Jakarta - Theo Waemuri, lelaki yang tercatat sebagai salah
seorang putera Papua pertama yang berkarir di dunia diplomasi modern,
pada 1992, pernah berkeluh kesah. Isinya berkisar kerisauannya terhadap
masa depan masyarakat dan pulau Irian Jaya, begitu sebutan Papua dan
Papua Barat ketika itu.
Saat itu Theo baru kembali dari Amerika Serikat setelah bertugas selama hampir 6 tahun di KBRI Washington. Dia menghitung, daerahnya sudah lebih dari 30 tahun bergabung dengan NKRI. Status Papua sebagai bagian dari NKRI, tidak lagi mendapat gangguan berarti dari luar. Indonesia saat itu merupakan salah satu negara kuat di Asia yang diperhitungkan.
Tapi Irian Jaya atau Papua bagaikan sebuah wilayah yang tidak masuk dalam teritori Indonesia. Dalam bingkai NKRI, Papua hanya "di atas kertas" saja. Keberadaan Papua di NKRI seperti sebuah bayangan yang kadang kelihatan, kadangkala tidak. Antara ada dan tidak ada.
Prestasi masyarakat Papua sering diabaikan. Di cabang sepakbola misalnya. Sekalipun klub atau kesebelasan asal Papua menjuarai Indonesia, PSSI belum pernah memberi kesempatan pemain asal Papua itu mewakili Indonesia di kompetisi luar negeri.
Papua hanya diingat oleh para pengambil keputusan di Jakarta manakala di salah satu wilayah itu terjadi kecelakaan pesawat terbang. Terutama jika penumpang serta awak pesawat itu berasal dari luar Papua.
Harga-harga barang kebutuhan pokok yang sama di Jakarta dan dijual di Papua, berlipat kali mahalnya.
Akibatnya penduduk lokal Papua sulit menjangkaunya. Masyarakat yang tinggal di pegunungan Papua sering dikonotasikan oleh pers atau pejabat Jakarta yang berkunjung ke sana, seakan masih hidup di zaman batu.
Sepengetahuan dia, para ahli termasuk pejabat pembuat keputusan di luar Papua selalu menegaskan pulau itu merupakan salah satu pulau di Indonesia yang kaya akan sumber daya alam. Namun kekayaan alam yang ada, tidak membuat Irian Jaya ikut berjaya.
Sebagai putera daerah yang melihat Papua dan Indonesia dari luar, Theo Waemuri merasa ada yang janggal dan tidak masuk akal dengan kondisi yang terjadi di daerah kelahirannya. Sebagai diplomat yang sudah berinteraksi dengan berbagai bangsa, keadaan daerahnya yang demikian, cukup mengganggu kebanggaannya sebagai putera Indonesia asal Papua.
Sulit bagi dia memahami mengapa kemajuan Papua hanya berjalan di tempat sementara kabarnya dana pembangunan yang disalurkan ke Papua sudah lumayan besar.
Sukar memahami kehadiran perusahaan Amerika Serikat, PT Freeport yang disebut-sebut sudah mengeruk keuntungan yang tidak kecil, tetapi sebaliknya tidak memberi dampak bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Papua.
Untuk membangun dan memajukan Papua, harus ada terobosan dan orang yang berani melakukannya harus siap menghadapi risiko. Kepada penulis, Theo yang terakhir menjadi Dubes RI di Namibia, Afrika, akhirnya menyatakan bahwa ia ingin menjadi Presiden Papua.
Pada era itu, pernyataan kritis seperti itu, sesungguhnya sangat sensitif bagi telinga penguasa. Dan kalau pernyataannya itu saya penuhi, dimuat di harian Media Indonesia, tempat saya bekerja pada saat itu, bukan hanya Theo yang berisiko. Tapi saya dan media tempat saya bekerja.
Maklum di era itu pers sangat dikekang dan dikontrol oleh penguasa. Kebenaran hanya ada pada pihak penguasa. Sayapun menanggapi keluhannya itu sebagai sebuah hal yang positif. Untuk tidak mengecewakannya, saya menempatkan diri sebagai sahabat yang bersedia mendengar curhatan-nya.
Sebab di balik kekecewaannya sebagai putera Papua, dia tetap mencintai Indonesia sebagai negaranya. Semangat dan kerinduannya ingin melihat Indonesia maju di mana di dalamnya terdapat pulau Papua dan orang-orang beretnis Melanesia serta burung cenderawasih, sangat tinggi.
