Showing posts with label WP. Show all posts
Showing posts with label WP. Show all posts

Berani Suarakan HAM Papua, Veronika Koman Dapat Penghargaan

Veronica menerima Sir Ronald Wilson Human Rights Award oleh Australian Council for International Development (ACFID) di Sydney Rabu (23/10/2019).(Foto: Facebook/Veronica Koman)
Melalui unggahan Facebooknya, aktivis Veronica Koman menerima penghargaan HAM di Australia. Penghargaan diterima karena dianggap berani menyuarakan pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat. Veronica menerima Sir Ronald Wilson Human Rights Award oleh Australian Council for International Development (ACFID) di Sydney Rabu (23/10/2019).

Ia pun berterima kasih kepada rakyat Papua karena "mengubah kehidupannya", dan mengklaim suara mereka tak akan teredam lagi di dunia internasional. ACFID menyatakan, mereka sudah meminta kepada Pemerintah Australia supaya melindungi Veronica karena dia dianggap "pembela HAM".

Berikut ini unggahan di Facebooknya
Veronica mengatakan ia berharap penghargaan itu dapat meningkatkan kesadaran masyarakat Australia tentang apa yang disebutnya sebagai pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. (Foto: Facebook/Veronica Koma)

Pidato singkat saya ketika menerima Sir Ronald Wilson Human Rights Award dari ACFID (Australian Council for International Development) tadi:

"Terima kasih banyak atas penghargaan ini.

Pertama-tama saya ingin mengakui orang Gadigal dari Bangsa Eora sebagai penjaga tradisional dari tanah ini. Saya memberikan penghormatan kepada para Tetua masa lalu, sekarang, dan yang baru muncul. Saya hendak menggunakan kesempatan pada malam ini untuk secara formal meminta izin kepada pemilik dan penjaga tanah tradisional di seluruh Australia, untuk diperbolehkan mencari perlindungan di sini. Saya mengakui penderitaan dan perjuangan orang Aborigin yang masih berlangsung hingga saat ini di tanah mereka sendiri, mirip seperti orang West Papua yang juga menderita di tanah mereka sendiri.

Sebagian besar akibat dari operasi gabungan aparat keamanan, terdapat setidaknya 60.000 sipil yang sedang terpaksa mengungsi di West Papua saat ini. Dari para pengungsi asal Nduga sejak Desember tahun lalu, 189 di antaranya, termasuk anak-anak, telah meninggal dunia akibat kelaparan dan penyakit.

Pemerintah Indonesia tidak senang ketika saya membagikan video-video yang menunjukkan lebih dari seratus ribu orang West Papua turun ke jalan di seluruh West Papua dan Indonesia pada Agustus dan September ini, meminta referendum penentuan nasib sendiri.

Pikiran saya ada pada lebih dari seratus orang West Papua yang sedang ditahan dan seratus lebih lainnya yang luka-luka akibat tindakan keras dalam merespon aksi-aksi tersebut. Saya mempersembahkan penghargaan ini bagi semua korban dari tindakan balasan tersebut, terutama yang tewas di tangan aparat keamanan, dan 22 tahanan politik yang dikenakan pasal makar dua bulan belakangan ini.

Saya berterima kasih kepada orang West Papua yang telah mengubah hidup saya. Mereka mengajarkan saya bagaimana untuk menjadi tangguh, bagaimana untuk tetap berjuang, dan bagaimana untuk tetap lanjut meski berada pada keadaan yang mungkin orang lain merasa sudah saatnya untuk berhenti.

Saya berterima kasih kepada keluarga saya atas kesabarannya yang luar biasa. Seakan-akan masa remaja saya belum cukup menimbulkan masalah bagi mereka, kini mereka harus menghadapi bahwa saya kini digambarkan di publik bak musuh negara nomor satu. Saya juga berterima kasih kepada tim-tim yang mendukung saya di Indonesia dan wilayah lainnya.

Akhir kata, saya berharap supaya penghargaan tahun ini bisa meningkatkan kesadaran di Australia tentang pelanggaran HAM yang dialami orang West Papua dan penyangkalan terhadap hak fundamental atas penentuan nasib sendiri mereka yang telah berlangsung selama puluhan tahun."

FRI-WP dan KMP: Pak Jokowi, Tolong Selesaikan Kasus HAM di Tanah Papua

Peta Papua
Ternate - Siang itu terik dan Aula STIKIP Kie Raha menjadi saksi bisu mahasiswa yang menyuarakan HAM di tanah Papua melalui pemutaran film sejarah West Papua dan diskusi bertema Perjuangan Self Determination West Papua dan Kewajiban Solidaritas Kemanusiaan Rakyat Indonesia, Selasa (13/11/2018).

“Kami mengharapkan pemerintahan Jokowi menyoroti kasus HAM di Papua. Kami tidak mau lagi diperlakukan seperti setengah binatang, dihina, dicaci, dan dianggap seperti pembawa bangkai.” Terang Daniel Korwa, anggota Komunitas Mahasiswa Papua (KMP), di tengah-tengah diskusi.

Keluh-kesah kesah tersebut tidak hanya disuarakan oleh anggota KMP, tetapi juga dari seluruh peserta diskusi. Perwakilan Front Rakyat Indonesia-West Papua (FRI-WP) juga menyinggung bahwa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya lebih buruk ketimbang kolonialisasi Belanda.

Menurutnya, telah terjadi transmigrasi yang membuat hutan Papua sebagai tempat tinggal rakyat Papua berkurang karena dikonversi menjadi permukiman. Lalu upah yang diterima oleh rakyat papua dalam pembangunan bendungan dan irigasi juga minim.
“Pernah terjadi transmigrasi besar-besaran ke Papua yang mengakibatkan hutan  dibongkar dan dijadikan permukiman. Warga Papua juga mendapat upah minim bahkan tidak dibayar dalam pekerjaan membuat bendungan dan irigasi untuk sawah dan perkebunan.” Ucap Arbi M. Nur mewakili FRI-WP dalam diskusi.
Selain itu, diskusi ini juga mengundang para mahasiswa dan organisasi-organisasi di Kota Ternate untuk mendiskusikan persoalan Papua.

“Kawan-kawan mahasiswa maupun Papua dan organisasi setidaknya bisa berjuang untuk menyelesaikan persoalan hak asasi manusia di Papua. Semoga jua bisa mendukung masyarakat Papua untuk melaksanakan referendum.” terang Isra selaku moderator diskusi yang juga aktif dalam organisasi Pembebasan.

Penentuan Pendapat Rakyat
Sejarah mencatat, banyak kontroversi dalam referendum Papua ikut Indonesia atau merdeka. Sebagian pihak menganggap bahwa Pepera merupakan langkah yang tepat dan harus dilakukan agar kekayaan alam Papua tidak jatuh ke tangan Amerika. Sebaliknya, langkah Presiden Soekarno pada waktu itu dianggap sebagai bentuk persekongkolan antara Indonesia dengan Amerika.

 
Perjanjian New York yang menyatakan bahwa Papua ikut Indonesia.



Namun dalam Perjanjian New York atau New York Agreement yang ditandatangani oleh Subandrio selaku perwakilan Indonesia serta J. H. van Roijen dan C. Schurmann dari pihak Kerajaan Belanda menandaskan bahwa Papua menjadi milik Indonesia. Namun yang menjadi permasalahan adalah proses pelaksanaan referendum yang dinilai sarat akan pelanggaran.
Langkah Pemerintah
Masalah HAM di Papua merupakan hal yang kompleks, tetapi disadari atau tidak pemerintah Jokowi telah melakukan beberapa upaya advokasi HAM di Papua. Di lain sisi masyarakat juga harus melihat permasalahan dari sisi positif dan negatif.

Hal tersebut diwujudkan dalam proker Perhimpunan Advokasi dan Kebijakan HAM Papua (PAK HAM Papua). Proker ini memiliki motto “hentikan kekejaman” dan menyasar konflik vertikal di mana warga negara berseteru dengan pemerintah dan horizontal yaitu warga antar warga. Sejauh ini PAK HAM Papua telah melakukan beberapa hal diantaranya kampanye #Savekakabas.

