merestui perkawinan anak-anak
mereka.
v Kedewasaan Jasmani/fisik
Persayaratan
lain lagi adalah kedewasaan secara fisik. Kaum pria dikatakan dewasa, jika
berkumis, berjenggot, dan mengalami perubahan tubuh lainya. Disamping itu,
dilihat juga dari kemampuan bekerja kebun, berburu, membuat rumah, membuat
pagar, membuat perahu, memelihara babi dan kemampuan mengumpulkan mege.
Sedangkan wanita dilihat dari membesarnya buah dada. Dan kemampuan lain yaitu;
memilih bibit, menanam bibit, membersihkan rumput di kebun, dan menyiapkan
makanan.
v Pemberian harta maskawin
Dalam budaya Mee
hal yang paling menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan adalah maskawin (mege makii).
Pemberian maskawin ini diberikan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan
seturut permintaan dari pihak perempuan. Tetapi permintaan maskawin dari pihak
wanita yang terlalu besar tidak selalu dipenuhi oleh pihak laki-laki dan
terjadi tawar-menawar hingga minimal mencapai kesanggupan pihak laki-laki.
Setelah pemberian maskawin kemudian dilanjutkan dengan upacara peneguhan
perkawinan adat.
d.
Upacara Perkawianan dalam Tradisi
Mee[7]
1.
Upacara pembukaan
Dalam upacara
pembukaan, pemilihan tempat yang dianggap sacral (entah itu rumah atau alam
terbuka) sangat penting dilakukan oleh kedua mempelai. Kedua mempelai
didampingi oleh orang tua masing-masing. Orang tua pria berdiri disamping kanan
dan orang tua wanita berdiri disamping kiri. Setelah itu, upacara dibuka dengan
memainkan kaido (musik adat)
selama 5 menit. Tujuannya adalah menghadirkan Ugatame (Tuhan) yang diyakini sebagai sang pencipta
dan penyelenggara hidup dantang untuk melindungi dan memberkati kedua pasangan
baru.
2.
Upacara peneguhan
Upacara
peneguhan ini dipimpin oleh kepala suku. Kepala suku memberikan beberapa
nasihat sebagai pedoman hidup kepada kedua mempelai. Upacara-upacara peneguhan
lainnya adalah berupa pemberian simbol-simbol. Tujuan dari pemberian ini adalah
kedua pasangan dapat hidup menurut nilai-nilai yang berlaku dalam adat. Symbol
pertama: mege bugaiya (pasangan mege: jantang dan
betina) yang diikat sebagai lambang ikatan kesetiaan antara kedua mempelai.
Juga sebagai lambing bisnis. Simol kedua: pemberian bibit tanaman seperti ubi
jalar, sayur dan tebu sebagai dasar berkebun atau lambing kesuburan dan
kesejahteraan keluarga. Selain itu diberikan juga bibit ternak sebagai dasar
berbisnis ternak. Simbol ketiga: pemberian sekop dari kayu (patau)
dan kapak batu (maumi) dan anak panah (ukaa mapega) sebagai lambang
bekerja, melindungi dan menjaga keamanan keluarga dari ancaman perang dan
sebagai lambang berburuh.
3.
Upacara penutup
Upacara
perkawinan adat ini diakhiri dengan membunyikan/memainkan musik adat (kaido) kurang lebih 5 menit. Dan
dilanjutkan dengan cerita dongen oleh para tua-tua adat dari masyarakat
setempat. Dan keesokan harinya orang tua wanita pulang ke rumahnya.
4.
Kasimpulan
Dalam setiap
budaya tentu saja ada pengertian perkawinan, tujuan perkawinan dan proses
perkawinan yang dijumpai disana. Dalam perkawinan adat suku Mee ada banyak
istilah yang dipakai, namun istilah wakawegai dipakai disini dengan
alasan diterjemahkan pengertian ini secra harafia untuk menjelaskan pengertian
perkawinan.
Di samping itu
tujuan perkawinan dalam adat suku Mee adalah untuk mendapat anak, terutama anak
laki-laki. Peranan anak laki-laki dalam kehidupan keluarga suku Mee amat besar.
Maka jika tidak mendapat anak laki-laki, para suami yang mampu biasanya kawin
istri baru.
Tidak hanya
itu, dalam perkawinan adat suku Mee ada syarat yang menentukan sah tidaknya
pekawinan dan ada upacara perkawinannya. Syarat itu adalah sebagai
berikut:
a. adanya
persetujuan baik dari kedua orang tua pria maupun perempuan dan dari kedua
mempelai sendiri.
b. adanya tanda kedewasaan secara fisik dan kemampuan bekerja
dan kemampuan lainnya,
c. pembayaran maskawin sebagai penentu sah perkawinan.
Sedangkan upacara perkawinannya adalah sebagai berikut:
a. upacara pembukaan; pemelihan tempat sacral, pendampingan oleh
orang tua, memainkan music adat untuk menghadirkan Ugatame.
b. upacara pengukuhan; kepala suku, nasihat-nasihat, pemberian
symbol perkawinan kepada kedua mempelai, dan
c. upacara Penutup; memainkan music adat, cerita dongen, dan
pembubaran.
[1] Lih. Paulus Valentino Edoway., Skripsi: Inkulturasi Liturgi Perkawinan Katolik Dalam Upacara Perkawinan Adat
Suku Mee. 1999. Hal. 63.
[2] Lih. Agustinus Johanis Tatago., Skripsi: Hukum adat perkawinan Suku Ekagi dan Perubahan-Perubahannya Akibat Kontak Dengan Dunia Luar. 1979. Hal.
24.
[3] Lih. Welemin Tuturop., Makalah: Hidup
Perkawinan Keluarga Suku Soub Dalam Perspektif Katekese. 2003. Hal.11
[4] Lih. Agustinus Johaes Tatago., skripsi. Hal. 49.
[5] Ibid. hal 27-34.
[6] Op.cit. Paulus Valentino Edoway. Hal. 63-66.
[7] Ibid. hal. 68-69.
Sumber : Documents
0 komentar:
Post a Comment