Jadi Theo dan ketidak puasannya, tidak bisa disejajarkan dengan anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang agenda perjuangannya memang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Mengapa saya punya persepsi demikian ?
Sebab menurut Theo Waemuri sekalipun Papua menjadi sebuah negara berdaulat dan dia sendiri bercita-cita menjadi Presiden pertama di pulau tersebut, tetapi pemisahan Papua dari NKRI harus dilakukan secara damai di atas semangat kekeluargaan. Tidak melalui pemberontakan atau peperangan. Bahasa resmi, Bahasa Indonesia.
Dia juga memberi alasan, mengingat kondisi SDM di Papua masih sangat terbatas kapabilitas mereka, maka dia akan merekrut para ahli dari Indonesia dengan kontrak minimal 5 tahun. Mereka yang direkrut berasal dari berbagai bidang keahlian.
Theo melihat tenaga-tenaga ahli dalam berbagai bidang di Indonesia, sangat banyak. Hanya saja, karena kebijakan diskiriminatif dan entah disebabkan oleh paradigma yang tidak sesuai dengan kondisi, maka para ahli itu tidak pernah dimanfaatkan. Banyak yang menganggur.
Terkait dengan masa depan para ahli tersebut, Theo menyatakan mereka akan diberi gaji yang cukup besar dan fasilitas yang baik, tetapi mereka juga diberikan target yang harus dicapai. Kewajiban lainnya, mereka harus bisa mengalihkan keahlian mereka kepada putera-puteri Papua. Seusai kontrak, mereka dikembalikan ke Indonesia, sebab para ahli itu tidak berhak menjadi warga negara Papua (Merdeka).
Tentang optimismenya akan masa depan Papua, Theo menyatakan jika kekayaan alam yang luar biasa yang terdapat di Papua dimanfaatkan bagi kepentingan rakyat, ia yakin daerah tersebut akan memiliki masyarakat dengan tingkat kesejahteraan setara Swiss.
Kedengarannya apa yang disampaikan oleh Theo Waemuri terlalu muluk-muluk. Namun kalau kita boleh dan mau menyediakan diri sebagai pendengar yang baik, berusaha memahami apa sebetulnya yang menjadi keresahan saudara-saudara kita di Papua, uneg-uneg Theo merupakan masukan yang sangat berharga.
Setelah pertemuan 1992 itu, saya baru bertemu kembali dengannya di 2003. Ia belum lama pulang dari Namibia sebagai Dubes RI. Kehidupannya sebagai mantan Duta Besar, relatif tidak berubah banyak. Sebab ia mengaku belum punya rumah tinggal sebagai milik pribadi di Jakarta, begitu juga kemana-mana dia hanya bisa menggunakan taksi.
Pada 2007, mantan pengurus DPP KNPI itu mendaftar sebagai calon anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum). Ia gagal. Salah satu alasan yang dijadikan untuk menggugurkan niatnya itu adalah latar belakang statusnya. Theo mengaku bukan anggota sebuah partai politik. Tetapi ada yang melaporkan dia pernah mendaftar sebagai anggota Partai Demokrat.
Saya simak pernyataannya seusai mengikuti fit and proper test yaitu dia sangat kecewa. Karena sejatinya ia tidak pernah aktif. Dia menganggap yang melakukan uji kelayakan atas kapabilitasnya adalah orang tidak kapabel. Mungkin maksudnya, yang mengujinya adalah Indonesia yang tidak paham tentang orang Indonesia asal Papua.
Pengabdiannya selama puluhan tahun melalui jalur profesi diplomat - yang hanya berpikir tentang apa yang terbaik untuk NKRI, mestinya sebuah kredit poin. "Suatu waktu saya kan kembali untuk mengatur saudara," kata Theo sinis.
Saya teringat kepada Theo Waemuri dan menulis ceriteranya karena alasan kontekstual. Boleh jadi, dia termasuk orang Papua yang tersinggung dengan cara Presiden SBY yang memberi konsesi kepada British Petroleum untuk mengolah gas di tanah Papua, Tangguh.
Rakyat Papua seolah tak perlu diberi tahu. Cukup dengar dari pihak ketiga saja. Nilai kontraknya mencapai Rp141 triliun sementara tidak ada jaminan apakah sepersekian persen dari jumlah itu akan bisa mensejahterakan rakyat Papua.
Kalau kekuatiran ini benar-benar terjadi, maka keberadaan pulau terujung di ufuk Timur Indonesia itu, tak ubahnya dengan TKI. Mudah diperjual belikan. Yah "Papua on Sale".
