YOGYAKARTA - Ribuan warga dari berbagai elemen dan
sejumlah artis serta politisi nasional tumplek blek mengikuti Kirab
Budaya Mubeng (mengeliling) Beteng Keraton Yogyakarta, Minggu 22 April
2012. Kirab digelar sebagai puncak peringatan Satu Abad Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat ke-256.
Kirab digelar mulai pukul 15.00 WIB dan dibuka
perwakilan kerabat Keraton Yogyakarta GBPH Prabukusumo dan KPH
Tjondrokusumo dari Puro Pakualaman itu. Para peserta kirab berjalan
secara beriringan dari Alun-alun Utara - Jalan Trikora - Titik Nol -
Jalan KH Ahmad Dahlan - Jl KH Wahid Hasyim - Pojok Beteng Kulon - Pojok
Beteng Wetan - Jalan Brigjend Katamso- Jalan P Senopati - Titik Nol –
dan kembali lagi ke Alun-Alun Utara.
Kirab itu sendiri berjalan meriah dengan adanya
iring-iringan dua gajah dari Kebun Binatang Gembira Loka. Saat dua
gadjah besar itu mulai berjalan sontak sejumlah pengunjung yang semua
meraspat menutupi jalan kirab menyingkir karena khawatir tertabrak
binatang besar yang dipandu sejumlah pawang itu.
Tak hanya itu, dalam kirab yang menempuh jarak
sekitar empat kilometer itu, juga ada tiga gerobag sapi besar yang
ditampilkan Komunitas Omah Tani Sleman. Gerobak sapi yang dibawa
bukanlah gerobak sapi berukuran sedang atau biasa yang terlihat namun
gerobag sapi se-ukuran truk tronton yang selama ini sudah sangat sulit
dijumpai di pedesaan. Dinding-dinding gerobag itu dipenuhi dengan
gambar-gambar HB IX
Suasana Alun-alun utara sore itu sendiri sangat riuh
dengan tak henti-hentinya tetabuhan perkusi yang terus dimainkan dari
empat kelompok marching band yakni UGM, UPN Veteran, UII dan UMY.
Suasana menjadi semakin semarak tatkala perwakilan komunitas mahasiswa
Papua, Kalimantan Timur , dan Jawa Barat menampilkan gerak tari di
sepanjang perjalanan.
Salah satu tokoh Ikatan Pelajar-Mahasiswa Papua
(IPMA-PAPUA) DI Yogyakarta Louis Nenepat menuturkan pihaknya merasa
perlu turut serta bersama masyarakat DI Yogyakarta mengenang se-abad HB
IX dan berdirinya keraton Yogyakarta itu karena selama ini Yogyakarta
telah menunjukkan bisa menjadi rumah kedua bagi mahasiswa dari berbagai
daerah.
“Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Di
sini, Sultan adalah Raja dan pemimpin kami juga, jadi bukan hanya milik
orang Yogya, ini juga pesta kami,” kata Louis kepada Tempo. Sepanjang
kirab, tak kurang 20 mahasiswa Papua yang mengenakan pakaian adat
‘cawat’ membawa tifa dan tabura dan terus menari.
Yang cukup menarik juga, untuk pertama kalinya dalam
kirab tersebut juga diarak bendera merah putih dengan panjang sekitar
66 meter. Bendera tersebut lantas dibentangkan untuk melilit benteng
keraton Yogyakarta. “Sebagai symbol bahwa Yogyakarta ikut serta dalam
melahirkan Republik,” kata Sekretaris Panitia Pahargyan Pengetan 1 Abad
HB IX Widihasto W Putra.
Sementara GBPH Prabukusmo menuturkan apresiasi
masyarakat dalam kirab ini menjadi penanda Yogyakarta masih menjadi
symbol keragamana dan rumah bagi segala elemen masyarakat.
Iring-iringan semakin meriah tatakala sejumlah klub
sepeda onthel seperti Kodja, Podjok, PORY, Pit Dhuwur dan Komunitas
Sepeda Jogja Istimewa terus membunyikan lonceng bel mereka yang dipadu
dengan pekik nyanyian jawa para srikandi yang mengendarai kuda-kuda
keraton. Pada deretan tengah ratusan bregodo (prajurit) keraton yang
berasal dari bebragai kampung seperti bregodo Astana Luhur Mataram
Kuthogede, bregodo Banguntopo, bregodo Forcib, bregodo Wiro Bekel,
bregodo Mertikarto, bregodo Garda Songsong Buwono membawa tombak dan
pakaian abdi dalem.
TEMPO.CO
0 komentar:
Post a Comment