Kami mengharap pemerintah menanggapi kegiatan kami, kalau tidak kami akan melaksanakan aksi besar. “Kami akan melakukan demonstrasi besar di seluruh Indonesia saat ulang tahun kemerdekaan Papua Barat.” Saat Daniel Korwa dimintai keterangan pasca diskusi. (MDZ)


Semarak.news

Resolusi Tahun Baru ala Sukarno: "Rebut Papua dari Belanda"

Ilustrasi pidato Soekarno menjelang pertempuran Trikora di Papua Barat. FOTO/Istimewa

.Dalam sebuah pidato di Istana Negara pada 19 Mei 1962, Presiden Sukarno berkata kepada hadirin upacara pelantikan penerbang Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Isinya tidak jauh soal kebanggan terhadap militer yang dimiliki Indonesia dan kampanye “pembebasan Irian Barat”.

Menurut Sukarno, meski terdapat beberapa kekurangan, angkatan perang yang dibangun pemerintah Indonesia sejak merdeka, 17 Agustus 1945, semakin sempurna dan kuat. Capaian tersebut, bagi Sukarno, amat penting guna menjadikan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), termasuk AURI di dalamnya, sebagai alat untuk merebut Irian Barat – yang dikenal juga dengan sebutan Papua – dari kuasa Belanda.

Pidato berjudul “Kita: Angkatan Perang yang Kuat” itu termuat dalam buku Bung Karno: Masalah Pertahanan-Keamanan (2010) yang disunting Iman Toto K. Rahardjo dan Suko Sudarso.

Dalam pidato itu tersurat Sukarno punya tekad merebut Papua sebelum tahun 1962 berakhir. Laiknya menyatakan resolusi tahun baru, presiden Indonesia pertama itu berkata, “Irian Barat harus merdeka, bebas masuk ke dalam wilayah kekuasaan Republik sebelum ayam jantan berkokok pada tanggal 1 Januari 1963.”

Kata-kata “ayam jantan berkokok pada tanggal 1 Januari 1963” itu pun tidak hanya disebut sekali. Ia muncul juga dalam pidato "Menghadapi Saat-saat yang Menentukan" yang disampaikan Sukarno pada Pelantikan Perwira-perwira Remaja Akademi Angkatan Laut (AAL) di Surabaya, 17 Juni 1962.

“Kehendak rakyat ialah bahwa pemerintah Republik Indonesia telah tertanam, tertanam di Irian Barat sebelum ayam jantan berkokok pada tanggal 1 Januari 1963,” sebut Sukarno.


Konfrontasi Sebelum Ayam Jantan Berkokok

Ambisi itu ingin digapai Bung Karno sejak lama. Segala upaya pun dikerahkan. Salah satunya tergambar dalam tindakannya terhadap Papua semasa menjabat presiden dari 1945 hingga 1966.

Ulf Sundhaussen, dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967 (1986, hlm. 274-277) menyatakan ada tiga hal yang menjadi program jangka pendek Kabinet Kerja tahun 1959, yakni penyediaan sandang dan pangan bagi rakyat, pemulihan keamanan dalam negeri, "pengembalian" Irian Barat.

Sundhaussen juga mencatat, pada 1960 Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda. Kemudian, pada awal 1961, Sukarno mengimbau para kepala staf angkatan perang mempersiapkan diri untuk melancarkan aksi militer perebutan wilayah Papua.

“Bagi Presiden, masalah Irian Barat mempunyai prioritas paling tinggi,” sebut Sundhaussen. Ini berpuncak kala Sukarno menyatakan konfrontasi terhadap Belanda dalam pidatonya di peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1961.

“Kita tidak akan membuang-buang kata lagi dengan Belanda sekarang! Irian Barat harus secepatnya dikembalikan ke dalam wilayah kekuasaan Republik. Pada waktu ini kebijaksanaan kita terhadap Belanda adalah kebijaksanaan konfrontasi di segala bidang – bidang politik ekonomi ya bahkan dalam bidang militer!” sebut Sukarno.

Di sisi lain, Belanda juga semakin memperuncing. Ester Yambeyapdi, dalam artikel berjudul “Papua Barat dalam Perundingan”, yang dimuat di Jurnal Sejarah (Vol. 6, No. 1, Agustus 2004) membeberkan, pada Sidang Umum PBB September 1961 delegasi Belanda mengajukan "Usulan Luns". Kata Luns diambil dari nama Menteri Luar Negeri Belanda saat itu, Joseph Marie Antoine Hubert Luns.

Isi usulannya agar Papua berada di bawah perwakilan PBB dan kemudian diberikan "penentuan nasib sendiri" menuju kemerdekaan.

Sikap Belanda tersebut dibalas Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, Subandrio. Menurutnya, jika PBB menerima usulan Belanda, itu membenarkan hak Indonesia untuk mengusir Belanda dengan kekerasan. Pada akhirnya, usulan Belanda tersebut ditolak Majelis Umum PBB.
 Berselang tiga bulan kemudian, pada 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mengumumkan kampanye Tri Komando Rakyat. Dia menyerukan, pertama, untuk menggagalkan pembentukan negara boneka Papua. Kedua, untuk mengibarkan bendera merah putih di Irian Barat. Dan ketiga, untuk bersiap-siap bagi mobilisasi umum.

Nugroho Notosusanto, dalam Sedjarah Operasi2 Pembebasan Irian Barat (1971), menyebutkan pada 2 Januari 1962, melalui, Keputusan Presiden Nomor 1/1962, Sukarno membentuk Komando Mandala yang bertugas melancarkan operasi militer untuk merebut Papua. Komandan operasi tersebut adalah Seoharto yang saat itu berpangkat mayor jenderal.

“Ini dilakukan sementara Indonesia masih dalam proses merundingkan pengembalian Papua. Dengan Demikian Indonesia menggunakan tekanan militer untuk memperoleh persyaratan yang menguntungkan baginya,” sebut Sundhaussen.

Karena Perjanjian New York

Dua bulan selepas pidato Sukarno di AAL, Indonesia tampak berhasil mendepak Belanda dari Papua.

Pada 15 Agustus 1962, Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian New York. Isinya menyatakan bahwa Belanda akan menyerahkan kekuasaannya atas Papua kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Lembaga tersebut yang bakal menyerahkan kekuasaan atas Papua kepada Indonesia.

Perjanjian itu mengatur bahwa Indonesia harus melaksanakan suatu Act of Free Choice atau penentuan pendapat orang Papua mengenai kesediannya menjadi bagian dari Indonesia atau tidak sebelum akhir tahun 1969. Kegiatan tersebut berada dalam pengawasan PBB.

Akhirnya, pada 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan otoritas administrasi Papua kepada UNTEA. Lalu, sebagaimana dicatat Nugroho, pada 31 Desember 1962, bendera merah-putih-biru Belanda resmi diturunkan, diganti bendera merah-putih Indonesia, sebagai tanda dimulainya kekuasaan de jure Indonesia, di bawah pengawasan PBB, atas Papua.

Mimpi Sukarno untuk menjadikan Papua masuk dalam wilayah Indonesia semakin dekat realisasinya sebelum ayam jantan berkokok 1 Januari 1963. Namun, dia tidak lagi menjabat presiden saat Act of Free Choice yang digelar pada 1969 karena kadung lengser pada 1966 digantikan Soeharto.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Husein Abdulsalam

 
 
 

Filep Karma: Penembakan Bukan Bagian Perjuangan Papua Merdeka

Tokoh Pejuang Kemerdekaan Papua, Filep Karma
Jayapura -- Tokoh pejuang Papua merdeka, Filep Karma menyebut serangkaian aksi penembakan di area PT Freeport Indonesia dalam beberapa waktu ini bukan bagian dari perjuangan kemerdekaan Papua. Ia memastikan perjuangkan kemerdekaan Papua dengan cara damai dan bermartabat.

“Jika ada penembakan, apa lagi sasarannya ambulance dan lainnya, itu bukan bagian perjuangan rakyat Papua,” kata Filep Karma, di Kantor Redaksi Jubi, Selasa petang, (7/11/2017) .

Filep menilai aksi penembakan murni tindakan kriminal dan dicurigai sebagai skenario oleh aktor yang punya kepentingan lain di Papua. “Di Indonesia ini skenario bukan hal baru, sudah ada sejak dulu,” kata Filep menambahkan.

