West timur |
Kendati
sudah banyak pelaku-pelaku makar di negeri ini harus menjalani sebagian
masa hidupnya di bui, namun hal itu sepertinya tidak membuat kelompok
lainnya kapok. Lihatlah misalnya Forkorus Yaboisembut dan empat rekannya
yang baru dua pekan lalu divonis hukuman tiga tahun penjara oleh
Pengadilan Negeri Jayapura, Papua, karena mendeklarasikan ‘negara’
federasi republik Papua barat. Namun, kelompok lainnya
yang juga mencita-citakan Papua menjadi negara sendiri lepas dari NKRI,
seperti Buchtar Tabuni, Mako Tabuni, dan Pdt. Socratez Sofyan Yoman masih tetap beraktivitas bebas dengan demo-demo menuntut referendum.
Meniru Modus Papua
Model
penanganan yang terkesan tidak tegas seperti inilah (yang satu dihukum,
yang lainnya dibiarkan, padahal motivasinya sama) yang kemudian memicu
kelompok aktivis di Pulau Timor (Provinsi Nusa Tenggara Timur) meniru
modus aktivitas Papua merdeka.
Pada tanggal 27 Maret 2012 di Hotel Livero, Kefamenanu Kab. Timor Tengah Utara (TTU), Prov. NTT berlansung seminar sehari dengan tema “Peningkatan Nilai-Nilai Empat Pilar Kebangsaan Untuk Mempertahankan NKRI di Wilayah Perbatasan RI-RDTL”. Penyelenggara seminar itu adalah Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Kab. TTU, menghadirkan tiga orang pemateri, yaitu Asisten I Setda TTU Yohanes Bani, Komandan Distrik Militer 1618 TTU Letkol Arm Eusebio Hornai Rebelo dan Pater Paul Wain. Pesertanya adalah pengurus ormas-ormas dari wilayah itu. Salah seorang peserta yang berasal dari Himpunan Mahasiswa Belu mengatakan negara Timor Raya akan muncul kalau pemerintah pusat bersikap diskriminasi dalam hal perhatian, khususnya terhadap kaum minoritas (agama). Selain itu menurutnya pembangunan hanya di daerah Jawa sedangkan untuk Indonesia Timur sering diabaikan.
Kilas Balik
Wacana
‘Negara’ Timor Raya (NTR) memang tidak ujug-ujug muncul. Pertama kali
istilah ‘Negara Timor Raya’ muncul ke permukaan sekitar tahun 2001.
Ketika itu di wilayah Timor bagian Barat (dari Kab. Belu sampai Kupang)
dipenuhi puluhan ribu pengungsi dari Timor Leste sebagai dampak dari
kekalahan Indonesia dalam referendum di Timor Timur tanggal 30 Agustus
1999.
Kelompok
pengungsi (tokoh warga Timor Timur) yang kecewa atas hasil referendum
yang katanya penuh dengan rekayasa pihak Australia itu, kemudian
memunculkan gagasan untuk mendirikan NTR di wilayah Timor bagian barat. Basis
perjuangan mereka adalah di wilayah Betun, Kecamatan Malaka Barat
(selatan kabupaten Belu) dan di wilayah Kab. TTU. Dikhabarkan bahwa
mereka berhasil mempengaruhi tokoh-tokoh masyarakat adat (para Sonaf) di
Kab. Belu dan TTU serta TTS untuk mendukung berdirinya NTR tersebut.
Tahun
2006, isu NTR kembali muncul ke permukaan atas dasar laporan Ketua DPRD
Kab. TTU kepada DPRD NTT bahwa di wilayah TTU ada aktivitas sekelompok
tokoh eks Timtim dan para Sonaf di wilayah itu untuk membentuk NTR.
Pius
Rengka (Anggota DPRD NTT saat itu) kemudian mendesak aparat keamanan
dan Pemprov NTT untuk segera menyikapi laporan tersebut. Danrem
Wirasakti/Kupang Kol. Moesanip (waktu itu) mengatakan pihaknya juga
mencium fenomena itu. Jika para penggagasnya mendeklarasikan NTR maka
mereka akan berhadapan dengan TNI. Demikian sikap tegas Moesanip.
Invasi atau Makar
Istilah Timor Raya merujuk pada konsep pulau Timor yang bersatu, meliputi Timor Timur bekas jajahan Portugis dan Timor Barat bekas jajahan Belanda. Kemudian
diberi imbuhan ‘negara’ untuk menunjukan upaya (wacana) menggabungkan
Timor Barat ke Timur Timur menjadi satu wadah negara merdeka. Hal itu
jelas tidak mungkin mengingat Timor Timur sudah menjadi
sebuah negara (Timor Leste) yang berdaulat dengan batas-batas yang
sudah jelas dan tegas. Jika Timor Leste ingin memperluas wilayahnya
meliputi seluruh Pulau Timor, itu berarti Timor Leste melakukan invasi ke Negara Indonesia.
Sebaliknya
kalau Timor bagian barat ingin menggabungkan diri ke Timor Leste, maka
para penggagasnya maupun pelaku-pelakunya akan bernasib sama dengan
Forkorus Yaboisembut dkk, karena tindakan itu jelas-jelas bertentangan
dengan hukum positif Indonesia, alias MAKAR. Namun sejauh ini aparat
keamanan di NTT belum mengambil sikap terkait wacana tersebut.
Dandim 1618
TTU Letkol Arm Eusebio Hornai Rebelo mengatakan, hal tersebut hanya isu
yang berkembang sedangkan gerakannya sampai sejauh ini tidak ada. Sikap yang sama juga pernah ditunjukkan oleh Polda NTT tahun 2002. Saat itu sebanyak 11 aktifvis LSM di Kupang sempat diinterogasi terkait isu NTR yang dimunculkan dalam sebuah diskusi di Kota Kupang.
Tetapi polisi kemudian menyimpulkan bahwa isu yang diangkat oleh para
aktivis tersebut hanya sebatas wacana dalam rangka meminta perhatian
pemerintah pusat untuk membangun NTT secara lebih serius.
.kompasiana.com
0 komentar:
Post a Comment