Papua - Sejak turun temurun
orang-orang Kamoro di dataran rendah Kabupaten Mimika, Provinsi Papua
menikmati keindahan alam hutan bakau dan sagu. Bahkan kehidupan ini telah
berlangsung lama dan kebiasaan membangun bivak-bivak atau dalam bahasa Kamoro
disebu“Kapiri Kame”. Kapiri kame merupakan tempat tinggal sementara bagi setiap
taparu atau klen untuk mencari sumber makanan bagi kehidupan mereka
sehari-hari.
Wilayah Suku Kamoro hampir sebagian besar termasuk dalam areal kerja PT Freeport atau dikategorikan sebagai low land area karena berada di dataran rendah Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Di dalam areal kontrak karya II PT FI berdiam pula delapan sub suku Kamoro antara lain, sub suku Nawaripi, sub suku Tipuka, sub suku Mwapi, sub suku Kaugapu,sub Suku Hiripau,sub suku Iwaka, subsuku Fanamo dan Omawita.
Masing-masing sub suku ini terbagi pula dalam taparu-taparu. Taparu (klen) memiliki hak penguasaan dan kepemilikan masing-masing atas tanah ulayat(adat) dan sungai-sungai. Jadi kepemilikan atas sungai sangat mirip dengan kepemilikan atas tanah. Setiap taparu sudah mengenal arealnya sendiri saat mencari sumber makanannya. Bahkan untuk mengitari kawasan taparu sudah pasti memakan waktu berbulan-bulan.
Suku Kamoro juga mempunyai aturan-aturan tertentu(pranata lokal) yang berlaku secara semi otonom, untuk kehidupan ekonomi dalam mempertahankan kehidupan mereka tetap mengakui taparu (klen) yang memiliki hak milik atas tanah adat, terutama hulu dan hilir sungai-sungai di sekitar wilayah adat.
Namun kehidupan mereka mulai terusik tatkala PT Freeport mulai menancapkan tajinya sejak 1967. Saat itu demi pembangunan dan perluasan areal PT Freeport, Suku Kamoro dan Amungme telah kehilangan lahan secara berturut-turut seluas 100.000 hektar.
Beberapa tahun kemudian antara 1983-1985, orang Amungme dan Kamoro kembali kehilangan tanah adat seluas 7000 hektar untuk pendirian Kota Timika. Kemudian tanah seluas 25.000 hektar kembali hilang untuk pembangunan Kota Kuala Kencana seluas 25.000 hektar (Perjuangan Amungme Antara Freeport dan Militer, Elsam Jakarta 2003).
Dampak utama dari aktivitas PT Freeport Ind di Kabupaten Mimika, khususnya bagi masyarakat Suku Kamoro jelas akan membuat sungai-sungai menjadi dangkal dan sangat mempengaruhi bagi kualitas air minum. Bayangkan masyarakat yang hidup di atas air atau lazimnya disebut manusia sungai, sagu dan sampan mulai sulit berperahu di atas kali yang dangkal. Bukan hanya itu saja, kualitas air minum juga mengalami perubahan berarti dan tak mungkin di konsumsi lagi.
Prof Dr Karel Sesa, Ketua Program Studi Pasca Sarjana Universitas Cenderawasih dalam studinya menyebutkan warga di Kampung Kali Kopi, Kampung Nawaripi,Kampung Nayaro,Kampung Tipuka,Kampung Koperapoka, Kampung Fanamo, dan Kampung Omawita menyatakan hadirnya PT FI di Bumi Kamoro sebanyak 10 persen bilang sumber air minum baik. Sedangkan sisanya sebanyak 90 persen menyatakan sumber air minum tidak baik alias tak layak diminum karena terkena dampak limbah tailing.
Akumulasi sedimentasi tailing ke wilayah permukiman warga Kamoro akan terus meningkat seiring dengan aktivitas penambangan produksi dari 240.000 ton per bijih per hari hingga mencapai kapasitas maksimal 300.000 ton bijih per hari pada pasca penambangan 2041.
Walau demikian PT FI mencoba menjadikan Kampung Nayaro sebagai model percontohan permukiman bagi warga Kamoro. Antropolog dari Universitas Negeri Semarang, Nugoroho Trisnu Brata konsultan Yayasan Sejati yang mendampingi masyarakat di Kampung Nayaro mengatakan lokasi permukiman baru terletak di tengah hutan dan berada dekat dengan sungai. Posisi ini jelas akan memudahkan warga untuk mencari kebutuhan makan seperti sagu, mencari binatang buruan dan mudah menangkap ikan.
Dalam pandangan hidup masyakarat Kamoro yakni 3 S (Sagu, Sungai dan Sampan) sebagai gambaran tentang keterkaitan hidup mereka terhadap lingkungannya. Sagu dan ikan menjadi makanan pokok orang Kamoro, perahu atau sampan merupakan alat transportasi yang paling murah di sungai. Apalagi bagi orang Kamoro, sungai adalah bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat, secara tradisi lokasi permukiman di bangun di pinggir sungai.
Meskipun lokasi percontohan permukiman warga Kamoro di Kampung Nayaro bisa dianggap hampir mendekati ideal. Namun kenyataan di lapangan sudah pasti akan berbeda, dan masyarakat masih berada di persimpangan jalan.
Tak heran kalau Nugroho Trisnu Brata antropolog Universitas Negeri Semarang menyebutkan kalau masyarakat Kamoro di Kampung Nayaro termasuk dalam kategori masyarakat liminalitas.
Masa liminalitas adalah masa di mana
sebelumnya mereka adalah masyarakat peramu dan berburu karena adanya “perubahan
lingkungan maka tradisi itu menjadi mandeg.” Kini mereka berada dalam fase
antara bukan lagi murni sebagai masyarakat peramu dan juga belum secara
penuh menjadi petani.
Kehidupan menetap di dalam rumah yang jauh dari akses terhadap sumber bahan makanan(dusun sagu, sungai dan pantai, sampan) semakin menjadi beban bagi masyarakat Kamoro dalam menjalani kehidupan liminalitas ini.
Menurut Nugroho Trisnu Brata massa liminalitas Suku Kamoro adalah massa peralihan dari struktur masyarakat peramu dan berburu yang akan beralih menjadi masyarakat petani. Padahal kenyataannya untuk menjadi seorang petani ulet bukanlah sebuah pekerjaan mudah dan gampang. Yang jelas membutuhkan kesabran dan proses yang lama, bukan instan, tentunya perubahan ini akan terjadi dari generasi ke generasi.
@ [00Tribunnews]
0 komentar:
Post a Comment