Ia menyebutkan skenario yang endingnya menyudutkan pihak lain terjadi sejak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Permesta, termasuk G30S PKI dan kasus perjuangan rakyat Timor Leste. Diduga ada gerakan sipil yang dipersenjatai untuk kepentingan pihak yang mungkin merasa dirugikan atau hak-haknya belum diberikan.

“Mungkin mereka yang bikin aksi, tapi distempelkan kepada orang sipil Papua, seakan-anak ini bagian dari perjuangan,” katanya.

 Ia memastikan pola penembakan itu bukan bagian dari perjuangan rakyat Papua. Menurut dia, para pejuang kemerdekaan Papua baik sipil maupun kombatan yang bersenjata telah berkomitmen meletakkan senjata dan berjuang secara damai.

 Mereka belajar dari sejarah perjuangan Papua sejak 1965-1998, yang menunjukan angkat senjata justru tak mendapat dukungan dari dunia.

“Tapi sejak 1998 hingga kini, setelah kami mengganti pola perjuangan dengan damai dan bermartabat, mendapat respon dan dukungan negara-negara luar hingga ke forum PBB,” katanya.

Penembakan menjelang penutupan tahun anggaran dan perayaan Natal, bisa saja sengaja diciptakan agar dana Kamtimbmas tidak disetor kembali ke kas negara.

 Sebelumnya Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf M. Aidi mengatakan, tiga kompi prajurit TNI diperbantukan mengejar kelompok bersenjata yang dalam beberapa waktu terakhir melakukan penembakan di area tambang PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Kabupaten Mimika.

 "Sudah ada permintaan bantuan secara resmi dari Polda, sejak pekan lalu. Pasukan kami sudah di sana tiga kompi," katanya, Senin (6/11/2017). Menurut Aidi, TNI menggelar pola operasi tidak hanya pengejaran tapi pendekatan teritorial, pembinaan masyarakat, patroli dan lainnya.

“Ada pola-pola operasi yang dimainkan TNI, yang melibatkan unsur kodim. Tidak langsung masuk ke daerah kelompok bersenjata,” katanya. (*) Simak ini: TPN-PB akan Tingkatkan Serangan Bersenjata

Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com


Jayapura -- Tokoh pejuang Papua merdeka, Filep Karma menyebut serangkaian aksi penembakan di area PT Freeport Indonesia dalam beberapa waktu ini bukan bagian dari perjuangan kemerdekaan Papua. Ia memastikan perjuangkan kemerdekaan Papua dengan cara damai dan bermartabat. “Jika ada penembakan, apa lagi sasarannya ambulance dan lainnya, itu bukan bagian perjuangan rakyat Papua,” kata Filep Karma, di Kantor Redaksi Jubi, Selasa petang, (7/11/2017) . Filep menilai aksi penembakan murni tindakan kriminal dan dicurigai sebagai skenario oleh aktor yang punya kepentingan lain di Papua. “Di Indonesia ini skenario bukan hal baru, sudah ada sejak dulu,” kata Filep menambahkan. Ia menyebutkan skenario yang endingnya menyudutkan pihak lain terjadi sejak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Permesta, termasuk G30S PKI dan kasus perjuangan rakyat Timor Leste. Diduga ada gerakan sipil yang dipersenjatai untuk kepentingan pihak yang mungkin merasa dirugikan atau hak-haknya belum diberikan. “Mungkin mereka yang bikin aksi, tapi distempelkan kepada orang sipil Papua, seakan-anak ini bagian dari perjuangan,” katanya. Ia memastikan pola penembakan itu bukan bagian dari perjuangan rakyat Papua. Menurut dia, para pejuang kemerdekaan Papua baik sipil maupun kombatan yang bersenjata telah berkomitmen meletakkan senjata dan berjuang secara damai. Mereka belajar dari sejarah perjuangan Papua sejak 1965-1998, yang menunjukan angkat senjata justru tak mendapat dukungan dari dunia. “Tapi sejak 1998 hingga kini, setelah kami mengganti pola perjuangan dengan damai dan bermartabat, mendapat respon dan dukungan negara-negara luar hingga ke forum PBB,” katanya. Baca ini: Bupati Mimika, Eltinus Omaleng akan Dialog dengan TPN-PB yang Gencar Melakukan Aksi di Tembagapura Penembakan menjelang penutupan tahun anggaran dan perayaan Natal, bisa saja sengaja diciptakan agar dana Kamtimbmas tidak disetor kembali ke kas negara. Sebelumnya Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf M. Aidi mengatakan, tiga kompi prajurit TNI diperbantukan mengejar kelompok bersenjata yang dalam beberapa waktu terakhir melakukan penembakan di area tambang PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Kabupaten Mimika. "Sudah ada permintaan bantuan secara resmi dari Polda, sejak pekan lalu. Pasukan kami sudah di sana tiga kompi," katanya, Senin (6/11/2017). Menurut Aidi, TNI menggelar pola operasi tidak hanya pengejaran tapi pendekatan teritorial, pembinaan masyarakat, patroli dan lainnya. “Ada pola-pola operasi yang dimainkan TNI, yang melibatkan unsur kodim. Tidak langsung masuk ke daerah kelompok bersenjata,” katanya. (*) Simak ini: TPN-PB akan Tingkatkan Serangan Bersenjata Copyright ©Tabloid JUBI "sumber" Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2017/11/filep-karma-penembakan-bukan-bagian-perjuangan-papua-merdeka.html
Jayapura -- Tokoh pejuang Papua merdeka, Filep Karma menyebut serangkaian aksi penembakan di area PT Freeport Indonesia dalam beberapa waktu ini bukan bagian dari perjuangan kemerdekaan Papua. Ia memastikan perjuangkan kemerdekaan Papua dengan cara damai dan bermartabat. “Jika ada penembakan, apa lagi sasarannya ambulance dan lainnya, itu bukan bagian perjuangan rakyat Papua,” kata Filep Karma, di Kantor Redaksi Jubi, Selasa petang, (7/11/2017) . Filep menilai aksi penembakan murni tindakan kriminal dan dicurigai sebagai skenario oleh aktor yang punya kepentingan lain di Papua. “Di Indonesia ini skenario bukan hal baru, sudah ada sejak dulu,” kata Filep menambahkan. Ia menyebutkan skenario yang endingnya menyudutkan pihak lain terjadi sejak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Permesta, termasuk G30S PKI dan kasus perjuangan rakyat Timor Leste. Diduga ada gerakan sipil yang dipersenjatai untuk kepentingan pihak yang mungkin merasa dirugikan atau hak-haknya belum diberikan. “Mungkin mereka yang bikin aksi, tapi distempelkan kepada orang sipil Papua, seakan-anak ini bagian dari perjuangan,” katanya. Ia memastikan pola penembakan itu bukan bagian dari perjuangan rakyat Papua. Menurut dia, para pejuang kemerdekaan Papua baik sipil maupun kombatan yang bersenjata telah berkomitmen meletakkan senjata dan berjuang secara damai. Mereka belajar dari sejarah perjuangan Papua sejak 1965-1998, yang menunjukan angkat senjata justru tak mendapat dukungan dari dunia. “Tapi sejak 1998 hingga kini, setelah kami mengganti pola perjuangan dengan damai dan bermartabat, mendapat respon dan dukungan negara-negara luar hingga ke forum PBB,” katanya. Baca ini: Bupati Mimika, Eltinus Omaleng akan Dialog dengan TPN-PB yang Gencar Melakukan Aksi di Tembagapura Penembakan menjelang penutupan tahun anggaran dan perayaan Natal, bisa saja sengaja diciptakan agar dana Kamtimbmas tidak disetor kembali ke kas negara. Sebelumnya Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf M. Aidi mengatakan, tiga kompi prajurit TNI diperbantukan mengejar kelompok bersenjata yang dalam beberapa waktu terakhir melakukan penembakan di area tambang PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Kabupaten Mimika. "Sudah ada permintaan bantuan secara resmi dari Polda, sejak pekan lalu. Pasukan kami sudah di sana tiga kompi," katanya, Senin (6/11/2017). Menurut Aidi, TNI menggelar pola operasi tidak hanya pengejaran tapi pendekatan teritorial, pembinaan masyarakat, patroli dan lainnya. “Ada pola-pola operasi yang dimainkan TNI, yang melibatkan unsur kodim. Tidak langsung masuk ke daerah kelompok bersenjata,” katanya. (*) Simak ini: TPN-PB akan Tingkatkan Serangan Bersenjata Copyright ©Tabloid JUBI "sumber" Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2017/11/filep-karma-penembakan-bukan-bagian-perjuangan-papua-merdeka.html
Jayapura -- Tokoh pejuang Papua merdeka, Filep Karma menyebut serangkaian aksi penembakan di area PT Freeport Indonesia dalam beberapa waktu ini bukan bagian dari perjuangan kemerdekaan Papua. Ia memastikan perjuangkan kemerdekaan Papua dengan cara damai dan bermartabat. “Jika ada penembakan, apa lagi sasarannya ambulance dan lainnya, itu bukan bagian perjuangan rakyat Papua,” kata Filep Karma, di Kantor Redaksi Jubi, Selasa petang, (7/11/2017) . Filep menilai aksi penembakan murni tindakan kriminal dan dicurigai sebagai skenario oleh aktor yang punya kepentingan lain di Papua. “Di Indonesia ini skenario bukan hal baru, sudah ada sejak dulu,” kata Filep menambahkan. Ia menyebutkan skenario yang endingnya menyudutkan pihak lain terjadi sejak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Permesta, termasuk G30S PKI dan kasus perjuangan rakyat Timor Leste. Diduga ada gerakan sipil yang dipersenjatai untuk kepentingan pihak yang mungkin merasa dirugikan atau hak-haknya belum diberikan. “Mungkin mereka yang bikin aksi, tapi distempelkan kepada orang sipil Papua, seakan-anak ini bagian dari perjuangan,” katanya. Ia memastikan pola penembakan itu bukan bagian dari perjuangan rakyat Papua. Menurut dia, para pejuang kemerdekaan Papua baik sipil maupun kombatan yang bersenjata telah berkomitmen meletakkan senjata dan berjuang secara damai. Mereka belajar dari sejarah perjuangan Papua sejak 1965-1998, yang menunjukan angkat senjata justru tak mendapat dukungan dari dunia. “Tapi sejak 1998 hingga kini, setelah kami mengganti pola perjuangan dengan damai dan bermartabat, mendapat respon dan dukungan negara-negara luar hingga ke forum PBB,” katanya. Baca ini: Bupati Mimika, Eltinus Omaleng akan Dialog dengan TPN-PB yang Gencar Melakukan Aksi di Tembagapura Penembakan menjelang penutupan tahun anggaran dan perayaan Natal, bisa saja sengaja diciptakan agar dana Kamtimbmas tidak disetor kembali ke kas negara. Sebelumnya Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf M. Aidi mengatakan, tiga kompi prajurit TNI diperbantukan mengejar kelompok bersenjata yang dalam beberapa waktu terakhir melakukan penembakan di area tambang PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Kabupaten Mimika. "Sudah ada permintaan bantuan secara resmi dari Polda, sejak pekan lalu. Pasukan kami sudah di sana tiga kompi," katanya, Senin (6/11/2017). Menurut Aidi, TNI menggelar pola operasi tidak hanya pengejaran tapi pendekatan teritorial, pembinaan masyarakat, patroli dan lainnya. “Ada pola-pola operasi yang dimainkan TNI, yang melibatkan unsur kodim. Tidak langsung masuk ke daerah kelompok bersenjata,” katanya. (*) Simak ini: TPN-PB akan Tingkatkan Serangan Bersenjata Copyright ©Tabloid JUBI "sumber" Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2017/11/filep-karma-penembakan-bukan-bagian-perjuangan-papua-merdeka.html

