Siap diutus: Para suster SMSJ memilih berkarya di daerah terpencil minim fasilitas [HIDUP/Greg. Sutomo SJ] |
Saat itu, untuk pertama kali Yosephine melihat sosok perempuan yang berkulit sedemikian putih, dengan pakaian yang juga putih. Sesaat setelah pesawat mendarat, suster-suster yang kelihatan sangat bersih itu langsung menghampiri seorang ibu penderita kanker, yang hampir memutus payudaranya.
”Tanpa rasa jijik, sambil meneteskan air mata, suster itu memeriksa luka membusuk yang diderita ibu itu...,” kenang Suster Yosephine SMSJ.
Pengalaman itu memantik ketertarikan Yosephine menjadi biarawati untuk pertama kalinya. Seiring waktu, ia berhasil mewujudkan ketertarikannya itu. Bahkan, di kemudian hari ia menjadi Pimpinan Kongregasi Suster-Suster Sorores Minores Sancti Josephi (SMSJ) Wilayah Papua.
Sangat terpencil
Yosephine lahir pada 29 Agustus 1960 di Apogomakida (Apowo), sebuah kampung kecil di salah satu puncak pegunungan di wilayah Kabupaten Dogiyai, di bagian tengah leher burung Pulau Papua. Hingga kini, kampung ini masih sangat terpencil.
Saat remaja, putri pertama Mikael Didimus Tekege dan Maria Helma Makai ini dijuluki Ahipi Misai atau Bunga Surga oleh para kerabatnya, terutama para pemuda yang tertarik pada paras dan kepribadiannya. Namun, ia selalu tersipu malu jika disapa demikian.
Sang ayah, katekis perdana di kampung itu, menunjukkan arah panggilan bagi Yosephine. ”Saat saya keheranan melihat suster-suster begitu memperhatikan seorang ibu yang terluka, Bapak menjelaskan bahwa mereka memang bekerja untuk menolong orang lain,” kenangnya.
Ketertarikannya menjadi biarawati merupakan tantangan bagi Yosephine, sewaktu ia mendulang ilmu di Jayapura. Sekali lagi, ia berjumpa dengan para suster SMSJ.
Semakin terpesona
Melihat para suster Belanda dengan latar belakang budaya yang amat berbeda, tapi begitu peduli pada perbedaan dan bahkan melebur dan memperhatikan kesusahan orang lain, membuat Yosephine semakin terpesona.
Ia heran, mereka begitu berbeda tapi mau menolong orang-orang yang begitu kesusahan di kampungnya. Padahal, orang kerap segan memperhatikan kesusahan orang lain karena dirinya sibuk dengan kesusahannya sendiri.
”Saya seperti ditantang untuk masuk dalam kehidupan semacam itu,” tandas Yosephine. Jiwa mudanya digelitik untuk menggeluti kehidupan para suster SMSJ, yang tidak hanya berdoa lalu bekerja di tempat tugasnya dan pulang. ”Para suster Belanda itu selalu menemukan kesibukan untuk bisa lebih memperhatikan orang lain,” lanjutnya.
Akhirnya, pimpinan sekolahnya Suster Maricen SMSJ membuat tantangan itu menjadi kian menggebu. Keramahan dan perhatian suster itu pada siswa-siswa yang kurang dalam banyak hal, membuat Yosephine mengaguminya. ”Suster itu seperti punya indra lain sehingga tahu kesusahan yang dihadapi anak-anak,” kenangnya. Sosok yang mengagumkan ini mengondisikan Yosephine semakin tertarik menjadi biarawati SMSJ.
Namun, jalan menjadi suster tidak semulus dugaannya. Saat Yosephine mengungkapkan niatnya dan memohon izin pada sang ayah, ia justru dihadapkan pada tanggung jawab yang nyata sebagai Umau Tekege, putri pertama dalam keluarga Tekege.
Akhirnya, demi kelanjutan pendidikan adik-adiknya, Yosephine menjadi guru di Enarotali, kota di tepi Danau Paniai, yang saat itu menjadi pusat misi Katolik. Berbagai kegiatan pembinaan dilakukan oleh para misionaris Fransiskan dan para suster SMSJ di daerah itu. Mereka membuka asrama putri dan sekolah kesejahteraan keluarga.
Setelah beberapa tahun mengajar, Yosephine tak lupa akan tekadnya semula menjadi biarawati. Kali ini, sang ayah menyerah pada gelora panggilan Allah dalam diri Yosephine. ”Saya harus bertanggung jawab pada Yang di Atas, jika saya melarangmu,” kata Suster Yosephine menyitir ucapan sang ayah.
Saat Yosephine bergabung dengan SMSJ, ada beberapa putri Papua yang telah bergabung. Benturan budaya dan gejolak kebangsaan, serta perkembangan kesadaran pribadi, akhirnya menyeleksi panggilan para suster muda yang bergabung. Bukan hanya para putri Papua tetapi juga suster-suster dari aneka suku di Indonesia, banyak yang kemudian menanggalkan jubahnya.
Kepribadian yang gemar tantangan, akhirnya meneguhkan panggilan Suster Yosephine hingga menjadi anggota Dewan Pimpinan Tarekat SMSJ dan sebagai pimpinan wilayah Papua.
