Saat dramatari "Upacara Pemberian Nama Anak Adat dan Ratapan Mama-mama Papua" dipentaskan pada Festival Budaya SMA Adhi Luhur Nabire. Foto: Yermias Degei |
Festival
digelar meriah. Tampak anak-anak SMA dari berbagai suku yang sekolah di SMA ini
mengenakan pakaian adat mereka masing-masing. Tidak hanya para murid, para guru
di sekolah ini tampak mengenakan pakaian adat mereka.
Tidak
seperti Festival Budaya tahun-tahun sebelumnya, tampak di tangan tamu dan
undangan terlihat bendera merah putih berukuran kecil. "Kami diberi
bendera kecil di pintu masuk oleh penerima tamu. Ya, pegang saja," kata
Stevanus Mote.
"Budaya
itu bukan hanya soal-soal tampilan, melainkan merupakan seluruh proses kerja.
Akhirnya, saya menyampaikan selamat menikmati tampilan-tampilan gelaran budaya
dari suku dan etnis yang ada di SMA Adhi Luhur," demikian kata Kepala SMA
Adhi Luhur, V. Seno Hari Prakoso, SJ mengakhiri sambutannya.
Tampilan
drama dari suku Asmat, "Perayaan Pembabtisan" dari para Tahun
Orientasi Rohani (TOR) dari lima keuskupan di tanah Papua menandai pembukaan
Festival ini.
Bupati
Nabire, Isaias Douw dalam sambutannya yang dibacakan Asisten II, Sukadi
mengatakan, kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia dari tiap
suku bangsa di dunia. Maka, kebudayaan menunjukkan identitas sebuah suku yang harus
terus diwariskan oleh generasi muda di zaman ini.
"Saat
ini, budaya kita mulai terkikis oleh perubahan zaman. Maka, saya apresiasi apa
yang dilakukan SMA Adhi Luhur ini.
Karena budaya adalah perwujudan harga diri sebagai manusia," kata Bupati.
Selanjutnya,
penabuhan tifa Papua oleh Bupati Nabire menandai pemukaan Festival ini secara
resmi. Disusul, para siswa menyanyikan lagu Theme
Song yang diciptakannya sendiri sebagai opening
ceremony dilanjutkan catwalk dari
masing-masing suku.
Sebuah
drama bertema "Perayaan Keberagaman"
sosial budaya yang dibawakan para siswa kelas XII usai opening ceremony cukup mengundang tawa hadirin. Drama ini
mengisahkan bagaimana kehidupan masyarakat Indonesia yang multi etnis dengan
kompleksitas masalahnya.
Tidak
disangka, kritik muncul dari orang tua murid atas drama ini. "Drama ini
panjang. Saya justru melihat drama ini lebih banyak diperlihatkan superioritas
suku tertentu atas suku lain. Juga, menempatkan tokoh anak Papua ini sebagai
pencuri dalam drama ini. Peran dia hanya pencuri, ini bisa menyinggung perasaan
orang tua murid, walaupun ingin gambarkan kehidupan sosial kita di
Indonesia," kata Antomina.
Usai
drama yang cukup panjang ini, tamu undangan diarahkan ke stand-stand yang menyajikan
makanan khas dan karya seni dari tiap suku. Ada makanan khas Batak, Jawa, Bali,
Timor, Toraja, Key, Pesisir Papua, Pegunungan Papua, dan Cina. Icip-icip
makanan khas berlangsung sekitar 30
menit.
Tarian
Yospan (Yosim Pancar) secara bersama mengundang para tamu kembali mengikuti
acara inti. Acara inti diawali sebuah drama.
Beberapa
siswa berpakaian adat Koteka (pakaian adat laki-laki Pegunungan Papua dan Moge
(pakaian adat perempuan Pegunungan Papua) memasuki arena utama dari dua pintu
yang didesain khas Papua.
Menyimak Dramatari
Papua
"Kehidupan
di sekitar Danau Wissel," demikian sebuah papan nama
dipajang. Drama "Upacara Pemberian Nama Anak Adat dan Ratapan Mama-mama
Papua" dimulai. Ini adalah sebuah dramatari gabungan suku-suku
pegunungan Papua dan pesisir Papua yang sekolah di SMA Adhi Luhur.