Internasionalisasi Kasus Biak Berdarah, Berhasilkah?

 Biak Berdara fotoTabloid Jubi
Oleh : Alexa Christina, Peneliti di LSISI, Jakarta

Peristiwa “Biak Berdarah” atau dikenal dengan peristiwa Tower terjadi pada 6 Juli 1998. Peristiwa ini diawali dengan tindakan pengibaran bendera Bintang Kejora yang merupakan milik kelompok separatis di Papua disebuah tower berketinggian 35 meter yang berada dekat pelabuhan laut Biak, Papua Barat.

 Bendera tersebut berkibar sejak tanggal 2 Juli sampai dengan 6 Juli 1998. Massa yang diduga pendukung separatis Papua merdeka menari dan menyanyi serta meneriakkan merdeka-merdeka. Bahkan mereka menggelar mimbar terbuka, dimana salah satu aktivis yang bergabung dengan massa saat itu yaitu Yopy Karma menyampaikan atau membacakan tuntutan aspirasi yang mengatasnamakan masyarakat Biak untuk merdeka atau lepas dari NKRI.

Mengingat situasi yang tidak kondusif saat itu, Bupati Biak waktu itu didampingi unsur aparat keamanan dari TNI dan Polri menghimbau agar unjuk rasa tersebut dihentikan, namun himbauan ini kurang dihargai atau digubris oleh massa pengunjuk rasa yang didominasi sejumlah anggota dan simpatisan organisasi separatis Papua, sehingga saat itu aparat Polri dan TNI melakukan tindakan yang dinilai berbagai kalangan di Biak, Papua Barat dengan sinis karena berlebihan bahkan sarat pelanggaran HAM berat.

Bahkan, pasca kejadian tersebut upaya internasionalisasi terhadap kasus Biak berdarah ini dilakukan oleh sejumlah kalangan sampai saat ini, dengan alasan mereka tidak puas dengan langkah-langkah pemerintah untuk menyelesaikan kasus ini. Seorang tokoh Dewan Adat Biak misalnya menilai peristiwa Biak sebagai peristiwa pembantaian kemanusiaan karena tidak manusiawi dan tidak menghormati nilai-nilai universal HAM. Oleh karena itu, mengatasnamakan Dewan Adat Biak, tokoh ini meminta dukungan dari Uni Eropa dan masyarakat international untuk dapat membantu mengugat peristiwa pembantaian tersebut, bahkan menuntut penentuan nasib sendiri dalam rangka penyelamatan rakyat Papua.

Konon, para korban pelanggaran hak asasi manusia di Papua, termasuk korban Biak Berdarah 1998 menolak solusi apapun yang ditawarkan pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua. Pendamping para korban Biak Berdarah, Ferry Marisan mengatakan para korban sudah frustasi terhadap langkah-langkah pemerintah selama ini, dan mereka hanya punya satu keinginan yaitu merdeka. Ferry mengatakan para korban sudah kecewa karena pemerintah pusat maupun daerah tidak pernah memperhatikan kasus pelanggaran itu selama belasan tahun.



Lebihnya  Baca Disini

http://www.neraca.co.id/article/86865/internasionalisasi-kasus-biak-berdarah-berhasilkah


 

Aliansi Mahasiswa Papua Gelar Aksi Demo Serentak Jawa Bali

Aliansi Mahasiswa Papua Gelar Aksi Demo
Denpasar – Puluhan orang yang menamakan Aliansi Mahasiswa Papua berdemonstrasi di depan kantor Konsulat Jendral Amerika Serikat (Konjen AS) di Denpasar, Kamis 6 Juli 2017.

Luchifer, selaku juru bicara aksi mengungkapkan Negara Bertanggungjawab atas Kejahatan Kemanusiaan di Papua Barat tindakan kolonisasi (sistim) beserta tuannya imperialis telah-sedang menghancurkan alam serta manusia Papua Historis berdarah-darah pun tercatat sejak Papua di Aneksasi (1 Mei 1963) sejalan Pendudukan Indonesia dengan kekuatan kekuatan Militeristik serta kepentingan 1mperialis di West Papua.

Pada 6 Juli 1998 terjadi pembantaian terhadap manusia Papua di kota Biak, yang disebut Peristiwa Biak Berdarah. Peristiwa berdarah akibat tindakan aparat negara yang berlebihan terhadap rakyat yang mengibarkan bendera Bintang Kejora secara damai itu telah mengorbankan 230 orang 8 orang meninggal 8 orang hilang; 4 orang luka berat dan dievakuasi ke Makasar; 33 orang ditahan sewenang-wenang. 150 orang mengatami penyiksaan dan 32 mayat misterius ditemukan hingga terdampar di perairan Papua New Guinewa (PNG).

Kini, telah 19 tahun berlalu tanpa proses penyelesaian kasus dan pembiaran terhadap aparat Negara sebagai pelaku pembantaian tersebut tindakan pemeliharaan dan melindungi pelaku palanggar HAM, justru melanggengi kepentingan akses eksploitasian Sumber Daya Alam dan menjadi eksistensi mengkoloni Papua.

