Orang asli Papua bebas merdeka menjadi otopi bersama
pemerintah Indonesia. Otopi bebas menjadi nyata melalui tindakan
pemerintah yang selalu mencurigai, menyerang, mengadili, memenjarakan
dan membunuh orang asli Papua yang berusaha mengekspresikan
kebebasannnya secara damai.
Pemerintah mencurigai rencana pelaksanaan Kongres Rakyat Papua III (16-19/10/2011). Sikap curiga itu menutup pintu-pintu gedung publik di atas tanah Papua. Rakyat Papua tersingkir ke lapangan Zakeus untuk mengekspresikan kebebasannya, kemerdekaannya dalam demokrasi Indonesia.
Rakyat yang tersingkir dari ruang demokrasi itu masih dicurigai. Curiga mengejar rakyat Papua ke Lapangan Zakeus. Ruang bebas milik orang Papua, yang tidak dibangun dan tidak diperuntunkan dari Tuhan untuk pemerintah Indonesia itu dikepung dan diserang, Rabu (19/10/2011).
Penyerangan ini mengorbankan sejumlah orang. Demianus Daniel Kadepa, Yakobus Samonsabra, dan Max Asa Yeuw tewas. Puluhan orang mengalami luka-luka fisik dan luka batin. Peristiwa ini menjadi pengalaman dan trauma kolektif yang tidak bisa dihindari dan disembunyikan. Orang Papua pasti merasa pemerintah Indonesia ada bukan untuk melindunginya melainkan menghancurkannya. Rakyat Papua pasti menilai aparat keamanan itu musuh bukan pelindung dan pengayom rakyat.
Peristiwa ini juga membuktikan pemerintah Indonesia tidak menyediakan ruang ekpresi kebebasan bagi bangsa Papua. Pemerintah hanya hadir di atas tanah Papua untuk membunuh dan merebut wilayah kaya raya ini. Pemerintah Indonesia tidak membutuhkan manusia Papua daripada wilayah dan alamnya. Kerena itu, para pelaku pembunuh manusia itu disanjung-sanjung bak pahlawan. Mereka menjadi pahlawan mempertahankan perjuangan merebut tanah kaya raya ini. Para pahlawan barbar itu hanya diberi surat teguran saja. Surat terguran karena dianggap melakukan pelanggaran disiplin saja.
Surat teguran ini mengabaikan pelanggaran terhadap hak hidup, hak berekspresi dan hak menikmati hidup aman dan damai orang Papua. Pemerintahpun menganggap perbuatan barbar itu benar, termasuk tindakan menahan, menginterogasi, menyeret dan mengadili rakyat Papua yang menjadi korban. Pemerintah telah mengadili rakyat Papua dengan mengadili Ketua dewan Adat Papua, Forkorus Yaboisembut Cs.
Pengadilan dengan tipu muslihatnya, membuktikan Fokorus Cs melakukan tindakan makar. Kata makar dari Bahasa Belanda anslak atau Attack bahasa Inggris yang artinya menyerang. Kata menyerang itu ditafsirkan menjatuhkan wilayah negara ke tangan orang asing saja. Penafsiran itu belum terbukti kecuali penyerangan terhadap rakyat Papua yang sedang mengekspresikan kebebasannya dilapangan Zakeus.
Penafsiran hukum yang demikian sangat sepihak. Pengadilan hanya menafsirkan arti hukumnya saja daripada makna mendasar dari kata makar. Makna fundamentalnya diabaikan daripada makna yang lahir dari kepentingan penguasa untuk membentengi diri. Penafsiran yang sepihak ini membuktikan pemerintah membuat hukum tidak untuk menjaga keutuhan maunusia. Pemerintah membuat hukum untuk memelihara egonya, nafsu menguasai dan merebut hak orang lain dengan cara-cara yang merendahkan dan mengorbankan martabat manusia.
Kata Nagueb Kaelani dalam Novel “Meretas Kebebasan,” : Hukum, egoisme dan kekuasaan membidik, mereduksi nurani dan kehormatan manusia. Sangat terbukti bahwa ego pemerintah telah melahirkan hukum makar. Hukum makar yang lahir dari ego itu dipergunakan untuk merendahkan martabat orang Papua. Hukum makar itu dipergunakan untuk mereduksi nurani orang Papua. Nurani orang Papua dipersalahkan dengan hukum makar.
Nurani dan martabat hakim yang menegakan hukum pun direduksi. Nuraninya untuk mengatakan yang benar direduksi dengan hukum dan tekanan. Ia menjadi tidak manusiawi terhadap sesamanya. Ia hanya bertindak atas nama hukum untuk meloloskan pelaku kejahatan dari jeratan hukum. Kita bisa mengatakan ini mungkin tujuan dari hukum pemerintah Indonesia. Pemerintah berhasil mengurung korban namun penjahat dibiarkan berkeliaran di alam bebas. Ia bertindak bak tuan tanah, memiliki kuasa, bisa menentukan hidup atau mati seseorang.
