Sejumlah pihak mendesak agar proses dialog
Jakarta-Papua segera dilakukan untuk menghentikan tindak kekerasan yang
terjadi di Papua.
Aksi protes damai di Jakarta untuk mendesak pemerintah menyelesaikan sejumlah persoalan di Papua. (Foto: Dok) |
JAKARTA — Menyusul kasus penembakan di
Papua Kamis (21/2) yang menewaskan tentara dan warga sipil, Koordinator
Jaringan Damai Papua Pendeta Peter Neles Tebay mendesak pemerintah
Indonesia dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk segera melakukan
dialog.
Tebay mengatakan bahwa meski ia mengharapkan kasus penembakan di Papua yang menewaskan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan warga sipil diinvestigasi dan pelakunya diproses secara hukum, namun ia ragu hal tersebut akan menjamin penembakan tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang.
Menurutnya, penembakan yang terjadi baik terhadap anggota TNI, OPM maupun masyarakat sudah terjadi sejak 50 tahun lalu dan hingga kini belum ada tanda-tanda kekerasan itu akan berhenti, sehingga harus ada solusi secara menyeluruh untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi.
Ia menjelaskan bahkan penembakan delapan orang anggota TNI di hari yang sama merupakan peristiwa yang pertama kali terjadi di Papua. Selama ini, menurut Tebay, penembakan terhadap anggota TNI yang terjadi di Papua tidak pernah menewaskan korban sebanyak itu itu.
“Kalau sudah ada pendekatan ekonomi kenapa kekerasan masih terjadi? Berarti ekonomi minimal bukanlah satu-satunya alasan atau faktor penyebab adanya konflik di Papua ini, mungkin ada faktor-faktor lain,” ujar Tebay pada VOA, Jumat (22/2).
“Faktor-faktor lainnya apa? Tanyakan kepada orang-orang yang melakukan aksi ini. Makanya itu seperti saya bilang tanpa dialog masing-masing pihak mulai menginterpretasikan apa penyebab dari kekerasan ini, itu tidak akan menyelesaikan masalah. Jadi kedua belah pihak mesti duduk bersama-sama kemudian mengidentifikasi faktor penyebab dari konflik ini apa.”
Untuk menyelesaikan persoalan di Papua, pemerintah mendirikan lembaga yang diberi nama Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B). Masalah ekonomi, menurut Mahfud Siddiq, ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi masalah pertahanan dan hubungna luar negeri, bukanlah satu-satunya persoalan yang terjadi di Papua.
Mahfud juga menilai UP4B tidak relevan lagi menyelesaikan berbagai permasalah Papua.
Direktur Eksekutif The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) Poengky Indarti menyatakan dialog merupakan cara yang paling baik dan bermartabat dalam menyelesaikan persoalan di Papua.
Pemerintah Indonesia tidak perlu takut akan kehilangan Papua jika melakukan dialog, tambahnya.
“Yang penting kalau menurut kami pemerintah harus menghilangkan dulu deh trauma Timor Timur, yakin bahwa Papua memang bagian dari Indonesia sehingga tidak perlu merasa gengsi untuk berdialog dengan wakil-wakil dari rakyat Papua,” ujarnya.
Utusan Presiden untuk Papua, Farid Husein, mengatakan saat ini ada delapan faksi yang berbeda baik di tubuh gerakan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka maupun petinggi politiknya.
Dari delapan faksi tersebut, Farid mengaku telah menemui panglima dari lima faksi. Mereka, lanjut Farid juga menginginkan penyelesaian masalah Papua secara menyeluruh dan menyetujui adanya dialog dengan pemerintah Indonesia.
Tiga faksi lainnya yang belum berhasil ditemuinya, kata Farid diantaranya memang berada di sekitar wilayah tempat terjadi penembakan TNI, Kamis.
“Saya sudah berdialog dengan mereka-mereka, tetapi dialog yang utama adalah antara pimpinan negara untuk berbicara dengan mereka. Saya kan hanya mendekati dan menjelaskan kepada mereka. Kan disana ada 8 faksi, saya baru ketemu 5 faksi jadi susah untuk yang belum ketemu. Yang belum ketemu yang digunung ini. Dan sangat sulit ketemu dengan mereka karena sudah bikin perencanaan untuk ketemu tiba-tiba dibatalkan lagi karena situasi keamanan,” ujarnya.
Sementara itu, jumlah korban tewas akibat penembakan kelompok bersenjata di Papua terus bertambah menjadi 12 orang.
Kepala Bagian Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Besar Agus Rianto mengatakan berdasarkan informasi yang diterimanya hingga Jumat, korban tewas akibat penembakan kelompok bersenjata di Tingginambut, Puncak Jaya dan Sinak, Puncak Papua berjumlah 12 orang – delapan anggota TNI dan empat warga sipil.