Masifnya Perampasan tanah-tanah adat, serta meningkat represifitas aparat negara disertai dengan masifnya kebrutalan penangkapan aktivis Papua yang makin meningkat Juga, militer, dibawah kontrol Negara, terus melakukan pelanngaran HAM, Pembunuhan, pemerkosaan, pengejaran dan penangkapan aktivis Papua, bahkan memenjarah hingga mengabisi nyawa.

Setelah Biak Derdarah, terjadi pula tragedi wamewa Berdarah (2000 dan 2003) wasyor Berdarah (2001); Uncen Berdarah (200G), Nabire Berdarah (2012), Paniai berdarah (2014), dan peristiwa lainnya yang Negara pun tak menyelesaikan kasusnya.

Maka, pada 19 tahun peringatan ‘tragedi Biak Berdarah Aiansi’ Mahasiswa Papua menuntut kepada Rezim Jokowi-JK serta dunia internasional dalam hal ini Perserikatan Bangsa-Bangsa;

Pertama. Negara harus bertanggungjawab atas tragedi Biak Berdarah 1998 yang telah menewaskan ratusan nyawa manusia dan Rentetan Pelanggaran HAM lainnya di Papua.

Kedua. Buka ruang demokrasi seluas-luasnya dan Berikan Hak Menentukan Nasib sendiri Bagi Rakyat Papua sebagai Solusi Demokratis.

Ketiga. Tarik Militer (TNI-Polri) organik dan Non-orzanik dari seluruh Tanah Papua. Kempat. Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh dan MNC, dan perusahaan lainnya yang merupakan dalang kejahatan Kemanusiaan di atas Tanah Papua.

“Aksi ini dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Papua yang ada di Denpasar dan serentak seluruh mahasiswa Jawa dan Bali.” Pungkas Luchifer.

BeritaDewata.com

Pos militer di kawasan Nifasi ganti warna untuk hilangkan jejak

Pos penjagaan di depan pintu masuk kawasan pertambangan emas Nifasi ini disebutkan oleh masyarakat pemilik hak ulayat telah berganti warna untuk menghilangkan jejak keterlibatan oknum TNI yang membackup aktifitas PT KEL - IST
Paniai - Solidaritas untuk Nifasi (SUN) Nabire menyebutkan PT.Kristalin Eka Lestari (PT.KEL) sedang memprovokasi warga dan membuat kelompok pro kontra agar ada legitimasi untuk tetap bertahan bekerja menambang emas di bantaran Sungai Mosairo.
Kordinator Solidaritas Untuk Nifasi, Roberthino Hanebora mengaku, pihak yang pro terhadap PT.KEL hanya beberapa orang dan hampir seluruh masyarakat Nifasi menolak kehadiran PT.KEL dan klaim wilayahnya bantaran sungai Mosairo .
"Jelasnya hanya sembilan KK (Kepala Keluarga) yang mendukung PT.KEL dari 143 KK. Perlu diketahui dari 143 KK hanya 90 KK suku asli Nifasi dan pemilik hak ulayat Mosairo. Dari 90 KK suku asli Nifasi hanya 3 KK suku asli yang mendukung PT.KEL, sisa 6 KK dari 9 KK itu adalah warga domisili di kampung Nifasi. Artinya bukan pemilik ulayat yang mendukung PT.KEL," tutur Robertino Hanebora kepada Jubi melalui pesan WhatsApp, Selasa, (27/6/2017).
Untuk meminimalisir dan menyudahi konflik di Nifasi, menurutnya, masyarakat Nifasi terutama Kepala Sub Suku Wate Kampung Nifasi bersama Kepala-Kepala Suku Besar Wate, pihak keamanan dari Polsek Lagari dan Koramil yang wilayah teritorinya ada di dalamnya Nifasi dan juga kelompok pro PT.KEL melakukan pembicaraan di Kampung Nifasi pada tanggal 3 Juni 2017.
"Dalam pertemuan tersebut mayarakat Nifasi menyepakati dan memutuskan beberapa hal penting guna menyudahi polemik berkepanjangan akan kehadiran PT.KEL," ungkapnya.
Keputusan itu diantaranya PT.KEL dapat bekerja tapi di KM 39 bantaran sungai Mosairo ke arah bawah bagian utara dan nanti dibuat surat persetujuan bekerja atau pelepasan adat.
"Karena belum ada persetujuan dan pelepasan adat oleh suku Wate kepada perusahaan itu," katanya.
Seluruh masyarakat memasang tapal batas bagi PT.KEL di KM 39 Bantaran Sungai Mosairo. Dan kesepakatan tersebut ditandatangani oleh perwakilan masyarakat Nifasi oleh pemimpin adat dan disaksikan seluruh saksi-saksi.
Kepala suku Wate, Alex Raiki mengatakan, pada 10 Juni 2017 berdasar kesepakatan tanggal 3 Juni 2017 masyarakat Nifasi menuju bantaran sungai Mosairo memasang tapal batas PT.KEL KM 39. Lalu, Kepala Sub Suku Wate Kampung Nifasi Azer Monei  mendatangi perusahaan itu yang selama ini masih bekerja di KM antara 39 dan 40 yang tidak disetujui masyarakat Nifasi selama ini.
"Kami menyampaikan hasil kesepakatan tanggal 03/06/2017, sehingga PT.KEL harus mematuhi kesepakatan masyarakat Nifasi dan PT.KEL segera memberhentikan aktivitasnya serta segera membawa peralatanya ke arah KM 39 bawah (Utara) yang nanti disusul dengan surat pelepasan oleh masyarakat," jelas Raiki.
Namun PT.KEL melanggar perjanjian tanggal 12/06/2017. Perusahaan ini masih melakukan pekerjaan di KM 39/40 dan tak membawa turun peralatan penambanganya.
"Yang terjadi malah PT.KEL kembali memanfaatkan pihak-pihak yang pro PT.KEL untuk tetap mempertahankan PT.KEL tetap bekerja antara KM 39/40 di bantaran sungai Mosairo," tambahnya.
"Padahal pihak-pihak yang dipakai tersebut sudah menyepakati hasil pertemuan tanggal 03/06/2017. Hal itu berlanjut hingga hari ini," katanya kesal.
Raiki menyampaikan, hingga saat ini pihak aparat keamanan terutama TNI masih ada di lokasi itu walaupun di media massa disebutkan tidak ada.
"Pos-pos militer yang digunakan untuk membackup PT.KEL sudah dicat dengan warna lain untuk menghilangkan jejak. Namun dokumentasi kami untuk membuktikan keterlibatan mereka ada buktinya," ungkapnya.
Pihaknya meminta kepada Presiden Joko Widodo dan semua pihak dapat menseriusi tapi juga menyelesaikan konflik tambang yang dilakukan PT.KEL di Nifasi.
"Kami menilai terkesan PT.KEL terlalu kebal hukum, sehingga tak mampu diselesaikan oleh negara ini," katanya.
"Nawacita sebagai pintu kedaulatan rakyat perlu ditegakan, sehingga kesejahteraan rakyat dengan cara legal dan penegakan HAM bisa tercapai," pungkasnya.  (*)

Penasihat Spiritual TPN-OPM Papua Goliat Tabuni menyatakan diri bergabung dalam NKRI

Salah satu militan TPN-OPM pendukung Goliat Tabuni yang bermarkas di Tingginambut, Puncak Jaya itu menyatakan diri ikut NKRI adalah penasihat spritual Goliat Tabuni yakni Wanis Tabuni.

Sebanyak 15 orang dari Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) yang selama ini dikenal sebagai militan pendukung Pimpinan TPN-OPM Papua Goliat Tabuni menyatakan diri bergabung dalam NKRI.

Selain 15 orang militan TPN-OPM yanf mendeklarasikan diri untuk masuk NKRI, ada juga 200-an warga Tingginambut yang selama ini sebagai pendukung Papua Merdeka menyatakan diri untuk ikut NKRI. Deklarasi berlangsung, Sabtu.

Mewakili para militan TPN-OPM di Tingginambut itu, Yusko Kogoya membacakan pernyataan sikap di hadapan Bupati Puncak Jaya, Henock Ibo, Danrem 173/ PWJ Bringjen TNI I Nyoman, Kapolres Puncak Jaya dan Dandim 1714/ Puncak Jaya.

