Kunjungan Menlu Australia ke Indonesia menindaklanjuti pertemuan dua tahunan, dua pemimpin Indonesia dan Australia. Komisi I menghargai dan mengapresiasi respon yang cepat dari Menlu Australia ke Jakarta dan tadi kita mendiskusikan beberapa hasil-hasil pembicaraan antara Presiden SBY dengan PM Australia.
"Ada beberapa isu yang tadi kita konfirmasi lagi, pertama soal sikap Australia terhadap masalah Papua dengan perkembangan terkini," kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddik usai pertemuan yang berlangsung di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (16/7/2012) ini.
"Tadi Menlu Australia menegaskan, dia sudah bicara ke publik dan parlemen Australia, karena ada Partai Hijau yang masih nyaring soal Papua, bahwa Australia committed terhadap Lombok threaty yaitu menghormati kedaulatan Indonesia termasuk terhadap persoalan Papua, tidak akan intervensi dan tidak akan menjadikan isu Papua menjadi isu yang transaksional," sambungnya.
Komisi I juga menegaskan lagi bahwa masih berkembang pandangan yang mengkhawatirkan peningkatan kerjasama Australia dengan Amerika Serikat di bidang militer dengan penempatan pasukan Marinir Amerika di Australia. Komisi I menegaskan bahwa Indonesia menghormati hak Australia dan Amerika yang memang beraliansi untuk melakukan peningkatan kerjasama militer, tetapi itu sudah cukup menganggu stabilitas di kawasan.
Selain dua isu di atas, pertemuan itu juga membahas hibah pesawat Hercules dari Australia ke Indonesia. Komisi I DPR menilai, biaya untuk mendatangkan pesawat tersebut cukup mahal.
"Pertemuan itu juga membahas hibah Hercules Australia. Yang berdasar informasi yang kita terima, itu membutuhkan biaya sekitar US$ 60 juta. Ada informasi, biaya itu terlalu tinggi untuk retrofit, pengiriman plus suku cadang," terangnya.
Memang sampai sekarang, menurut Mahfudz, Komisi I belum mendapatkan penjelasan dari Kemhan mengenai kontrak hibah tersebut dan berapa besaran biayanya dan untuk item apa saja. Tetapi dengan US$ 60 juta itu, Komisi I menganggap itu terlalu tinggi. Dan anggaran sebesar itu sebenarnya bisa digunakan untuk membeli beberapa Hercules yang baru.
"Tetapi tadi dari Menlu dan Dubes Australia mengatakan, bahwa semua itu tergantung pada kontrak yang disepakati kedua belah pihak dan mereka mengatakan pihak Kemhan yang lebih paham untuk menjelaskan hal itu," terang politisi PKS ini.
Komisi I belum duduk bersama Kemhan, karena tahun lalu Komisi I sudah pernah membahas bersama Kemhan di anggaran 2011 mengenai anggaran hibah empat Hercules. Hal itu, dijelaskan Mahfudz, sudah ada pembahasan dan sudah disepakati, tetapi waktu itu Kemhan menyatakan ditunda hibah ini.
"Lalu anggaran hibah itu direalokasi untuk retrofit dan perawatan Hercules yang ada. Jadi anggaran 2011 dan 2012 itu, anggaran yang sudah direalokasi. Jadi untuk yang hibah 6 Hercules dari Australia, ini belum ada anggarannya," papar Mahfudz.
"Oleh karena itu Komisi I menunggu usulan baru dari Kemhan mengenai sumber pembiayaan dari hibah ini. Ini yang akan kita tanyakan, kenapa lebih besar, seperti apa kontraknya. Dan kedua Komisi I meminta Kemhan untuk segera mengajukan inisiatif baru untuk anggaran hibah Hercules ini. Kalau tidak dari mana sumber uangnya," sambungnya.
Kalau itu diambil dari anggaran 2012, Mahfudz melanjutkan, itu bisa terjadi penyalahgunaan anggaran, karena realokasi tanpa pembahasan dengan DPR. Ini baru MoU dan kontraknya belum berjalan. Komisi I baru mau melihat seperti apa kontraknya.
"Setelah kontrak, baru pembiayaan. Paling tidak akhir tahun ini rencana pengirimannya. Ini juga menjadi pertanyaan apakah ini akan dianggarkan di 2013, tapi yang kita dengar ini didorong pengirimannya akhir 2012," jelas Mahfudz.
"Tapi saya mendapat informasi kemarin, bahwa ada pejabat Kemhan yang mengatakan bahwa anggaran itu masih ada karena belum pernah di realokasi. Saya katakan tidak," imbuhnya.
Pertemuan itu juga membicarakan lanjutan mengenai kerjasama Indonesia Australia di bidang ekonomi perdagangan. Dia menyampaikan bahwa sampai tahun ini posisi hubungan perdagangan Australia dengan negara-negara ASEAN, Indonesia di urutan ke empat dengan total volume perdagangan sekitar US$ 5 milyar.
"Kita surplus, tapi dibanding Singapura jauh. Singapura itu total volume perdagangannya US$ 12 milyar. Tadi kita berharap, kalau memang betul-betul gagasan strategic partnership Indonesia - Australia mau dibangun betul, mestinya posisi Indonesia ini lebih tinggi dari posisi sekarang. Kita ini dibawa Malaysia, Thailand dan Singapura," pungkasnya.
0 komentar:
Post a Comment