Penjahat itu mengatakan apa saja yang ia mau katakan dan mau lakukan terhadap orang Papua. Pemerintah mengatakan orang asing, omong-omong belaka ketika orang Papua menyoal hak kesulungan, hak milik atas tanah dan penentuan hak politik di negerinya. Contoh kongritnya kata-kata hakim dalam sidang Forkorus Cs. “Mereka omong-omong saja,”kata Jaksa Jack Johannis Oktavianus, SH. MH, Hakim Anggota, Willem Marco Erari, SH. Syors Mambrasar, SH. I Ketut Suarta, SH. dan Orpa Marthina, SH saat membacakan tangapan jaksa atas keterangan sanksi dipengadilan negeri Jayapura. (2/2)
Anehnya, Fokorus Cs yang omong-omong saja itu diseret ke pengadilan. Pemenjaraan terhadap yang omong-omong saja ini kiranya menjadi kelemahan hukum Indonesia, ketikdakmampuan penegak hukum Indonesia untuk menegaskan mana yang adil dan tidak adil serta mana yang benar dan salah. Indonesia bisa mengadili orang yang tidak bersalah tetapi tidak mampu mengadili orang barbar. Ia tidak mampu melindungi orang benar tetapi mampu melindungi orang salah.
Selain itu, dengan memenjarakan ketua dewan Adat Papua, Ondoafi Sabron, Fokorus Yaboisembut, pemerintah memenjarakan rakyat Papua. Pemerintah memenjarakan kemerdekaan rakyat Papua. Pemerintah memenjarakan demokrasi yang katanya sedang dibangun di negara ini. Dengan demikian, kebebasan, demokrasi dan kemerdekaan pemerintah Indonesia hanyalah khayalan. Orang Papua berusaha mewujudkan mimpi kemerdekaan bersama pemerintah Indonesia yang tidak pernah ada.
Apakah kita terus berkhayal kemerdekaan yang tidak nyata itu dengan pemerintah Indonesia di atas tanah Papua? Kita harap itu bukan mimpi saja. Kita harap suatu saat pemerintah Indonesia membuktikan kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Kemerdekaan mesti menjadi nyata agar kemerdekaan itu bukan mimpi dan pertumpahan darah yang lebih banyak dapat dihindari.
(Benny Mawel, Wartawan tabloidjubi.com)
Pemerintah mencurigai rencana pelaksanaan Kongres Rakyat Papua III (16-19/10/2011). Sikap curiga itu menutup pintu-pintu gedung publik di atas tanah Papua. Rakyat Papua tersingkir ke lapangan Zakeus untuk mengekspresikan kebebasannya, kemerdekaannya dalam demokrasi Indonesia.
Rakyat yang tersingkir dari ruang demokrasi itu masih dicurigai. Curiga mengejar rakyat Papua ke Lapangan Zakeus. Ruang bebas milik orang Papua, yang tidak dibangun dan tidak diperuntunkan dari Tuhan untuk pemerintah Indonesia itu dikepung dan diserang, Rabu (19/10/2011).
Penyerangan ini mengorbankan sejumlah orang. Demianus Daniel Kadepa, Yakobus Samonsabra, dan Max Asa Yeuw tewas. Puluhan orang mengalami luka-luka fisik dan luka batin. Peristiwa ini menjadi pengalaman dan trauma kolektif yang tidak bisa dihindari dan disembunyikan. Orang Papua pasti merasa pemerintah Indonesia ada bukan untuk melindunginya melainkan menghancurkannya. Rakyat Papua pasti menilai aparat keamanan itu musuh bukan pelindung dan pengayom rakyat.
Peristiwa ini juga membuktikan pemerintah Indonesia tidak menyediakan ruang ekpresi kebebasan bagi bangsa Papua. Pemerintah hanya hadir di atas tanah Papua untuk membunuh dan merebut wilayah kaya raya ini. Pemerintah Indonesia tidak membutuhkan manusia Papua daripada wilayah dan alamnya. Kerena itu, para pelaku pembunuh manusia itu disanjung-sanjung bak pahlawan. Mereka menjadi pahlawan mempertahankan perjuangan merebut tanah kaya raya ini. Para pahlawan barbar itu hanya diberi surat teguran saja. Surat terguran karena dianggap melakukan pelanggaran disiplin saja.
Surat teguran ini mengabaikan pelanggaran terhadap hak hidup, hak berekspresi dan hak menikmati hidup aman dan damai orang Papua. Pemerintahpun menganggap perbuatan barbar itu benar, termasuk tindakan menahan, menginterogasi, menyeret dan mengadili rakyat Papua yang menjadi korban. Pemerintah telah mengadili rakyat Papua dengan mengadili Ketua dewan Adat Papua, Forkorus Yaboisembut Cs.