Penulis :Derek Manangka Wartawan Senior
Sumber: Inilah.com via gbi-bethel.org
Saat itu Theo baru kembali dari Amerika Serikat setelah bertugas selama hampir 6 tahun di KBRI Washington. Dia menghitung, daerahnya sudah lebih dari 30 tahun bergabung dengan NKRI. Status Papua sebagai bagian dari NKRI, tidak lagi mendapat gangguan berarti dari luar. Indonesia saat itu merupakan salah satu negara kuat di Asia yang diperhitungkan.
Tapi Irian Jaya atau Papua bagaikan sebuah wilayah yang tidak masuk dalam teritori Indonesia. Dalam bingkai NKRI, Papua hanya "di atas kertas" saja. Keberadaan Papua di NKRI seperti sebuah bayangan yang kadang kelihatan, kadangkala tidak. Antara ada dan tidak ada.
Prestasi masyarakat Papua sering diabaikan. Di cabang sepakbola misalnya. Sekalipun klub atau kesebelasan asal Papua menjuarai Indonesia, PSSI belum pernah memberi kesempatan pemain asal Papua itu mewakili Indonesia di kompetisi luar negeri.
Papua hanya diingat oleh para pengambil keputusan di Jakarta manakala di salah satu wilayah itu terjadi kecelakaan pesawat terbang. Terutama jika penumpang serta awak pesawat itu berasal dari luar Papua.
Harga-harga barang kebutuhan pokok yang sama di Jakarta dan dijual di Papua, berlipat kali mahalnya.
Akibatnya penduduk lokal Papua sulit menjangkaunya. Masyarakat yang tinggal di pegunungan Papua sering dikonotasikan oleh pers atau pejabat Jakarta yang berkunjung ke sana, seakan masih hidup di zaman batu.
Sepengetahuan dia, para ahli termasuk pejabat pembuat keputusan di luar Papua selalu menegaskan pulau itu merupakan salah satu pulau di Indonesia yang kaya akan sumber daya alam. Namun kekayaan alam yang ada, tidak membuat Irian Jaya ikut berjaya.
Sebagai putera daerah yang melihat Papua dan Indonesia dari luar, Theo Waemuri merasa ada yang janggal dan tidak masuk akal dengan kondisi yang terjadi di daerah kelahirannya. Sebagai diplomat yang sudah berinteraksi dengan berbagai bangsa, keadaan daerahnya yang demikian, cukup mengganggu kebanggaannya sebagai putera Indonesia asal Papua.
Sulit bagi dia memahami mengapa kemajuan Papua hanya berjalan di tempat sementara kabarnya dana pembangunan yang disalurkan ke Papua sudah lumayan besar.
Sukar memahami kehadiran perusahaan Amerika Serikat, PT Freeport yang disebut-sebut sudah mengeruk keuntungan yang tidak kecil, tetapi sebaliknya tidak memberi dampak bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Papua.
Untuk membangun dan memajukan Papua, harus ada terobosan dan orang yang berani melakukannya harus siap menghadapi risiko. Kepada penulis, Theo yang terakhir menjadi Dubes RI di Namibia, Afrika, akhirnya menyatakan bahwa ia ingin menjadi Presiden Papua.
Pada era itu, pernyataan kritis seperti itu, sesungguhnya sangat sensitif bagi telinga penguasa. Dan kalau pernyataannya itu saya penuhi, dimuat di harian Media Indonesia, tempat saya bekerja pada saat itu, bukan hanya Theo yang berisiko. Tapi saya dan media tempat saya bekerja.
Maklum di era itu pers sangat dikekang dan dikontrol oleh penguasa. Kebenaran hanya ada pada pihak penguasa. Sayapun menanggapi keluhannya itu sebagai sebuah hal yang positif. Untuk tidak mengecewakannya, saya menempatkan diri sebagai sahabat yang bersedia mendengar curhatan-nya.
Sebab di balik kekecewaannya sebagai putera Papua, dia tetap mencintai Indonesia sebagai negaranya. Semangat dan kerinduannya ingin melihat Indonesia maju di mana di dalamnya terdapat pulau Papua dan orang-orang beretnis Melanesia serta burung cenderawasih, sangat tinggi.
Jadi Theo dan ketidak puasannya, tidak bisa disejajarkan dengan anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang agenda perjuangannya memang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Mengapa saya punya persepsi demikian ?