Selah menyatakan diri untuk bergabung ke NKRI dan mendukung Pancasila sebagai ideologi negara, kemudian Bupati Puncak Jaya, Henock Ibo menyerahkan bendera merah putih kepada para militan TPN- OPM tersebut.

“Bendera ini saya serahkan untuk kamu dan kibarkan di seluruh wilayah Puncak Jaya bahkan diseluruh wilayah Papua,” kata Bupati.

Lebih jauh Henock Ibo meminta agar tidak ada lagi penembakan-penembakan di daerah ini. “Setop peperangan di daerah ini. Saya hitung-hitung sudah ada 100-an yang menjadi korban baik dari kelompok TNI, Polri, maupun dari sipil. Jadi jangan ada lagi penembakan, mari kita membangun daerah ini,”.

Sementara itu Danrem 173 /PWJ Bringjen TNI I Nyoman, dalam sambutan menyatakan rasa bangganya terhadap masyarakat Tingginambut yang selama ini bisa dikatakan sebagai ‘daerah merah’ di Puncak Jaya, tapi hari ini telah menyatakan diri bergabung ke NKRI dan ingin bersama-sama membangun kabupaten Puncak Jaya.

“Ini hari yang bersejarah bagi kita sebagai anak bangsa di bawah Gunung Tingginambut ini. Sudah terlalu banyak korban di daerah ini karena perang, mari kita hentikan kita semua bersaudara, hentikan semua pertikaian mari kita membangun,” katanya.

Danrem 173/PWJ menengaskan bahwa keberadaan TNI diwilayah Tingginambut adalah membantu pemerintah daerah untuk membangun rakyat, membantu kesulitan masyarakat dan memberikan keamanan seluruh masyarakat.*/rev/2017/

http://tabloidmediapapua.com


Aliansi Mahasiswa Papua Desak Indonesia Dan PBB Berikan Kemerdekaan Papua

JAKARTA - Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menggelar Peringatan 46 Tahun Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat 1 Juli 1971 di Sekretariat AMP bilangan Tebet, Jakarta Selatanm, Sabtu (1/7/2017).
OPM.[Dok/hanter]
Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Jakarta, Frans Nawipa sebelum sesi diskusi digelar mengatakan bahwa dirinya selaku bumiputera 'penduduk asli' Papua menilai bahwa gejolak perlawanan rakyat Papua yang tidak menghendaki kehadiran Indonesia di Papua, awalnya dimulai setelah 'aneksasi' wilayah Papua.
Bahkan, sambung Frans Nawipa yang akrab dengan panggilan James itu mengemukakan,  sejauh ini upaya pembungkaman ruang demokrasi acapkali dilakukan aparat negara Indonesia dengan melarang kebebasan berekspresi bagi rakyat Papua di depan umum, ditambah pula penangkapan disertai penganiayaan aktivis-aktivis pro-kemerdekaan Papua.
"Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) oleh Indonesia tahun 1969 tidak dilakukan sesuai prinsip prinsip Internasional, New York Agreement, padahal telah jelas diatur dalam amanah Internasional. Namun tidak disesuaikan dengan prinsip prinsip dan norma sebelumnya," ungkapnya.
Dalam proses pemilihan bebas, tambah James, semestinya satu (1) orang 1 suara, akan tetapi dalam Perpera 1969 pemilihan dengan sejumlah 1025 orang, dimana hanya 175 orang yang lakukan pemlihan.
Padahal, lanjut James, praktek tradisi dan praktek penjajahan telah dilakukan semenjak itu, wilayah Papua dimasukan secara paksa lewat manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) oleh Indonesia tahun 1969, wilayah Papua dijadikan wilayah jajahan. Indonesia mulai memperketat wilayah Papua dengan berbagai operasi sapu bersih terhadap gerakan perlawanan rakyat Papua yang tidak menghendaki kehadiran Indonesia di Papua.
Atas dasar inilah, jelasnya, pada tanggal 1 Juli 1971 bertempat di Desa Waris, Numbay - Papua, dekat perbatasan PNG dikumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat oleh Brigjend Zeth Jafet Rumkorem selaku Presiden Papua Barat disebabkan karena berada dibawah bayang-bayang teror dan operasi militer yang dilakukan oleh militer Indonesia di Papua.
Brigjen Zeth Jafet Rumkorem, menurutnya merupakan tokoh adat dan politik Papua yang medeklarasikan Papua Barat."Saat itu deklarasi sebagai sebuah 'Bangsa'. Namun Papua, ditetapkan sesuai dengan konstitusi, lalu kemudian dalam pilkada, dan bahkan dalam praktek pemekaran dan segala bentuk macamnya," paparnya.
"Tahun 1971 merupakan tonggak dasar untuk membentuk sebuah bangsa. Namun setelah terjadi rentetan peristiwa politik yang acap kali semacam invasi militerisme di masa rezim Orde Baru konteksnya saat itu masyarakat Papua masih selalu dalam bayang bayang terasingkan," tukasnya.
Pasca keruntuhan Soeharto, lanjutnya, masih berlangsung bentuk praktek penjajah, bahkan oknum yang memang menyulutkan kekerasan terhadap masyarakat, seperti rentetan peristiwa politik baik itu 'Biak Berdarah', 'Wasir Berdarah', ada indikasinya terkaitan dengan operasa mapenduma dan segala macam kala itu.
Selaku ketua AMP yang juga seorang putera pribumi Papua asli Wamena itu, James menilai, sejauh ini masih dalam perdebatan sengit polemik status politik papua, dikarenakan bentuk kekerasan baik di tingkat pendidikan, ekonomi, sosial tepatnya masih berlangsung.
"Sejumlah 16 negara yang ada di kawasan pasifik telah mendukung untuk 'penentuan nasib sendiri' Papua. Yakni Papua Niugini, Salomon Island, Fanuato, Fiji, Neokolonia, Kanaki, Tongga, Tufalo, Kribati kemudian negar\a negara kawasan Eropa untuk di tingkatan kampanye beberapa negara sudah mengkampanyekan pula," tukasn James.
Selang delapan (8) tahun ini semenjak 2009, kata James, Inggris, Belanda, Australia, NZ, Afrika Selatan, Uruguai, Ghana, Denmark, Timor Leste, Amerika Serikat (AS) tulah yang sudah terlihat jelas, mewakili unsur benua sudah dalam tahapan kampanye, kemudian di setingkat parlemen, maupun lembaga lembaga lainnya bahkan lembaga agama sudah jelas.
"Watak kolonialisnya terhadap rakyat Papua berbagai peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan terus terjadi di Papua, hutan dan tanah-tanah adat dijadikan lahan jarahan bagi investasi perusahaan Multy National Coorporation (MNC) milik negara-negara Imperialis," paparnya
Maka itulah, sambung Frans Nawipa, bertepatan dengan momentum ke-46 Tahun Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Papua Barat, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menuntut dan mendesak Rezim Penguasa Republik Indonesia, Joko Widodo -JK dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk segera memberikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis bagi Rakyat Papua.
"Menutup dan menghentikan aktifitas eksploitasi semua perusahaan MNC milik negara-negara Imperialis ; Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo dan lain-lain dari seluruh Tanah Papua. Menarik Militer Indonesia (TNI-Polri) Organik dan Non Organik dari seluruh Tanah Papua untuk menghentikan segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan oleh negara Indonesia terhadap rakyat Papua," kemukanya.
Stop klaim Papua Bagian Dari NKRI, dan kemudian Indonesia, Amerika Serikat dan PBB segera akui Kedaulatan West Papua. Berbagai operasi militer dilancarkan oleh Indonesia untuk menumpas gerakan pro kemerdekaan rakyat Papua.
"Kami mengharapkan adanya demokratisasi di Papua," Imbuh Frans Nawipa.[Nicholas]

RADARINDONESIANEWS.COM


Benny Wenda : Indonesia kehilangan argumen politiknya di NZ

Mengenai tuduhan buronan yang dilemparkan oleh Dubes Indonesia kepadanya, Benny Wenda menegaskan pihak Interpol telah menghapus dirinya dari daftar Red Notice sejak tahun 2012. 

