![]() |
Hutan Papua (ilustrasi ) |
Keerom,- Hari masih pagi, jalan belum terlalu padat, saya berangkat dari Abepura distrik Kota Baru pukul 06.30 WP (Waktu Papua) menuju Arso, Kabupaten Keerom yang berjarak sekitar dua setangah jam perjalanan dengan kendaraan roda dua.
Setalah tiba di Arso, saya melanjutkan perjalanan menuju Kampung Kwor dan tiba sekitar pukul 09.16 WP, dan dari kampung Kwor saya memulai perjalanan menuju bivak para pengungsi.
Selama enam jam perjalanan melewati kebun, sungai dan hutan, saya pun tiba di bivak pengungsi yang berjumlah empat buah dan dihuni oleh 38 orang. Para pengungsi ini berasal dari tiga kampung, yaitu, Kampung Sawyatami 11 orang, kampung Workwana 9 orang dan kampung PIR III Bagia berjumlah 18 orang.
Di bivak yang terletak di tengah hutan ini, pengungsi laki-laki berjumlah 20 orang, perempuan berjumlah 18 orang dan diantaranya terdapat 7 orang anak berumur kurang dari lima tahun (Balita). Selain orang tua dan balita, ada 15 pelajar yang ikut mengungsi, mereka terdiri dari pelajar Sekolah Dasar (SD) sebanyak 8 orang, pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 4 orang dan pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 3 orang.
Di pengungsian, mereka bergantung hanya pada makanan yang diperoleh dari sekitar bivak seperti, sagu, ulat sagu, ulat kayu, dan babi hutan. “Selama lima bulan tinggal di hutan, kami hanya makan sagu, ulat kayu, ulat sagu dan minum air sungai untuk bertahan hidup,” ungkap LK (68), salah seorang tokoh adat yang juga turut mengungsi.
Kondisi para pengungsi sangat menyedihkan, ada dua ibu hamil, yaitu Rosalina Minigir (36 Thn) hamil 2 bulan, dan Agustina Bagiasi (35 Thn) yang sedang hamil 4 bulan. Sedangkan Aleda Kwambre (28 Thn) telah hamil tua, dan melahirkan seorang bayi perempuan di pengungsian. Saat ini dua orang bayi dalam kondisi sakit, yaitu Penina Pekikir (3 Thn) dan Ratih Kimber (1 Thn).
“Sa takut Kopassus. Sa lihat dorang datang pegang senjata, masuk di kampung PIR III baru dong tembak-tembak. Jadi sa takut ke sekolah,” tutur CK (17 Thn) yang turut mengungsi dan tidak bisa sekolah kerana merasa takut.
Selain CK, NY (8 Thn) dengan nada polos mengungkapkan “Sa tra sekolah su lama, sa takut lihat tentara dengan helikopter yang terbang di atas kampung.”
MT (38) juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap pemerintah Kabupaten Keerom, karena dinilai tidak mampu memberikan rasa aman bagi orang asli Papua di Keerom. “Mama marah, orang-orang hebat, pejabat pemerintah, bupati, cendekiawan, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama, tra pusing dengan kitong di hutan ini.Mama takut lihat tentara dengan polisi dorang, dong pegang senjata tembak-tembak di kampung. Mama takut, jadi lari ke hutan,” ungkapnya sambil menagis.
Para pengungsi berharap agar ELSHAM Papua bersama lembaga HAM Internasional memediasi pemulangan mereka ke kampungnya masing-masing. “Natal sudah dekat, kitong belum cari uang untuk merayakanatal. Anak-anak ini dong juga su tra sekolahlima bulan. Kitong harap ELSHAM dong tolong bantu bawa kitong pulang ke kampung,” ujar FK (50 Thn) penuh harap.
Seperti diberitakan sebelumnya, 38 warga di tiga kampung mengungsi karena merasa takut dengan operasi penyisiran yang dilakukan oleh aparat TNI/Polri di wilayah Kabupaten Keerom. Penyisiran di lakukan aparat pasca peristiwa penembakan terhadap Yohanes Yanuprom, Kepala Kampung Sawyatami pada 1 Juli 2012 silam.
Hingga berita ini dibuat, para pengungsi masih bertahan di hutan tanpa bahan makanan dan obat-obatan yang memadai. ©Elsham News Service
Sumber: elshampapua.org
0 komentar:
Post a Comment