Diterbitkan : 19 Maret 2012 - 3:51pm | Oleh Redaksi Indonesia (Foto: Tom Chandler)
Harian Belanda NRC Handelsblad
memberitakan hakim pengadilan Jayapura menjatuhkan vonis penjara kepada
lima warga Papua setelah mendeklarasikan kemerdekaan. Menurut pejabat
berwenang di Indonesia, hal ini adalah sebuah pengkhianatan kepada
negara. Lagipula, katanya, kebebasan berpendapat tidak bisa disamakan
dengan aksi separatis. Dalam sebuah putusan pengadilan di Jayapura, kelimanya dijatuhi hukuman 3 tahun penjara. Mereka menjadi minoritas di daerah mereka sendiri, tulis NRC Handelsblad.
Dalam aksi damai yang digelar oktober tahun lalu, 5.000 warga Papua berkumpul dan mendeklarasikan kemerdekaan mereka. Pihak militer dan kepolisian Indonesia pun turun tangan dalam aksi tersebut. Ratusan orang ditangkap dan jatuh korban tewas, yang juga diduga akibat ulah kepolisian.
Beberapa bulan terakhir, muncul pemberitaan dari para aktivis kemerdekaan Papua mengenai praktek kekerasan oleh pihak militer dan kepolisian di wilayah Paniai. Puluhan orang tewas, rumah-rumah dibakar hingga para penduduk berlarian ke hutan. Kebenaran berita ini masih simpang siur. Namun pemerintah Indonesia melarang wartawan asing, bahkan PMI juga dilarang beroperasi di Papua.
Merasa tertipu
NRC Handelsblad menulis, ketika Papua menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1969, banyak warga Papua merasa tertipu. Otonomi serta anggaran yang diberikan kepada Papua juga tidak merubah nasib warga lokal Papua.
Warga Papua mengkhawatirkan posisi mereka yang kian terancam menjadi “warga kelas bawah”. Kedatangan penduduk dari luar Papua dan rendahnya angka kelahiran semakin mengancam keberadaan warga lokal Papua. Mereka pun menginginkan referendum agar warga Papua dapat menentukan nasib mereka.
Dunia luar pun ikut prihatin atas nasib warga Papua. Presiden Obama dan Perdana Menteri Gillard juga memperdebatkan tindakan atas warga Papua. Namun tidak banyak hasilnya.
Meragukan
Tawaran dialog dari Presiden SBY juga tidak berguna. Dalam pekan yang sama setelah tawaran dilontarkan, tentara Indonesia justru beraksi di Paniai. Benny Wenda, pemimpin Kampanye Free West Papua, meragukan kesungguhan pemerintah Indonesia. Menurut Benny, tidak ada janji yang pernah dipenuhi, tulis NRC Handelsblad.
Masalah lainnya adalah perpecahan di antara warga Papua sendiri; Perang antar suku, kekerasan antar fraksi politik, dan perselisihan antar anggota OPM yang kerap menelan korban jiwa.
Hentikan kekerasan
Menurut Theo van den Broek, orang Belanda yang telah bertahun-tahun tinggal di Papua, tidak ada organisasi Papua yang mewakili seluruh warga Papua. Kebanyakan warga Papua sebenarnya justru menginginkan aksi damai tanpa kekerasan.
Menurut Sydney Jones dari International Crisis Group, dalam majalah Tempo mengatakan pemerintah Indonesia harus menghentikan penggunaan kekerasan dalam penanganan kasus Papua. Biarkan situasi politik mendingin dan buktikan kalau pemerintah Indonesia tidak hanya bisa bicara, tukas Jones. Demikian NRC Handelsblad.
0 komentar:
Post a Comment