Benny Wenda mengibarkan bendera Bintang Kejora, bendera pembebasan West Papua - Dok. Jubi
Jayapura, Jubi – Benny Wenda, juru bicara United Liberation Movement for West Papua menganggap pernyataan Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia untuk New Zealand (NZ), Tantowi Yahya sebagai pernyataan yang menunjukkan Indonesia kehilangan argumen politik dalam kasus West Papua yang belakangan ini semakin sering dibicarakan di Pasifik maupun forum internasional lainnya.

“Indonesia kehilangan argumen politiknya di NZ dan kawasan Pasifik. Sebagai Dubes, Tantowi Yahya sedang kehilangan legal argument untuk mempertahankan West Papua dalam bingkai NKRI. Sehingga  Indonesia hanya bisa mencoba meyakinkan rakyat NZ dan Pasifik dengan mengunakan kata buronan. Ini cerita lama yang dimainkan lagi oleh Tantowi Yahya,” kata Benny Wenda kepada Jubi, melalui sambungan telepon, Kamis (29/7/2017).

Lanjut Benny Wenda, seakan Dubes Indonesia di NZ ini baru terbangun dari tidurnya sehingga terkaget-kaget melihat perkembangan di Pasifik, terutama di NZ. Ia mengatakan rakyat Pasifik dan NZ sudah mengetahui kebohongan Indonesia tentang Papua sejak lama. Kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan impunitas yang dimiliki TNI dan Polri yang selama ini diduga menjadi aktor utama pelanggaran HAM Papua menjadi sorotan publik NZ.

“Saya diberitahu oleh anggota parlemen NZ, bahwa satu minggu sebelum saya tiba Dubes Indonesia melobi pihak Auckland University agar saya tidak diijinkan bicara di universitas tersebut. Tapi NZ menganut demokrasi dan kebebasan kampus, sehingga saya tidak bisa dihentikan berbicara tentang perjuangan kemerdekaan West Papua dan pelanggaran HAM yang terjadi,” jelas Benny Wenda.

Mengenai tuduhan buronan yang dilemparkan oleh Dubes Indonesia kepadanya, Benny Wenda menegaskan pihak Interpol telah menghapus dirinya dari daftar Red Notice sejak tahun 2012.

“Saya mengingat dengan baik bagaimana pemerintah Indonesia berusaha membungkam kampanye pembebasan West Papua dengan menerbitkan Red Notice atas nama saya kepada Interpol pada tahun 2011. Pemberitahuan itu belakangan diabaikan Interpol karena mereka menganggap itu sangat politis. Kata buronan itu bermuatan politis untuk Indonesia. Argumen yang tidak berdasar. Sudah terbukti di pengadilan internasional,” ungkap Benny Wenda.

Pihak Indonesia berupaya memasukkan nama Benny Wenda dalam daftar International Arrest Warrant Interpol sejak tahun 2000, setelah Billy Wibisono, sekretaris bidang informasi dan sosial budaya Kedubes Indonesia di Inggris menuduh Benny Wenda dan beberapa rekannya terlibat dalam penyerangan pos polisi di Abepura pada tanggal 7 Desember 2000 yang menyebabkan beberapa orang tewas dan kerusakan di kantor polisi tersebut.

Tahun 2012, Komisi Pengawasan File Interpol (Commission for the Control of Interpol’s Files) mengirimkan surat kepada Fair Trials International, yang berkampanye untuk Benny Wenda. Isi surat tersebut antara lain mengatakan bahwa kasus Benny Wenda telah dihapus dari daftar buronan Interpol.

“Setelah kembali memeriksa semua informasi yang tersedia untuk itu … Komisi akhirnya menilai bahwa kasus terhadap klien Anda adalah masalah politik biasa,” kata surat dari Komisi Pengawasan File Interpol sebagaimana dilansir BBC.

Benny Wenda dalam kunjungannya ke NZ bulan Mei lalu menyempatkan dirinya berbicara dalam “public event” di beberapa kampus NZ. Dalam setiap kesempatan tersebut, Benny Wenda menyampaikan keinginan rakyat Papua untuk merdeka dan berdaulat sebagai negara sendiri, lepas dari Indonesia. Ia juga memaparkan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Papua sejak tahun 1960an.

Aktivitas Benny Wenda ini menyebabkan Dubes Indonesia untuk NZ, menyampaikan keprihatinan atas penggunaan beberapa kampus di NZ termasuk Victoria University of Wellington (VUW) oleh Benny Wenda. Bahkan saat bertemu dengan Rektor Victoria University of Wellington, Prof. Grant Guilford, Dubes Indonesia ini menyebut Benny Wenda sebagai buronan yang sebenarnya tidak berhak berbicara atas nama masyarakat Papua. Ia juga menuduh Benny Wenda menyampaikan kebohongan tentang Papua.

Namun Sesuai Undang-undang Pendidikan NZ, kampus tidak bisa melarang kebebasan civitas akademika universitas dalam menyampaikan pendapatnya (academic freedom).

Benny Wenda tidak hanya tinggal sejauh 9.000 mil dari Indonesia dan hidup dalam pengasingan di Inggris, tapi ia juga merupakan pemimpin gerakan kemerdekaan yang mencintai perdamaian. Sebagai nominator Nobel Perdamaian, selama ini ia selalu mengadvokasi solusi damai agar warga Papua dapat dengan tenang menjalankan hak dasar mereka untuk menentukan nasib sendiri melalui sebuah referendum kemerdekaan. (*)

 Jubi

‘Kami siap’: mengapa kemerdekaan Papua bukan sekadar mimpi

"Saya ingin melihat mereka tersenyum, menari, bermain musik dan menikmati hidup mereka. Itu tujuan saya. Saya ingin melihat masyarakat saya bersatu dengan keluarga-keluarga mereka di pengasingan. Saya ingin mereka melihat kelahiran sebuah negeri baru yang penuh cinta dan kebahagiaan. Saya ingin kami mendirikan pemerintahan yang baik yang menghormati hak-hak setiap manusia untuk hidup dan menikmati alamnya serta keindahan bumi ini. Saya ingin melihat West Papua sebagai sebuah burung cenderawasih yang terbang bebas," Benny Wenda.

Penangkapan dalam aksi KNPB mendukung ULMWP di MSG, di depan Universitas Cenderawasi Perumnas III, Waena, 2 Mei 2016 - Jubi/Zely Ariane

Bagaimana sebuah negara West Papua merdeka itu? Benny Wenda dan Rex Rumakiek, dua tokoh Papua Merdeka dari United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) memaparkan visi mereka mengenai sebuah negeri yang baru.

Benny Wenda (BW): Saya sudah terlibat berjuang sejakkecil. Saya lihat apa yang terjadi di kampung tempat saya tumbuh dewasa, dan sejak saat itu saya mendedikasikan hidup saya untuk berjuang demi kemerdekaan rakyat West Papua.

Rex Rumakiek (RR): Saya ini mantan gerilyawan. Ketika tiba di Australia, saya mendapatkan Master pada studi Politik dan Administrasi Publik, yang saat ini membantu kerja-kerja yang sedang kami lakukan ini.

Baca Selengkapnya di :  JUBI

Waspada, Papua Lepas Karena Freeport

(Ki-ka) Yusri Usman, Yuli Bintoro, Khomaidi Notonegoro
Sumber foto : Syamsul Bachtiar/TeropongSenayan
JAKARTA - Faktor geopolitik harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam menyikapi kisruh dengan perusahaan raksasa tambang asal Amerika Serikat yaitu Freeport.

Sebab, faktor tersebut bukan tidak mungkin bisa jadi pemantik adanya gejolak politik khususnya di Papua. Bisa saja kasus Timor Timur kini Timor Leste terulang kembali di Papua.

"Kita lihat siapa dibelakang Freeport, pasti AS. Geopolitik ini penting, jangan sampai seperti kasus Timor Leste lepas, apakah Indonesia sudah siap jika Papua lepas. Saya kira ini juga harus dipikirkan oleh pemerintah," kata Direktur eksekutif Reforminer Institute Khomaidi Notonegoro dalam diskusi bertema "Maju Terus Pantang Mundur, Implementasi UU Minerba untuk Kepentingan Bangsa dan Negara" di Jakarta Senin (13/03/2017).

Tak tertutup kemungkinan, lanjut Khomaidi, akar permasalahan ini bisa terkait dengan politik.

