Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai |
JAKARTA, NNC - Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai menyatakan, jika Presiden Joko Widodo
(Jokowi) memiliki catatan kelam atau catatan buram sebagai seorang yang
dapat diindikasikan sebagai pelaku pelanggar HAM berat selama 3 tahun
kepemimpinannya.
Catatan buram inilah menurut Natalius yang dapat menjadi batu sandungan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 nanti.
Menurutnya, Jokowi terpilih sebagai Presiden karena
kapitalisasi dugaan pelanggaran HAM berat oleh Prabowo yang ditunjang
oleh media massa dan para aktivis HAM.
"Selain itu, persoalan HAM yang dirumuskan secara tegas
oleh Jokowi dalam butir cita-cita NAWACITA telah memberi harapan animo
massa untuk dongkrak elektabilitasnya," kata Natalius dalam keterangan
tertulis, Kamis (4/1/2018).
Dari semua pemberitaan terkait pelanggaran HAM, Prabowo
tersudut di 2014 karena memang memiliki catatan hasil penyelidikan
Komnas HAM meskipun belum pernah dinyatakan dalam putusan peradilan Hak
Asasi Manusia.
Sementara jika dilihat dari kebijakan dan tindakannya dalam
memimpin negeri ini selama 3 tahun, apakah Jokowi bisa diduga sebagai
pelaku pelanggar HAM jika dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM atau
penyelidik Internasional?
Berikut adalah sederet kasus pelanggaran yang secara
langsung maupun tidak langsung memiliki keterkaitan dengan Jokowi jika
dilihat dari perspektif hukum HAM:
1. Kasus Paniai tercatat sebagai kejahatan kemanusiaan
(gross violation of human right) termasuk dalam kategori pelanggaran
HAM berat yang berkasnya sedang diproses dan terhenti di Komnas HAM.
Kasus Paniai adalah salah satu hasil produk rezim kepemimpinan Joko
Widodo. Jokowi menitipkan peristiwa kelam baru bagi bangsa ini. Sebagai
kepala negara, Jokowi tidak bisa lepas tanggung jawab (commander
resposibilities). Bagaimana pun juga Jokowi menambah 1 berkas
pelanggaran HAM berat di Komnas HAM.
2. Adanya penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang,
penyiksaan/penganiayaan (torture) dan pembunuhan (kilings) terhadap
lebih dari 6 ribu orang Papua selama 3 tahun merupakan catatan negatif
rezim Jokowi. Jokowi tidak bisa menghindari sebagai kepala negara/kepala
pemerintahan sebagai penanggungjawab komando (commander
resposibilities).
3. Dugaan terjadinya genocida secara perlahan melalui berbagai kebijakan (slow motion genocide) di Papua berdasarkan hasil penyelidikan beberapa lembaga internasional, menguatkan dugaan Jokowi
sebagai kepala negara, dengan sadar atau sengaja (by commision)
melakukan pembiaran (by ommision).
Tindakan 1 dan 3 ini mengancam integritas nasional karena itu selain bertanggungjawab melalui proses penyelidikan, Jokowi harus bertanggungjawab juga secara politis dengan mengurungkan niatnya untuk maju sebagai capres di 2019.
4. Pernyataan Penolakan grasi dan eksekusi mati kasus
narkoba awal tahun 2015. Ini kasus paling serius dibanding eksekusi
tahap-tahap berikutnya. Jika dilakukan penyelidikan, Jokowi tidak hanya
diduga sebagai commander responsibilities tetapi juga pelaku (mens rea).
Harus bertanggungjawab melalui proses penyelidikan hukum HAM.
5. Pengekangan kebebasan sipil (civil liberties) dan hak
untuk menjalankan agama dan kepercayaan khususnya bagi umat Islam
melalui Perppu Ormas. Membiarkan adanya labilitas integrasi sosial dan
politik sejak Jokowi berkuasa merupakan perusakan terhadap tatanan dan
upaya destruktif terhadap pilar demokrasi, hak asasi dan perdamaian.
6. Ketidakmampuan melaksanakan proses penyelesaian
persoalan pelanggaran HAM berat oleh Jokowi bertentangan dan menunjukkan
inkonsistensi Jokowi terhadap cita-cita NAWACITA yang justru ditulis
dengan tangannya sendiri. Apabila sampai tahun 2019 Jokowi tidak bisa
melaksanakan NAWACITA, maka Jokowi telah melakukan kebohongan publik dan
harus dipertangungjawabkan. Penunjukan pejabat kabinet yang berindikasi
melanggar HAM adalah secara sadar menenggelamkan asa (ketajaman) untuk
menyelesaikan pelanggaran HAM. Disitulah Jokowi terlihat tidak memiliki
sensivitas kemanusiaan dan keadilan.
7. Belum adanya tindakan pengungkapan keberadaan Wiji Tukul
dan pengungkakan kasus Munir sesuai janji Jokowi dan ekspektasi
keluarga korban telah menjadi memori buruk (memoria passionis). Sangat
disayangkan bahwa selama kepemimpinan Jokowi, jangankan soal
penyelesaian, memulai proses saja sama sekali tidak ada.
Tujuh persoalan tersebutlah yang membingkai Jokowi berada
dalam pusaran pelanggaran HAM. Apalagi, dari ketujuh kasus itu, jika
dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM atau lembaga penyelidik
internaional, Jokowi patut diduga tidak hanya sebagai penanggungjawab
komando (commander resposibilities), tetapi pelaku (mens rea) sebagai
pelanggar HAM Berat.
Dengan demikian, pada tahun 2019, saya yakin persoalan HAM akan mengganjal karier politik Jokowi. Selain tidak mendapat dukungan dari keluarga korban, juga aktivis kemanusiaan, NGO kemanusiaan dan juga Komnas HAM, Jokowi juga tidak akan mendapat dukungan dan simpati internasional juga rakyat Indonesia.
Reporter : Wahyu Praditya Purnomo
0 komentar:
Post a Comment