Ilustrasi |
Hal ini disampaikan oleh Phil Lynch, Direktur Eksekutif Human Rights Law Centre, Australia, kepada media massa melalui surat elektronik (03/04). Menurut Lynch, sudah semestinya Carr melanjutkan apa yang sudah dilakukan mantan menteri luar negeri Gareth Evans, yakni menganggap pengeluaran modal politik, keuangan dan manusia pada konteks hak asasi manusia di luar Australia adalah investasi, bukan kerugian. Untuk itu, Carr harus bisa menjadi seorang "aktivis" mentri luar negeri sekaligus menjalankan politik luar negeri yang "realis".
"Carr harus berkomitmen kuat untuk penegakan HAM yang didukung oleh kebijakan hak asasi manusia yang komprehensif seperti yang dikembangkan oleh Belanda dan Swedia. Ini bisa mengidentifikasi area di mana Australia bisa memberikan kontribusi internasional secara khusus, seperti dalam bisnis dan hak asasi manusia, pemberdayaan perempuan dan anak perempuan serta memerangi diskriminasi berdasarkan orientasi seksual atau identitas gender." kata Lynch.
Tak seperti pendahulunya, Kevin Rudd, Carr perlu berkomitmen dengan prinsip-prinsip universalitas hak asasi manusia dan non-selektivitas. Misalnya, sebagai mentri luar negeri, ia harus mendorong penanganan yang serius untuk mengakhiri pelanggaran HAM Sipil Politik yang mendasar di Papua Barat seperti juga yang dilakukan dunia internasional terhadap Libya dan Suriah.
Bisnis Australia di luar negeri juga harus diperhatikan oleh Carr. Carr diminta untuk menempatkan penilaian HAM sebagai komponen inti terhadap bisnis Australia di luar negeri. Penilaian HAM seperti ini, menurut Lynch, akan meningkatkan dampak transparansi tentang kerjasama Australia dan Indonesia dalam pelatihan pasukan khusus Indonesia, Kopassus dan dan Detasemen 88. Keduanya, Kopassus dan Detasemen 88 diduga kuat telah terlibat dalam pelanggaran HAM yang sedang berlangsung di Papua Barat. Kopassus bahkan diyakini secara luas bertanggung jawab atas pelanggaran berat hak asasi manusia di Timor Timur. (Jubi/Victor Mambor)
tabloidjubi.com
0 komentar:
Post a Comment