![]() |
| Suasana konferensi pers di Prima Garden Abepura, Senin, (12/11) |
Ketua Forum Anti Pelanggaran HAM (FAP HAM) di Papua, Septi Meidodga, mengatakan, sejarah panjang perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat mengalami sebuah proses yang cukup fluktuatif. Rakyat Papua menyesalkan dan menganggap tidak sah peralihan kedaulatan bangsa Papua pada 1 Mei 1963 secara de facto dan 1969 secara de jure melalui Pepera yang penuh dengan rekayasa dan intimidasi.
Menurutnya, pelaksanaan Pepera tak sah karena tidak sesuai perjanjian New York 15 Agustus 1962 pasal 18 butir d, ‘Yang menetapkan kebebasan memilih bagi semua orang dewasa pria dan wanita, dan bahwa dalam melaksanakan Act of Self-determination harus sesuai dengan tata kebiasaan atau praktik internasional’, atau one man one vote. “Bahwa 1.026 orang yang dipilih Indonesia yang menentukan hasil Pepera sebagai kemenangan Indonesia adalah segelintir rakyat Papua. Hanya, 0,8 persen dari 800,000 rakyat Papua waktu itu. Mayoritas rakyat Papua yakni 99, 2 persen yang karena intimidasi tidak memberikan hak suara,” tegasnya dalam keterangan persnya di Prima Gardern Abepura, Senin, (12/11). Papua setelah berintegrasi dengan Indonesia dan setelah 51 tahun berada dalam negara Republik Indonesia, bangsa Papua mengalami perlakuan-perlakuan yang tidak adil dan manusiawi serta pelanggaran HAM, ketidakadilan sosial dan hukum yang mengarah pada praktik genoside bangsa Papua. “Maka atas dasar hal-hal tersebut di atas menyatakan kehendak kami untuk memilih merdeka-pisah dari NKRI kembali ke status kami sebagai bangsa dan negara Papua Barat 1 Desember 1961,”katanya.
Dalam konteks kebijakan politik Jakarta berupa paket Otonomi Daerah sampai Otonomi Khusus tidak mampu menyelesaikan persoalan substansial rakyat Papua, yakni full independent seperti bangsa-bangsa lain di seluruh dunia.
DIkatakan, lagi-lagi UP4B sebagai “selang infus yang macet”, tidak mempunyai konsep yang jelas untuk membangun Tanah Papua ini, yang menurut mereka justru membuat Papua jadi “neraka dunia”.
Dengan demikian, melalui momentum Hari kematian Pahlawan Nasional ‘Bangsa Papua’ Theys Hiyo Eluay ini, dapat menjadikan sebagai momentum kontemplasi dan proyeksi terhadap seorang pemimpin karismatik tradisional rakyat Papua ini atas penculikan dan pembunuhan yang misterius.
Menurut mereka, tragedi kematian Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay pun kini menyimpan sejuta misteri dan menjadi simpang siur yang berkepanjangan bagi rakyat Papua dan dunia internasional. Padahal, hal yang paling hakiki dalam kasus Theys adalah, Siapa yang membunuh? Mengapa di bunuh? Dan atas perintah siapa?. Para eksekutor lapangannya sudah ditangkap dan diadili meskipun bebas, tetapi para jenderal- jenderla yang memegang komando ini tidak pernah di ungkap dan di adili di meja hijau, meskipun kalau di adili pasti juga kebal hukum (impunity).
Dengan melihat potret kehiduapan rakyat bangsa Papua bersama pemerintah Republik Indonesia selama 51 tahun, namun rakyat Papua tidak diperlakukan sepantasnya sebagai manusia sebagai ciptaan Tuhan.
Ditambahkan, sesuai berbagai instrument-instrumen hukum internasional maupun nasional yang telah menjamin tentang HAM, hak-hak sipil dan politik seperti DUHAM 10 Desember 1948, Piagam PBB tentang HAM 1 Januari 1942, Pembukaan UUD 1945 bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak sagala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaaan dan peri keadilan, dan lebih lanjut dalam UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan konvenan internasional tentang Hak-Hak sipil dan politik, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Mengemukan Pendapat di Muka Umum, dan UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama untuk bebas dari bentuk benjajahan, diskriminasi, intimidasi, dan genoside.
Federasi Mahasiswa Militan Papua (FMMP), Thomas Ch.Syufi, menyatakan, terhadap hal itu, pihaknya menyatakan beberapa hal. Antara lain, bersama seluruh elemen pergerakan mahasiswa Papua menyatakan sikap politik, antara lain menyatakan menolak keabsahan hasil Pepera 1969 karena cacat hukum dan moral dan segera direview kembali. Pemerintah Republik Indonesia segera menyelesaikan beragam kasus pelanggaran HAM di seluruh Tanah Papua sejak tahun 1961-2012, terutama kasus penculikan dan pembunuhan Ketua PDP Theys Hiyo Eluay.
Sementara itu terkait dengan peringatan 1 Desember mendatang, pihaknya meminta juga kepada Pemerintah Indonesia khususnya Polda Papua/Kodam XVII/Cenderawasih agar jangan menghalangi rakyat Papua untuk bebas berekspresi, karena selaku warga Negara Internasional mempunyai hak yang sama di hadapan hukum dan demokrasi.
“Kami harapakan supremasi hukum di tegakan, kalau orang bersalah, ya ditangkap, dan dipanggil, jangan langsung di tembak di tempat. Kami minta juga otak dari terbunuhnya diusut tuntas, karena kami nilai Pemerintah Pusat tidak punya komitmen yang sungguh-sungguh untuk tegakan hukum di Negara ini. Persoalan HAM di Papua ini harus diselesaikan,” tegasnya. .(nls/don/l03)
Sumber: BINPA

0 komentar:
Post a Comment