Home » » Tanda Heran Mitu M Prie

Tanda Heran Mitu M Prie

"Barang siapa bekerja dengan jujur di atas tanah Papua, ia akan berjalan dari satu tanda heran ke tanda heran berikutnya.” Ungkapan pendeta IS Kijne, misionaris asal Belanda, terasa pas menggambarkan keterpanaan Mitu M Prie selama sepuluh tahunan menjelajah pelosok Papua. Lewat ”Ini Tong Pu Hidup”, Mitu berbagi ”tanda heran” itu.

Pasar tumpah di sebidang pelataran Keuskupan Jayapura menjadi salah satu dari 65 foto karya Mitu M Prie yang dipamerkan di Galeri Cemara 6 Jakarta, 2-12 Agustus. Aneka buah dan sayur berwarna-warni bertumpuk-tumpuk di atas terpal plastik beraneka warna, yang ditunggui oleh para mama penjual sayuran di jantung Kota Jayapura, Papua.

Tak ada meja jualan, tak ada los pasar yang atapnya menaungi para mama. Yang ada adalah papan-papan iklan dan dinding gedung-gedung bertingkat, kontras dengan para mama, sayur, serta buah-buahan mereka yang seperti terserak.

Foto berjudul ”Pasar tumpah di Jayapura, para mama tak mau pindah” itu menampilkan obyek foto klasik di Kota Jayapura tempo kini. Hampir semua orang yang pernah ke Jayapura pasti pernah memotretnya. Biasanya, pemotret terangsang mendramatisasi situasi berjualan para mama dengan mengambil latar foto sebuah gedung bertingkat toko kelontong waralaba internasional yang berdiri persis di samping pasar tumpah para mama.

Tapi tidak dengan Mitu. Mitu justru memilih sudut pemotretan yang tak menghadirkan ”drama” kontrasnya pasar para mama, yang bahkan tak pernah memakai timbangan untuk menakar harga dagangan, dengan toko kelontong modern itu.

”Mitu tak pernah berpretensi menghadirkan drama dalam fotonya. Justru itulah kekuatan karya Mitu dibandingkan foto seorang fotografer profesional. Mitu memotret dengan hati, menghasilkan foto yang berpusat pada isi, bukan foto yang sibuk menghadirkan komposisi indah atau dramatis. Foto Mitu menjadi kuat karena ia sepenuhnya memahami apa yang ia potret,” ujar kurator pameran dan buku foto ”Ini Tong Pu Hidup”, Oscar Motuloh.

Lulusan Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia tahun 1984 itu memotret sejak ia kanak-kanak. Mitu selalu menyebut dirinya beruntung karena pekerjaan sebagai konsultan kesehatan masyarakat dan perancang kampanye penanggulangan HIV/AIDS menuntun dirinya menjelajah Papua selama kurun waktu 2000-2011.
Perempuan itu cukup ”badung” untuk berteguh hati menjelajah berbagai pelosok Papua yang sulit didatangi (dan lebih sulit lagi untuk ditinggalkan karena begitu sulitnya berebut tempat di pesawat 4-20 kursi untuk pulang). Mitu juga mempunyai kerendahan hati untuk mendengarkan dan memahami orang Papua.

”Pekerjaan saya berfokus dalam sebuah isu yang merambah ranah privat kehidupan orang, yaitu epidemi HIV/AIDS. Saya beruntung orang Papua memberi kesempatan kepada saya untuk mengenali sisi kehidupan mereka yang sangat pribadi,” ujar Mitu.

Mitu membangun kepercayaan orang Papua dengan berbagai hal kecil yang jarang dilakoni orang lain. Duduk sambil bersama-sama memakan pinang-sirih di para-para bersama si empunya rumah, bercakap-cakap mempertautkan hati. Mitu mengenali anak-anak Papua, menyimpan harapan tentang masa depan mereka dan belajar memberikan kepercayaan kepada orang Papua.

Mitu memotret di sela percakapan, perjumpaan, dan pertautan hatinya dengan orang Papua, mengabadikan apa yang ia dapati dari keseharian hidup orang Jayapura, Sentani, Wamena, Sorong, dan Manokwari serta suku-suku lain di Papua. ”Mereka bukan obyek foto saya. Mereka relasi kerja saya, kawan saya, banyak yang benar-benar saya kenali secara personal.”

Papua yang lain
 
Hingga ribuan foto tentang Papua terkoleksi, Mitu tak juga memimpikan sebuah pameran ataupun pembuatan buku foto tentang Papua. Hingga sekitar lima tahun lalu, ia jengkel melihat ”Papua versi berita” yang melulu mengeksploitasi konflik Papua dan sensasi eksotisme Papua.
Sejak sekitar dua tahun lalu, Mitu mulai memilih sekitar 1.000 foto tentang Papua, yang lantas ia sodorkan kepada Paul Kadarisman dan Oscar Motuloh. Oscar akhirnya memilih lebih dari 200 foto yang tertata dalam tiga bab buku Ini Tong Pu Hidup, yaitu ”Kitorang”, ”Perempuan Perkasa Papua”, dan ”Tana Surga”.

Zannuba A Chafsoh, yang lebih akrab dipanggil Yenny Wahid, saat membuka pameran foto Mitu lugas menarasikan salah kaprah mengurus Papua yang coba dijawab Mitu dengan foto-foto keseharian tentang orang Papua. ”Membangun peradaban tak berarti mengubah mereka agar hidup dengan cara kita, tetapi menghargai cara dan pandangan hidup orang Papua serta menghadirkannya sebagai bagian dari Indonesia. Foto Mitu berupaya memanusiakan warga Papua dan kehidupan mereka,” ujar Yenny.
Kita beruntung Mitu membagikan ”tanda heran” itu. Tanggalkan prasangka, berikan ruang, biarkan hati merabai dan merasai ”tanda heran” itu. (Aryo Wisanggeni G)

 Sumber: Kompas




 
Share this video :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2013. RASUDO FM DOGIYAI - All Rights Reserved

Distributed By Free Blogger Templates | Lyrics | Songs.pk | Download Ringtones | HD Wallpapers For Mobile

Proudly powered by Blogger