Setiap suku bangsa pasti memiliki kebudayaan dan
adat istiadatnya masing-masing. Mulai dari upacara adat, kepercayaan,
makanan, dan juga pakaian. Di Papua yang terkenal dengan budayanya yang
sangat eksotis, pakaian khasnya merupakan salah satu hal yang unik untuk diceritakan, khususnya yaitu Koteka.
Malam itu saya sedang berbincang-bincang dengan
Bapak Natalis Dabi, salah satu warga dari fam Dabi yang sudah dekat
dengan Guide kami. Dari perbincangan itu iseng-iseng saya menanyakan
tentang pakaian khas mereka yang sering digunakan oleh sebagian
laki-laki Papua yaitu Koteka. Beliau sedikit menjelaskan tentang apa itu
koteka, bagaimana membuatnya, dan sedikit sejarah tentang
perkembangannya di Indonesia.
Koteka adalah pakaian untuk menutup kemaluan
laki-laki, dipakai oleh sebagian dari lelaki Papua yang umumnya berdiam
di pegunungan. Hingga kini, pakaian “minim” ini masih digunakan oleh
sebagian dari mereka untuk menutup kemaluannya. Koteka terbuat dari
kulit labu air, isi dan biji labu tua dikeluarkan lalu kulitnya dijemur.
Menurut Pak Nato (panggilan Pak Natalis), secara harfiah koteka
bermakna “pakaian”, kata ini berasal dari bahasa salah satu suku Papua
di daerah Nabire yaitu suku Paniai. Namun di daerah wamena sini
orang-orang menyebutnya dengan “Horim” atau “Holim”. Untuk ukuran dan
bentuk pun beda-beda, perbedaan ini berhubungan dengan jenis acara atau
kegiatan yang dilakukan. Contohnya, koteka berukuran panjang digunakan
untuk upacara adat, atau jika terjadi perang suku, dan biasanya sudah
diberi hiasan atau ukiran terlebih dahulu. Untuk koteka ukuran pendek
digunakan untuk kegiatan sehari-hari misal pada saat bekerja di hutan
atau di ladang. Bentuk koteka pun bermacam-macam, ada yang bulat dan ada
yang lonjong, ada juga yang berbentuk seperti huruf L. Suku Yali,
misalnya, lebih menyukai bentuk labu yang panjang.
Sedikit sejarah tentang perkembangan koteka. Pada
tahun 1950-an, banyak misionaris yang mengkampanyekan untuk menggunakan
celana pendek sebagai pengganti koteka. Namun ini bukan main sulitnya
karena pemakaian koteka sudah menjadi tradisi suku setempat. Tapi ada
juga yang kadang-kadang memakai celana, namun masih tetap menggunakan
koteka. Pada tahun 1960-an, Pemerintah RI pun berupaya untuk mengurangi
pemakaian koteka ini, pada saat kepemimpinan Gubernur Frans Kaisiepo
pada tahun 1964 digelarlah kampanye antikoteka. Namun memang jika sudah
mendarah daging tradisi ini sulit untuk ditinggalkan. Pernah juga pada
tahun 1971, Pemerintah menggelar operasi yang dinamakan “Operasi
Koteka”, yaitu dengan membagi-bagikan pakaian kepada penduduk dengan
melemparnya melalui pesawat ke daerah-daerah pegunungan Papua. Namun
karena penduduk tidak mengenal sabun, akhirnya pakaian itu tidak pernah
dicuci dan akhirnya para warga malah terserang penyakit kulit.
Seiring waktu, koteka saat ini kurang populer untuk
dipakai sehari-hari. Di kota Wamena saja saya jarang sekali melihat ada
orang yang memakainya. Saat ini ada larangan memakai koteka di
kendaraan umum, sekolah, atau jika ingin ke gereja. Namun di kawasan
pegunungan, masih banyak para pria yang memakainya. Tapi hati-hati jika
ingin berfoto dengan mereka, sekali anda mengambil gambar mereka, tanpa
sungkan-sungkan mereka akan menarik bayaran dan kita harus siap merogoh
beberapa puluh ribu rupiah.
Meski saat ini koteka sudah jarang yang memakai,
saya yakin di dalam hati para lelaki Papua mereka tetap menghargai
koteka sebagai warisan budaya nenek moyang. Saat ini, koteka lebih
banyak ditemukan tergantung di toko-toko suvenir. Jika anda ingin
membelinya, tidak perlu menjadikannya sebagai pakaian untuk dipakai,
namun bisa sebagai tanda mata bahwa anda pernah berkunjung ke daerah
Papua.
0 komentar:
Post a Comment