Pekerjaan kecil
”Suster-suster kami melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil,” ungkap Suster Yosephine. Tarekat yang didirikan di Heerlan, Belanda oleh seorang imam diosesan, Mgr Savelberg ini memang tak banyak diketahui sepak terjangnya, terutama oleh orang-orang kota besar.
Pekerjaan kecil yang dimaksud oleh Suster Yosephine, bisa berarti sebaliknya bagi banyak orang di pedalaman Keuskupan Timika.
Di Indonesia, tarekat ini semula dikenal dengan nama Dina Santo Yosep. Mereka memulai karya di Papua pada tahun 1953. Tepatnya, di Kaokanao, di sebelah selatan Kota Timika, jauh dari pesona emas Freeport. Mereka memenuhi undangan misionaris OFM, pohon besar di mana tarekat ini merupakan ranting terkecil sebagai bagian dari Ordo Ketiga Fransiskan.
Dengan semboyan ’menolong di mana orang lain tidak mau menolong’, para suster SMSJ lebih sering berkarya di pedalaman yang terpencil dan minim fasilitas, serta jauh dari akses komunikasi. Tidak mengherankan, jika karya tarekat ini jarang diketahui. ”Tahun 90-an, orang di Nabire mengira kami merupakan tarekat baru di Keuskupan Jayapura,” gurau Suster Yosephine.
Di pedalaman Papua, Tarekat SMSJ sangat berjasa dalam mengembangkan pendidikan berasrama bagi putra-putri Papua. Mereka memberikan keterampilan dasar kesejahteraan keluarga bagi para ibu. Di tengah keterbatasan dana, mereka juga melayani di bidang kesehatan secara sederhana. Saat itu, unit-unit pelayanan kesehatan belum didirikan oleh pemerintah.
Di awal misi di Papua, para suster SMSJ memberikan pertolongan yang sangat berarti bagi pewartaan Injil di Keuskupan Timika dan Jayapura dewasa ini.
Berpusat di Lota, Manado dengan karya tersebar di Papua, Kalimantan, Flores, dan Maluku, tarekat yang konsisten berkarya di wilayah sulit ini tak putus bergumul dengan kesulitan.
Menjelang tahun 80-an, tenaga suster misionaris semakin sedikit karena berkurangnya panggilan di Belanda. Sementara itu, calon dari Indonesia baru dimulai. Beberapa suster terserang malaria atau kolera, yang merupakan penyakit khas di Papua. Kondisi ini membuat mereka harus menutup beberapa komunitas misi di Keuskupan Timika.
Kesulitan lain muncul berkaitan dengan karakteristik karya tarekat yang umumnya berada di wilayah pedalaman dengan akses komunikasi yang terbatas, membuat tarekat ini juga mendapat sedikit bantuan keuangan sebab para donatur yang umumnya tinggal di kota besar, tidak mengenal SMSJ.
Tambahan lagi, saat kerusuhan melanda wilayah Ambon, tanah dan rumah komunitas di Bacan, pulau kecil di selatan Ternate dirampas dan tak bisa diambil kembali.
Bahkan, rumah sakit di Ternate yang berdiri sejak tahun 50-an tak luput dari keberingasan perusuh. Ketika para suster hendak berkarya kembali pada tahun 2003, rumah sakit rusak berat dan kosong. Nyaris mustahil menyediakan kembali peralatan kesehatan dengan keterbatasan dana tarekat.
Menolak kalah
Mahalnya biaya misi di pedalaman Papua, di mana harga bensin tak kurang dari Rp 15.000 per liter, tak membuat suster-suster perkasa ini mundur.
Dengan kesederhanaan dan keuletan, sebuah komunitas baru didirikan lagi di Keuskupan Timika, tepatnya di Kota Nabire.
Menurut Suster Yosephine, kini mereka hendak mempromosikan inti spiritualitas hamba yang siap menolong semakin banyak orang. Dengan demikian, mereka bisa semakin banyak menolong orang di mana tidak ada yang menolong.
Suster Yosephine terus mendukung Suster Juliva Motulo SMSJ, Pemimpin Komunitas SMSJ Nabire, agar membuat banyak terobosan dengan program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), membantu pembiakan babi, sumber protein penting di Papua, serta menyiapkan pemuda-pemudi asli Papua yang akan dikirim ke sekolah pertanian di Jawa dan Manado.
Walau berada di tengah Kota Nabire, komunitas yang didirikan untuk menjadi pendukung misi komunitas SMSJ di pedalaman ini, nyatanya tidak betah tinggal di kota. Mereka pun merambah ke timur, menerobos sampai ke pinggiran hutan-hutan di sekitar Legari, guna menolong petani-petani miskin asal Timor yang datang karena rayuan program transmigrasi pemerintah.
Para suster terus berkarya dengan keyakinan kuat akan penyelenggaraan Ilahi. ”Bapak pendiri memberi nasihat: Allah sudah menolong, Allah sedang menolong, dan Allah akan selalu menolong,” demikian spiritualitas SMSJ yang diyakini Suster Yosephine.
Ia terus menyemangati para suster asal Manado, Ambon, dan Toraja yang semakin perkasa. Kulit mereka yang semula putih halus berubah makin gelap dan kasar karena menjelajah alam keras medan misi Keuskupan Timika. Mereka terus menolong, di saat kebanyakan orang merasa berat untuk menolong.
Sumber: HIDUPKATOLIK.com -
0 komentar:
Post a Comment