(Ki-ka) Yusri Usman, Yuli Bintoro, Khomaidi Notonegoro Sumber foto : Syamsul Bachtiar/TeropongSenayan |
Sebab, faktor tersebut bukan tidak mungkin bisa jadi pemantik adanya gejolak politik khususnya di Papua. Bisa saja kasus Timor Timur kini Timor Leste terulang kembali di Papua.
"Kita lihat siapa dibelakang Freeport, pasti AS. Geopolitik ini penting, jangan sampai seperti kasus Timor Leste lepas, apakah Indonesia sudah siap jika Papua lepas. Saya kira ini juga harus dipikirkan oleh pemerintah," kata Direktur eksekutif Reforminer Institute Khomaidi Notonegoro dalam diskusi bertema "Maju Terus Pantang Mundur, Implementasi UU Minerba untuk Kepentingan Bangsa dan Negara" di Jakarta Senin (13/03/2017).
Tak tertutup kemungkinan, lanjut Khomaidi, akar permasalahan ini bisa terkait dengan politik.
Oleh karena itu, kata dia, jangan sampai hal terburuk akan terjadi. Makanya kalkulasi harus matang.
"Meski ini masalah bisnis to bisnis (B to B), tapi kita harus siap. Karena ada berpengaruh pada penerimaan negara, APBN, ketenagakerjaaan dan lain-lainnya. Intinya, pemerintah harus bisa mengatur strategi. Kalau memang AS turun tangan, bisa juga bawa China dan Rusia sebagai tandingan," ujarnya.
Adapun terkait wacana konsorsium BUMN nantinya bisa ambil alih Freeport, kata dia, dirinya setuju menggunakan konsorsium BUMN, tapi tetap harus waspada dan hati-hati.
"Jangan tergesa-gesa ke arah itu. Karena saya khawatir nantinya ada korupsi," tandasnya.
Sementara itu Kasubdit Pelayanan Usaha Mineral Kementerian ESDM Yuli Bintoro menyambut baik gagasan konsorsium BUMN ambil alih Freeport meski harus dilakukan secera hati-hati.
Dia bahkan menyatakan tidak hanya untuk membangun smelter, konsorsium tersebut juga bisa membeli saham PT Freeport seiring dengan divestasi yang akan dilakukan nantinya.
Menurutnya, pada 2016 Kementerian BUMN pernah menyatakan akan membentuk konsorsium, akan tetapi hingga kini belum jelas kelanjutannya.
"Kami menyambut baik pembentukan konsorsium itu tidak saja untuk membangun smelter tapi juga untuk membeli saham divestasi Freeport," ujar Yuli.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman mengatakan sejauh ini PT Freeport tidak punya niat baik menyesuaikan dirinya dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia.
"Buktinya, hingga kini perusahaan asing tidak mau membangun smelter dengan alasan tidak cocok secara skala keekonomian," ungkap dia.
Menurut Yusri, konsorsium perusahaan BUMN tambang seperti PT Timah, PT Aneka Tambang dan PT Inalum seharusnya bisa secara bersama-sama membangun smelter tersebut dengan pola saling menguntungkan.
Dia menyebutkan dengan dimilikinya smelter oleh konsorsium tersebut akan ketahuan berapa sebenarnya nilai konsentrat yang selama ini diekspor langsung oleh Freeport.
"Selama ini Freeport menyembunyikan kandungan mineral dari konsentrat tersebut, namun berlindung dengan alasan membangun smelter tidak menguntungkan secara keekonomian," pungkasnya. (icl)
Editor : Redaktur | teropongsenayan.com
0 komentar:
Post a Comment