Pengadilan dengan tipu muslihatnya, membuktikan Fokorus Cs melakukan tindakan makar. Kata makar dari Bahasa Belanda anslak atau Attack bahasa Inggris yang artinya menyerang. Kata menyerang itu ditafsirkan menjatuhkan wilayah negara ke tangan orang asing saja. Penafsiran itu belum terbukti kecuali penyerangan terhadap rakyat Papua yang sedang mengekspresikan kebebasannya dilapangan Zakeus.
Penafsiran hukum yang demikian sangat sepihak. Pengadilan hanya menafsirkan arti hukumnya saja daripada makna mendasar dari kata makar. Makna fundamentalnya diabaikan daripada makna yang lahir dari kepentingan penguasa untuk membentengi diri. Penafsiran yang sepihak ini membuktikan pemerintah membuat hukum tidak untuk menjaga keutuhan maunusia. Pemerintah membuat hukum untuk memelihara egonya, nafsu menguasai dan merebut hak orang lain dengan cara-cara yang merendahkan dan mengorbankan martabat manusia.
Kata Nagueb Kaelani dalam Novel “Meretas Kebebasan,” : Hukum, egoisme dan kekuasaan membidik, mereduksi nurani dan kehormatan manusia. Sangat terbukti bahwa ego pemerintah telah melahirkan hukum makar. Hukum makar yang lahir dari ego itu dipergunakan untuk merendahkan martabat orang Papua. Hukum makar itu dipergunakan untuk mereduksi nurani orang Papua. Nurani orang Papua dipersalahkan dengan hukum makar.
Nurani dan martabat hakim yang menegakan hukum pun direduksi. Nuraninya untuk mengatakan yang benar direduksi dengan hukum dan tekanan. Ia menjadi tidak manusiawi terhadap sesamanya. Ia hanya bertindak atas nama hukum untuk meloloskan pelaku kejahatan dari jeratan hukum. Kita bisa mengatakan ini mungkin tujuan dari hukum pemerintah Indonesia. Pemerintah berhasil mengurung korban namun penjahat dibiarkan berkeliaran di alam bebas. Ia bertindak bak tuan tanah, memiliki kuasa, bisa menentukan hidup atau mati seseorang.
Penjahat itu mengatakan apa saja yang ia mau katakan dan mau lakukan terhadap orang Papua. Pemerintah mengatakan orang asing, omong-omong belaka ketika orang Papua menyoal hak kesulungan, hak milik atas tanah dan penentuan hak politik di negerinya. Contoh kongritnya kata-kata hakim dalam sidang Forkorus Cs. “Mereka omong-omong saja,”kata Jaksa Jack Johannis Oktavianus, SH. MH, Hakim Anggota, Willem Marco Erari, SH. Syors Mambrasar, SH. I Ketut Suarta, SH. dan Orpa Marthina, SH saat membacakan tangapan jaksa atas keterangan sanksi dipengadilan negeri Jayapura. (2/2)
Anehnya, Fokorus Cs yang omong-omong saja itu diseret ke pengadilan. Pemenjaraan terhadap yang omong-omong saja ini kiranya menjadi kelemahan hukum Indonesia, ketikdakmampuan penegak hukum Indonesia untuk menegaskan mana yang adil dan tidak adil serta mana yang benar dan salah. Indonesia bisa mengadili orang yang tidak bersalah tetapi tidak mampu mengadili orang barbar. Ia tidak mampu melindungi orang benar tetapi mampu melindungi orang salah.
Selain itu, dengan memenjarakan ketua dewan Adat Papua, Ondoafi Sabron, Fokorus Yaboisembut, pemerintah memenjarakan rakyat Papua. Pemerintah memenjarakan kemerdekaan rakyat Papua. Pemerintah memenjarakan demokrasi yang katanya sedang dibangun di negara ini. Dengan demikian, kebebasan, demokrasi dan kemerdekaan pemerintah Indonesia hanyalah khayalan. Orang Papua berusaha mewujudkan mimpi kemerdekaan bersama pemerintah Indonesia yang tidak pernah ada.
Apakah kita terus berkhayal kemerdekaan yang tidak nyata itu dengan pemerintah Indonesia di atas tanah Papua? Kita harap itu bukan mimpi saja. Kita harap suatu saat pemerintah Indonesia membuktikan kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Kemerdekaan mesti menjadi nyata agar kemerdekaan itu bukan mimpi dan pertumpahan darah yang lebih banyak dapat dihindari.
(Benny Mawel, Wartawan tabloidjubi.com)
0 komentar:
Post a Comment