Sejak tahun 2003, Faith-based Network on West Papua (FBN) telah mendukung pemuka-
pemuka agama di Tanah Papua dalam kampanye “Papua, tanah perdamaian2
land of peace).
Proyek tersebut bertujuan untuk menciptakan Tanah Papua yang damai dan adil, di
mana masyarakat lokal hidup tanpa rasa takut dan mendapatkan kesetaraan sosial,
kesejahteraan ekonomi dan jaminan hukum. Dengan kata lain, sebuah tempat di mana
Hak Asasi Manusia (HAM) dijamin untuk semua orang terlepas dari latar belakang etnis
dan agama mereka.
Selama lebih dari satu dekade, masyarakat asli Papua telah mengalami penderitaan di
bawah militerisasi, pelanggaran HAM, eksploitasi dan diskriminasi. Pada tahun 1998,
Indonesia memasuki proses reformasi dan demokratisasi yang memperbaiki aturan-
aturan HAM dan perkembangan institusi. Akan tetapi, di provinsi yang paling Timur dari
wilayah Indonesia, masyarakat asli Papua tetap menjadi subyek pelanggaran HAM yang
serius dari aparat keamanan dan negara Indonesia.
Sampai sekarang, pemerintah Indonesia sangat membatasi akses untuk jurnalis,
organisasi kemanusiaan dan HAM internasional di Tanah Papua. Sebagai akibat dari
isolasi terhadap dunia luar tersebut, situasi HAM di Papua tetap tidak terdokumentasikan
selama bertahun-tahun.
Dalam melaksanakan kerja mereka demi keadilan dan akuntabilitas, pembela HAM
dari Papua terus menerus menghadapi intimidasi dan pelecehan. Dugaan kasus
pembunuhan jurnalis Ardiansyah Matra’is pada tahun 2010 menunjukkan bahwa situasi
pembela HAM semakin jauh memburuk.
Pada tahun 2010, ratusan masyarakat asli ikut serta dalam unjuk rasa damai di kota-
kota di Papua menuntut HAM, keadilan dan akuntabilitas atas pelanggaran HAM. Pada
bulan Juli, masyarakat asli Papua mengembalikan UU No. 21/2001 tentang Otonomi
Khusus Papua kepada Pemerintah Indonesia karena Undang-undang tersebut tidak
pernah diimplementasikan oleh negara secara konkret. Terlepas dari adanya perbaikan
peraturan, tuntutan adanya Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
untuk Papua tidak pernah terwujud.
Masyarakat asli Papua menghadapi penahanan dan tuntutan dalam menggunakan hak-
hak sipil dan politik mereka, sementara para pelaku penganiayaan dan pembunuhan
menikmati kekebalan hukum.
Hingga sekarang, Pemerintah Indonesia menerapkan pasal-pasal subversi dan hasutan
dari KUHP terhadap masyarakat asli Papua yang secara damai mengungkapkan pendapat
mereka dalam bentuk demonstrasi, protes dan publikasi. Di tahun 2010, beberapa orang
Papua yang menyuarakan pemikiran kritis lagi-lagi ditempatkan di balik jeruji besi.
Kepentingan ekonomi dan politik di Papua tetap menjadi kekuatan pendorong di
balik pelanggaran HAM di wilayah paling timur Indonesia ini. Pada bulan Agustus
2010, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) diluncurkan di Kabupaten
Merauke, Provinsi Papua, dengan tujuan untuk mengembangkan pertanian seluas 1,2
juta hektar untuk tanaman yang bernilai ekonomis. Proyek ini menimbulkan ancaman
” (Papua,
pemuka agama di Tanah Papua dalam kampanye “Papua, tanah perdamaian2
land of peace).
Proyek tersebut bertujuan untuk menciptakan Tanah Papua yang damai dan adil, di
mana masyarakat lokal hidup tanpa rasa takut dan mendapatkan kesetaraan sosial,
kesejahteraan ekonomi dan jaminan hukum. Dengan kata lain, sebuah tempat di mana
Hak Asasi Manusia (HAM) dijamin untuk semua orang terlepas dari latar belakang etnis
dan agama mereka.
Selama lebih dari satu dekade, masyarakat asli Papua telah mengalami penderitaan di
bawah militerisasi, pelanggaran HAM, eksploitasi dan diskriminasi. Pada tahun 1998,
Indonesia memasuki proses reformasi dan demokratisasi yang memperbaiki aturan-
aturan HAM dan perkembangan institusi. Akan tetapi, di provinsi yang paling Timur dari
wilayah Indonesia, masyarakat asli Papua tetap menjadi subyek pelanggaran HAM yang
serius dari aparat keamanan dan negara Indonesia.
Sampai sekarang, pemerintah Indonesia sangat membatasi akses untuk jurnalis,
organisasi kemanusiaan dan HAM internasional di Tanah Papua. Sebagai akibat dari
isolasi terhadap dunia luar tersebut, situasi HAM di Papua tetap tidak terdokumentasikan
selama bertahun-tahun.
Dalam melaksanakan kerja mereka demi keadilan dan akuntabilitas, pembela HAM
dari Papua terus menerus menghadapi intimidasi dan pelecehan. Dugaan kasus
pembunuhan jurnalis Ardiansyah Matra’is pada tahun 2010 menunjukkan bahwa situasi
pembela HAM semakin jauh memburuk.
Pada tahun 2010, ratusan masyarakat asli ikut serta dalam unjuk rasa damai di kota-
kota di Papua menuntut HAM, keadilan dan akuntabilitas atas pelanggaran HAM. Pada
bulan Juli, masyarakat asli Papua mengembalikan UU No. 21/2001 tentang Otonomi
Khusus Papua kepada Pemerintah Indonesia karena Undang-undang tersebut tidak
pernah diimplementasikan oleh negara secara konkret. Terlepas dari adanya perbaikan
peraturan, tuntutan adanya Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
untuk Papua tidak pernah terwujud.
Masyarakat asli Papua menghadapi penahanan dan tuntutan dalam menggunakan hak-
hak sipil dan politik mereka, sementara para pelaku penganiayaan dan pembunuhan
menikmati kekebalan hukum.
Hingga sekarang, Pemerintah Indonesia menerapkan pasal-pasal subversi dan hasutan
dari KUHP terhadap masyarakat asli Papua yang secara damai mengungkapkan pendapat
mereka dalam bentuk demonstrasi, protes dan publikasi. Di tahun 2010, beberapa orang
Papua yang menyuarakan pemikiran kritis lagi-lagi ditempatkan di balik jeruji besi.
Kepentingan ekonomi dan politik di Papua tetap menjadi kekuatan pendorong di
balik pelanggaran HAM di wilayah paling timur Indonesia ini. Pada bulan Agustus
2010, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) diluncurkan di Kabupaten
Merauke, Provinsi Papua, dengan tujuan untuk mengembangkan pertanian seluas 1,2
juta hektar untuk tanaman yang bernilai ekonomis. Proyek ini menimbulkan ancaman
” (Papua,
Baca dan Download Selengkapnya di Link Dibawah Ini:
0 komentar:
Post a Comment