“Dari hasil pengumpulan kita ternyata selain anggota TNI, juga ada empat masyarakat sipil di Sinak itu,” ujarnya.
Tebay mengatakan bahwa meski ia mengharapkan kasus penembakan di Papua yang menewaskan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan warga sipil diinvestigasi dan pelakunya diproses secara hukum, namun ia ragu hal tersebut akan menjamin penembakan tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang.
Menurutnya, penembakan yang terjadi baik terhadap anggota TNI, OPM maupun masyarakat sudah terjadi sejak 50 tahun lalu dan hingga kini belum ada tanda-tanda kekerasan itu akan berhenti, sehingga harus ada solusi secara menyeluruh untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi.
Ia menjelaskan bahkan penembakan delapan orang anggota TNI di hari yang sama merupakan peristiwa yang pertama kali terjadi di Papua. Selama ini, menurut Tebay, penembakan terhadap anggota TNI yang terjadi di Papua tidak pernah menewaskan korban sebanyak itu itu.
“Kalau sudah ada pendekatan ekonomi kenapa kekerasan masih terjadi? Berarti ekonomi minimal bukanlah satu-satunya alasan atau faktor penyebab adanya konflik di Papua ini, mungkin ada faktor-faktor lain,” ujar Tebay pada VOA, Jumat (22/2).
“Faktor-faktor lainnya apa? Tanyakan kepada orang-orang yang melakukan aksi ini. Makanya itu seperti saya bilang tanpa dialog masing-masing pihak mulai menginterpretasikan apa penyebab dari kekerasan ini, itu tidak akan menyelesaikan masalah. Jadi kedua belah pihak mesti duduk bersama-sama kemudian mengidentifikasi faktor penyebab dari konflik ini apa.”
Untuk menyelesaikan persoalan di Papua, pemerintah mendirikan lembaga yang diberi nama Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B). Masalah ekonomi, menurut Mahfud Siddiq, ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi masalah pertahanan dan hubungna luar negeri, bukanlah satu-satunya persoalan yang terjadi di Papua.
Mahfud juga menilai UP4B tidak relevan lagi menyelesaikan berbagai permasalah Papua.
Direktur Eksekutif The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) Poengky Indarti menyatakan dialog merupakan cara yang paling baik dan bermartabat dalam menyelesaikan persoalan di Papua.
Pemerintah Indonesia tidak perlu takut akan kehilangan Papua jika melakukan dialog, tambahnya.
“Yang penting kalau menurut kami pemerintah harus menghilangkan dulu deh trauma Timor Timur, yakin bahwa Papua memang bagian dari Indonesia sehingga tidak perlu merasa gengsi untuk berdialog dengan wakil-wakil dari rakyat Papua,” ujarnya.
Utusan Presiden untuk Papua, Farid Husein, mengatakan saat ini ada delapan faksi yang berbeda baik di tubuh gerakan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka maupun petinggi politiknya.
Dari delapan faksi tersebut, Farid mengaku telah menemui panglima dari lima faksi. Mereka, lanjut Farid juga menginginkan penyelesaian masalah Papua secara menyeluruh dan menyetujui adanya dialog dengan pemerintah Indonesia.
Tiga faksi lainnya yang belum berhasil ditemuinya, kata Farid diantaranya memang berada di sekitar wilayah tempat terjadi penembakan TNI, Kamis.
“Saya sudah berdialog dengan mereka-mereka, tetapi dialog yang utama adalah antara pimpinan negara untuk berbicara dengan mereka. Saya kan hanya mendekati dan menjelaskan kepada mereka. Kan disana ada 8 faksi, saya baru ketemu 5 faksi jadi susah untuk yang belum ketemu. Yang belum ketemu yang digunung ini. Dan sangat sulit ketemu dengan mereka karena sudah bikin perencanaan untuk ketemu tiba-tiba dibatalkan lagi karena situasi keamanan,” ujarnya.
Sementara itu, jumlah korban tewas akibat penembakan kelompok bersenjata di Papua terus bertambah menjadi 12 orang.
Kepala Bagian Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Besar Agus Rianto mengatakan berdasarkan informasi yang diterimanya hingga Jumat, korban tewas akibat penembakan kelompok bersenjata di Tingginambut, Puncak Jaya dan Sinak, Puncak Papua berjumlah 12 orang – delapan anggota TNI dan empat warga sipil.
“Dari hasil pengumpulan kita ternyata selain anggota TNI, juga ada empat masyarakat sipil di Sinak itu,” ujarnya.
Sumber: voaindonesia.com
0 komentar:
Post a Comment