Intinya,
drama ini menceritakan bagaimana kehidupan orang Papua sebelum ada kontak
dengan dunia luar. Para siswa menggambarkan bagaimana kehidupan masing-masing
suku sebelum ada kontak dengan dunia luar.
Pertemuan
orang Papua gunung dan orang Papua pesisir pada zaman dahulu digambarkan
kembali dalam drama ini. Beberapa anak berpakaian pegunungan Papua bertemu
dengan beberapa anak berpakaian pesisir Papua. Di sana terjadi kontak antar mereka
dan membangun hubungan sosial dan ekonomi.
Suasana
kehidupan suku-suku yang digambarkan dalam dramatari berubah setelah upacara
adat pemberian nama adat usai. Bunyi "bomm,
bomm, trum, trum" membuat kehidupan damai yang digambarkan
kocar-kacir. Bagaimana kontak-kontak awal dengan dunia luar yang disertai
kekerasan di masa lalu digambarkan di sana.
Air
mata beberapa tamu undangan berlinang pada adegan ratapan atas tertembaknya
seorang anak laki-laki kepala suku. Suasana tampak benar-benar hening saat salah
satu anak tampak tak berdaya meminta pertolongan. Lagu dan bunyi tifa
mengiringi adegan ini. Digambarkan, anak
ini meninggal dan ditemukan oleh suku pesisir Papua dan mereka meratapi anak
ini.
Di
tengah ratapan suku pesisir, beberapa suku lain yang terseber di Papua mulai
berdatangan. Beberapa siswa perempuan yang berperan sebagai mama-mama Papua dan
mereka meratapi dia. Suasana ratapan inilah yang membuat air mata tamu undangan dan beberapa siswa SMP
tak tertahankan. Selanjutnya, anak ini digotong keluar oleh suku-suku dalam
kondisi hening.
Diperlihatkan
pada akhir drama ini, kondisi bagaimana saat ini orang-orang Papua mulai
bangkit dari suasana keterpurukan mereka. Ajakan-ajakan untuk maju dan bekerja
untuk memperbaiki kehidupan disampaikan di sana. "Buna yoka, anigou-anigou. Buna yoka ekowai-ekowai" (orang
Papua, maju-maju. Orang Papua bekerja-bekerja).
Selanjutnya,
ditampilkan tarian budaya dari suku Jawa, Timor, Tinghoa, Batak, Manado,
Toraja, Maluku, dan kebudayaan dari pesisir Papua. Semua penampilan dari tiap
suku menarik. Festival yang dimulai 08.00 WIT itu diakhiri sekitar pukul 15.00
WIT.
"Saya
benar-benar senang dan puas melihat anak-anak SMA ini berpakaian adat. Anak
saya ini dulu takut tetapi sekarang berani pakai koteka. Saya salut buat SMA Adhi Luhur yang hidupkan
budaya kita," kata Damiana Magai, salah satu orang tua murid.
Apresiasi
disampaikan juga dari Zakeus Petege. "Saya senang dengan kegiatan ini.
Saya ajak anak-anak saya ke sini untuk nonton." Kata
dia, Festival Budaya ini adalah kegiatan berbobot dan banyak nilai hidup di
sana.
Tidak
disangka, salah satu alumni SMA Adhi Luhur, Stevanus menyampaikan kritik tajam.
"Saya
suka acara ini. Tiap dua tahun saya datang nonton. Tetapi, saya tidak suka
kalau dalam apresiasi budaya ada muatan-muatannya. Saya jadi heran, kenapa ada
bagi-bagi bendera merah putih pada acara budaya ini. Ini kita mau bangun
nasionalisme Indonesia karena orang Papua tidak ada nasionalisme atau acara
budaya," kata dia.
Kata
dia, pendidikan (sekolah) dan apresiasi budaya tidak bisa disisipi kepentingan.
Menurutnya, pendidikan dan kebudayaan haruslah ditetakkan pada posisinya. Hasil
dari apresiasi budaya dan pendidikan itu tentu akan melahirkan manusia-manusia yang dapat memilih kehidupannya. "Tidak perlu ada pemaksaan seperti
ini," kata dia. (MS/Yermias Degei)
Sumber : MAJALAH SELANGKAH
0 komentar:
Post a Comment