Sebab menurut Theo Waemuri sekalipun Papua menjadi sebuah negara berdaulat dan dia sendiri bercita-cita menjadi Presiden pertama di pulau tersebut, tetapi pemisahan Papua dari NKRI harus dilakukan secara damai di atas semangat kekeluargaan. Tidak melalui pemberontakan atau peperangan. Bahasa resmi, Bahasa Indonesia.
Dia juga memberi alasan, mengingat kondisi SDM di Papua masih sangat terbatas kapabilitas mereka, maka dia akan merekrut para ahli dari Indonesia dengan kontrak minimal 5 tahun. Mereka yang direkrut berasal dari berbagai bidang keahlian.
Theo melihat tenaga-tenaga ahli dalam berbagai bidang di Indonesia, sangat banyak. Hanya saja, karena kebijakan diskiriminatif dan entah disebabkan oleh paradigma yang tidak sesuai dengan kondisi, maka para ahli itu tidak pernah dimanfaatkan. Banyak yang menganggur.
Terkait dengan masa depan para ahli tersebut, Theo menyatakan mereka akan diberi gaji yang cukup besar dan fasilitas yang baik, tetapi mereka juga diberikan target yang harus dicapai. Kewajiban lainnya, mereka harus bisa mengalihkan keahlian mereka kepada putera-puteri Papua. Seusai kontrak, mereka dikembalikan ke Indonesia, sebab para ahli itu tidak berhak menjadi warga negara Papua (Merdeka).
Tentang optimismenya akan masa depan Papua, Theo menyatakan jika kekayaan alam yang luar biasa yang terdapat di Papua dimanfaatkan bagi kepentingan rakyat, ia yakin daerah tersebut akan memiliki masyarakat dengan tingkat kesejahteraan setara Swiss.
Kedengarannya apa yang disampaikan oleh Theo Waemuri terlalu muluk-muluk. Namun kalau kita boleh dan mau menyediakan diri sebagai pendengar yang baik, berusaha memahami apa sebetulnya yang menjadi keresahan saudara-saudara kita di Papua, uneg-uneg Theo merupakan masukan yang sangat berharga.
Setelah pertemuan 1992 itu, saya baru bertemu kembali dengannya di 2003. Ia belum lama pulang dari Namibia sebagai Dubes RI. Kehidupannya sebagai mantan Duta Besar, relatif tidak berubah banyak. Sebab ia mengaku belum punya rumah tinggal sebagai milik pribadi di Jakarta, begitu juga kemana-mana dia hanya bisa menggunakan taksi.
Pada 2007, mantan pengurus DPP KNPI itu mendaftar sebagai calon anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum). Ia gagal. Salah satu alasan yang dijadikan untuk menggugurkan niatnya itu adalah latar belakang statusnya. Theo mengaku bukan anggota sebuah partai politik. Tetapi ada yang melaporkan dia pernah mendaftar sebagai anggota Partai Demokrat.
Saya simak pernyataannya seusai mengikuti fit and proper test yaitu dia sangat kecewa. Karena sejatinya ia tidak pernah aktif. Dia menganggap yang melakukan uji kelayakan atas kapabilitasnya adalah orang tidak kapabel. Mungkin maksudnya, yang mengujinya adalah Indonesia yang tidak paham tentang orang Indonesia asal Papua.
Pengabdiannya selama puluhan tahun melalui jalur profesi diplomat - yang hanya berpikir tentang apa yang terbaik untuk NKRI, mestinya sebuah kredit poin. "Suatu waktu saya kan kembali untuk mengatur saudara," kata Theo sinis.
Saya teringat kepada Theo Waemuri dan menulis ceriteranya karena alasan kontekstual. Boleh jadi, dia termasuk orang Papua yang tersinggung dengan cara Presiden SBY yang memberi konsesi kepada British Petroleum untuk mengolah gas di tanah Papua, Tangguh.
Rakyat Papua seolah tak perlu diberi tahu. Cukup dengar dari pihak ketiga saja. Nilai kontraknya mencapai Rp141 triliun sementara tidak ada jaminan apakah sepersekian persen dari jumlah itu akan bisa mensejahterakan rakyat Papua.
Kalau kekuatiran ini benar-benar terjadi, maka keberadaan pulau terujung di ufuk Timur Indonesia itu, tak ubahnya dengan TKI. Mudah diperjual belikan. Yah "Papua on Sale".
Penulis :Derek Manangka Wartawan Senior
Sumber: Inilah.com via gbi-bethel.org
0 komentar:
Post a Comment