JAKARTA
- Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menggelar Peringatan 46 Tahun
Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat 1 Juli 1971 di Sekretariat AMP
bilangan Tebet, Jakarta Selatanm, Sabtu (1/7/2017).
RADARINDONESIANEWS.COM
OPM.[Dok/hanter] |
Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Jakarta, Frans Nawipa sebelum sesi
diskusi digelar mengatakan bahwa dirinya selaku bumiputera 'penduduk
asli' Papua menilai bahwa gejolak perlawanan rakyat Papua yang tidak
menghendaki kehadiran Indonesia di Papua, awalnya dimulai setelah
'aneksasi' wilayah Papua.
Bahkan, sambung Frans Nawipa yang akrab dengan panggilan James itu
mengemukakan, sejauh ini upaya pembungkaman ruang demokrasi acapkali
dilakukan aparat negara Indonesia dengan melarang kebebasan berekspresi
bagi rakyat Papua di depan umum, ditambah pula penangkapan disertai
penganiayaan aktivis-aktivis pro-kemerdekaan Papua.
"Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) oleh Indonesia tahun 1969 tidak
dilakukan sesuai prinsip prinsip Internasional, New York Agreement,
padahal telah jelas diatur dalam amanah Internasional. Namun tidak
disesuaikan dengan prinsip prinsip dan norma sebelumnya," ungkapnya.
Dalam proses pemilihan bebas, tambah James, semestinya satu (1) orang 1
suara, akan tetapi dalam Perpera 1969 pemilihan dengan sejumlah 1025
orang, dimana hanya 175 orang yang lakukan pemlihan.
Padahal, lanjut James, praktek tradisi dan praktek penjajahan telah
dilakukan semenjak itu, wilayah Papua dimasukan secara paksa lewat
manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) oleh Indonesia tahun 1969,
wilayah Papua dijadikan wilayah jajahan. Indonesia mulai memperketat
wilayah Papua dengan berbagai operasi sapu bersih terhadap gerakan
perlawanan rakyat Papua yang tidak menghendaki kehadiran Indonesia di
Papua.
Atas dasar inilah, jelasnya, pada tanggal 1 Juli 1971 bertempat di Desa
Waris, Numbay - Papua, dekat perbatasan PNG dikumandangkan Proklamasi
Kemerdekaan Papua Barat oleh Brigjend Zeth Jafet Rumkorem selaku
Presiden Papua Barat disebabkan karena berada dibawah bayang-bayang
teror dan operasi militer yang dilakukan oleh militer Indonesia di
Papua.
Brigjen Zeth Jafet Rumkorem, menurutnya merupakan tokoh adat dan politik
Papua yang medeklarasikan Papua Barat."Saat itu deklarasi sebagai
sebuah 'Bangsa'. Namun Papua, ditetapkan sesuai dengan konstitusi, lalu
kemudian dalam pilkada, dan bahkan dalam praktek pemekaran dan segala
bentuk macamnya," paparnya.
"Tahun 1971 merupakan tonggak dasar untuk membentuk sebuah bangsa. Namun
setelah terjadi rentetan peristiwa politik yang acap kali semacam
invasi militerisme di masa rezim Orde Baru konteksnya saat itu
masyarakat Papua masih selalu dalam bayang bayang terasingkan,"
tukasnya.
Pasca keruntuhan Soeharto, lanjutnya, masih berlangsung bentuk praktek
penjajah, bahkan oknum yang memang menyulutkan kekerasan terhadap
masyarakat, seperti rentetan peristiwa politik baik itu 'Biak Berdarah',
'Wasir Berdarah', ada indikasinya terkaitan dengan operasa mapenduma
dan segala macam kala itu.
Selaku ketua AMP yang juga seorang putera pribumi Papua asli Wamena itu,
James menilai, sejauh ini masih dalam perdebatan sengit polemik status
politik papua, dikarenakan bentuk kekerasan baik di tingkat pendidikan,
ekonomi, sosial tepatnya masih berlangsung.
"Sejumlah 16 negara yang ada di kawasan pasifik telah mendukung untuk
'penentuan nasib sendiri' Papua. Yakni Papua Niugini, Salomon Island,
Fanuato, Fiji, Neokolonia, Kanaki, Tongga, Tufalo, Kribati kemudian
negar\a negara kawasan Eropa untuk di tingkatan kampanye beberapa negara
sudah mengkampanyekan pula," tukasn James.
Selang delapan (8) tahun ini semenjak 2009, kata James, Inggris,
Belanda, Australia, NZ, Afrika Selatan, Uruguai, Ghana, Denmark, Timor
Leste, Amerika Serikat (AS) tulah yang sudah terlihat jelas, mewakili
unsur benua sudah dalam tahapan kampanye, kemudian di setingkat
parlemen, maupun lembaga lembaga lainnya bahkan lembaga agama sudah
jelas.
"Watak kolonialisnya terhadap rakyat Papua berbagai peristiwa kejahatan
terhadap kemanusiaan terus terjadi di Papua, hutan dan tanah-tanah adat
dijadikan lahan jarahan bagi investasi perusahaan Multy National
Coorporation (MNC) milik negara-negara Imperialis," paparnya
Maka itulah, sambung Frans Nawipa, bertepatan dengan momentum ke-46
Tahun Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Papua Barat, Aliansi Mahasiswa Papua
(AMP) menuntut dan mendesak Rezim Penguasa Republik Indonesia, Joko
Widodo -JK dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk segera memberikan
Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis
bagi Rakyat Papua.
"Menutup dan menghentikan aktifitas eksploitasi semua perusahaan MNC
milik negara-negara Imperialis ; Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco,
Corindo dan lain-lain dari seluruh Tanah Papua. Menarik Militer
Indonesia (TNI-Polri) Organik dan Non Organik dari seluruh Tanah Papua
untuk menghentikan segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan oleh
negara Indonesia terhadap rakyat Papua," kemukanya.
Stop klaim Papua Bagian Dari NKRI, dan kemudian Indonesia, Amerika
Serikat dan PBB segera akui Kedaulatan West Papua. Berbagai operasi
militer dilancarkan oleh Indonesia untuk menumpas gerakan pro
kemerdekaan rakyat Papua.
"Kami mengharapkan adanya demokratisasi di Papua," Imbuh Frans Nawipa.[Nicholas]
RADARINDONESIANEWS.COM
0 komentar:
Post a Comment