Oleh karena itu, kata dia, jangan sampai hal terburuk akan terjadi. Makanya kalkulasi harus matang.

"Meski ini masalah bisnis to bisnis (B to B), tapi kita harus siap. Karena ada berpengaruh pada penerimaan negara, APBN, ketenagakerjaaan dan lain-lainnya. Intinya, pemerintah harus bisa mengatur strategi. Kalau memang AS turun tangan, bisa juga bawa China dan Rusia sebagai tandingan," ujarnya.

Adapun terkait wacana konsorsium BUMN nantinya bisa ambil alih Freeport, kata dia, dirinya setuju menggunakan konsorsium BUMN, tapi tetap harus waspada dan hati-hati.

"Jangan tergesa-gesa ke arah itu. Karena saya khawatir nantinya ada korupsi," tandasnya.

Sementara itu Kasubdit Pelayanan Usaha Mineral Kementerian ESDM Yuli Bintoro menyambut baik gagasan konsorsium BUMN ambil alih Freeport meski harus dilakukan secera hati-hati.

Dia bahkan menyatakan tidak hanya untuk membangun smelter, konsorsium tersebut juga bisa membeli saham PT Freeport seiring dengan divestasi yang akan dilakukan nantinya.

Menurutnya, pada 2016 Kementerian BUMN pernah menyatakan akan membentuk konsorsium, akan tetapi hingga kini belum jelas kelanjutannya.

"Kami menyambut baik pembentukan konsorsium itu tidak saja untuk membangun smelter tapi juga untuk membeli saham divestasi Freeport," ujar Yuli.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman mengatakan sejauh ini PT Freeport tidak punya niat baik menyesuaikan dirinya dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia.

"Buktinya, hingga kini perusahaan asing tidak mau membangun smelter dengan alasan tidak cocok secara skala keekonomian," ungkap dia.

Menurut Yusri, konsorsium perusahaan BUMN tambang seperti PT Timah, PT Aneka Tambang dan PT Inalum seharusnya bisa secara bersama-sama membangun smelter tersebut dengan pola saling menguntungkan.

Dia menyebutkan dengan dimilikinya smelter oleh konsorsium tersebut akan ketahuan berapa sebenarnya nilai konsentrat yang selama ini diekspor langsung oleh Freeport.

"Selama ini Freeport menyembunyikan kandungan mineral dari konsentrat tersebut, namun berlindung dengan alasan membangun smelter tidak menguntungkan secara keekonomian," pungkasnya. (icl)


Editor : Redaktur | teropongsenayan.com



PNG Opposition Leader says that West Papuan calls for self-determination process cannot be ignored

Papua New Guinea’s Opposition Leader, Hon. Don Polye (From Radio New Zealand, supplied)
Papua New Guinea’s Opposition Leader Hon. Don Polye says that West Papuan calls for a legitimate self-determination process could no longer be ignored and that his country and Australia need to play a greater role in responding to human rights abuses in neighbouring West Papua.

Speaking just after thousands of West Papuan people rallied on Human Rights Day to call for a referendum on self-determination, Hon. Polye said the example of France in granting a self-determination referendum to its Melanesian territory of New Caledonia shows that the Papua question could be solved peacefully.

He said the problem had a set of direct consequences for PNG, yet its government continued to turn a blind eye to what was going on.

Radio New Zealand reports Hon. Polye as saying that basic human rights of West Papuans continue to be repressed by Indonesian authorities and security forces, requiring a more “honest” approach from neighbouring countries. A need for meaningful dialogue at both international and bilateral level, he said, also required leadership from the Melanesian Spearhead Group.

Mr Polye said recent remarks by Australia’s Foreign Minister Julie Bishop playing down reports of rights abuses in Papua were unfortunate.

“She said that there is not enough justification or evidence to show if there is any human rights abuse along the border between Papua New Guinea and Indonesia. I believe that Australia should assess the situation more closely, in partnership with Indonesia as well as with Papua New Guinea, to be honest about it and to look at the issues more carefully,” he said.

Growing momentum of support for West Papua from Papua New Guinea

Hon. Don Polye’s supportive statement comes amid a growing surge of support and Melanesian solidarity from across Papua New Guinea for their wantoks on the other side of the border in occupied West Papua.

On 1st December, the Free West Papua music collective Rize of the Morning Star released a breathtaking new music video, “Sorong Samarai” by PNG artists Airileke and Twintribe. The song calls for PNG and West Papua solidarity as ONE PEOPLE, ONE SOUL with ONE DESTINY. It’s having a profound impact across Papua New Guinea and heralds the strong, growing and unstoppable momentum from the young generation of Papua New Guinea and West Papua to actively campaign for a Free West Papua.

 nformation and the photo in this post come from an original article published by Radio New Zealand and freewestpapua.org

Pacific women call for investigation of women's rights in West Papua

Pacific women are calling for an independent mission to investigate violence against women in Indonesia's Papua region.

West Papuan human rights activist Rode Wanimbo address the 7th Pacific Women's Network Against Violence Against Women, while Bernadetha Mahuse looks on. Photo: Pacific Women's Network Against Violence Against Women
The call comes from the Pacific Women's Network Against Violence Against Women which represents policy makers and front line workers from 13 Pacific countries.

Representatives of women from West Papua attended the networks 7th meeting in Fiji last week and raised some critical issues and gaps in service delivery for victims of gender violence in West Papua.

West Papuan human rights activists Rode Wanimbo (centre with headdress), Bernadetha Mahuse (second from right) and Ivana Yohana (right) seen with Merilyn Tahi (left, Vanuatu), Shamima Ali (second from left, Fiji) and Ofa Likiliki (Tonga). Photo: Pacific Women's Network Against Violence Against Women
The director of Tonga's Women and Children Crisis Centre, Ofa Guttenbeil-Likiliki said the network stands in solidarity with women from West Papua.

"Members of the network in the outcomes resolution are calling for a fact-finding mission to be undertaken in West Papua to look into the status of women and girls and the impact of the conflict and political tensions on women and girls as a result, " said Ofa Guttenbeil-Likiliki.
radionz.co.nz


Rest in Peace Olga Hamadi, West Papuan Human Rights lawyer

Condolences to her family and friends 
---------
From Free West Papua Campaign Facebook page
https://www.facebook.com/freewestpapua/
from the  
Free West Papua Campaign Facebook  page
2 hrs ·  · World News · Politics
Rest in Peace Olga Hamadi, West Papuan Human Rights lawyer
We are truly sorry to learn of the tragic death of West Papuan human rights lawyer Olga Helena Hamadi who was always a strong advocate for justice in West Papua. Olga received the Lawyers for Lawyers Award and got an Honorable Mention. She was an extremely brave person who defended many West Papuans including political prisoner Filep Karma and she even received threats for investigating Indonesian police torturing West Papuans.
On behalf of the Free West Papua Campaign, we give our sincerest condolences to the friends and family of Olga Hamadi, a truly brave and strong person who devoted her life to her people's cause.
Rest in Peace Olga Helena Hamadi, we will always remember you and your incredible advocacy for your people. One day West Papua will finally be free at last.

KNPB Pakpak Rayakan Lebaran, Muslim Papua Dukung ULMWP

KNPB Pakpak Merayakan Hari Raya Lebaran bersama Umat Muslim Papua Pakpak yg berada di wilayah  Teluk Patipi sekaligus melakukan Aksi Dukungan kepada United Liberation Movement for West Papua masuk sebagai anggota penuh di Forum MSG. 

Hal ini membuat contoh agar BIN tidak melakukan provokasi kepada Muslim Papua bahwa perjuangan Papua ketika merdeka nanti di jadikan negara kristen oleh sebab itu Komite Nasional Papua Barat tetap mediasi umat Muslim Papua untuk terlibat dalam perjuangan Bangsa Papua salam 

# REVOLUSI,,,!!!
Kita Harus Mengakhiri!




Sumber : KNPBPakpaknews
Terimakasih atas kunjungan anda di www.FAK-FAK.com , Silahkan berbagi :
sumber: http://www.fak-fak.com/2016/07/knpb-pakpak-rayakan-lebaran-muslim.html?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook
 
Copyright © 2013. RASUDO FM DOGIYAI - All Rights Reserved

Distributed By Free Blogger Templates | Lyrics | Songs.pk | Download Ringtones | HD Wallpapers For Mobile

Proudly powered by Blogger