JANJI
pemerintah pusat untuk memberikan tunjangan khusus kepada para guru
yang mengajar di daerah perbatasan, pedalaman, atau pun daerah
tertinggal, ternyata hanya hisapan jempol belaka.
Susana Mofu adalah seorang guru yang mengajar di Papua ini hanya dibayar dengan upah yang besarannya sangat minim dan tidak layak. Kendati demikian, Susana pun tetap semangat untuk mengajar karena memang berniat untuk memajukan pendidikan di wilayah perbatasan.
Susana Mofu, adalah wanita berusia 34 tahun yang hidup di wilayah perbatasan dan pedalaman Biak, Papua. Susana—begitu dirinya akrab disapa, juga merupakan seorang janda beranak satu yang sudah selama tujuh tahun ini mengabdikan dirinya sebagai guru honorer di SD Inpres Sumberker, Biak, Papua.
Meskipun dirinya telah lama mengajar di wilayah perbatasan, namun nampaknya kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah setempat. Buktinya, dirinya hanya menerima upah sebesar Rp 500 ribu untuk 6 bulan.
“Sejak awal saya mengajar di sekolah tersebut dan sudah mengalami tiga kali pergantian kepala sekolah, saya hanya dibayar sebesar Rp 500 ribu untuk 6 bulan, dan terkadang untuk 3 bulan,” ungkap Susana kepada JPNN ketika ditemui di dalam acara silaturahmi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dengan 21 Guru Perbatasan Terpilih di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Jakarta, Senin (9/7).
Susana mengakui, besaran gaji yang diterimanya kerap kali tidak cukup untuk membiayai hidupnya maupun anak semata wayangnya. Hasilnya, dia pun harus meminta bantuan kepada kedua orang tuanya yang merupakan pensiunan guru.
“Habisnya mau bagaimana lagi? Kalau tidak minta bantuan orang tua, saya tidak mampu untuk menghidupi anak saya,” serunya.
Namun begitu, Susana hingga saat ini tidak pernah mengeluh kepada pimpinan sekolah tempat ia mengajar. Ia pun selalu menerima berapa pun besaran gaji yang dibayarkan kepada dirinya mengingat ia menyadari bahwa dirinya hanyalah seorang guru berstatus guru honorer.
“Saya terima saja berapa pun upah yang dibayarkan kepada saya. Lagipula saya hanya seorang guru honorer yang memang cukup rendah gajinya,” katanya.
Susana bercerita, setiap hari harus menempuh jarak 3 kilometer dari tempat tinggalnya menuju sekolah dengan menggunakan ojek motor dengan biaya Rp 10 ribu untuk pulang pergi. Sehingga, gajinya ludes hanya untuk biaya transportasi, tak dua bulan.
“Saya tidak menyesal. Kalau bukan saya, siapa yang bisa mengajari anak-anak di daerah saya? Saya punya ilmu, lulusan S1, tapi jika ilmu saya tidak ditransferkan kepada anak-anak, mau diapakan? Maka itu, saya ikhlas. Niat saya memang untuk mengajarkan anak-anak di daerah saya,” paparnya.
Susana yang baru saja memperoleh gelar S1-nya dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Biak pada tahun 2011 lalu, memang terlihat sangat sederhana. Dia mengatakan, sejak masih kuliah ia pun sudah mengajar di sekolah dasar tersebut. Yakni hanya dengan mengandalkan surat rekomendasi dari kampusnya. “Kalau tidak begitu, saya tidak bisa mengajar. Cita-cita saya memang ingin menjadi guru,” tukasnya.
Bagaimana dengan kondisi anak-anak di Biak ? Susana sembari duduk dan menikmati hidanganya menceritakan, anak-anak di Biak, Papua sangat antusias dan sangat rajin untuk pergi ke sekolah. Hanya saja, ketika sampai di sekolah terkadang hanya untuk bermain dan tidak mau untuk belajar di kelas.
“Saya anggap itu adalah tantangan untuk saya sebagai seorang guru. Yang utama, saya harus bersabar dan bisa memotivasi anak-anak. Saya selalu bertanya kepada mereka tentang cita-citanya. Setelah mereka menyebutkan cita-citanya, saya selalu bilang, kalian harus belajar untuk bisa menjadi seseorang yang kalian cita-citakan. Itu saja. Setelah itu, mereka menurut, mau untuk belajar,” papar Susana.
Dalam sehari, Susana harus mengajar selama 4,5 jam. Dengan begitu, tentu dia sudah memenuhi syarat mengiktui sertifikasi guru, yang mewajibkan guru harus mengajar 24 jam dalam seminggu.
Untuk kondisi sekolah SD Inpres Sumberker, menurutnya sangat layak dan bagus. Sekolah tersebut memiliki 13 orang guru, dan terdiri dari 7 rombongan belajar (rombel), dimana masing-masing kelasnya terdiri dari 32 anak. “Seharusnya ada 6 kelas. Tetapi, kelas 2 itu ada kelas paralel (dua rombel). Misalnya, kelas 2A dan 2B,” jelasnya.
Tapi yang dikeluhkan hingga saat ini, ternyata bukanlah menunut kenaikan gaji, tetapi Susana justru meminta kepada pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat untuk membangun perpustakaan di sekolah tempatnya mengajar. Selama 7 tahun mengajar, sekolah itu tidak pernah memiliki perpustakaan. Terlebih, selama ini yang memiliki buku pelajaran adalah para guru.
“Anak-anak didik saya tidak punya buku. Buku dari mana? Tidak pernah ada kiriman buku pelajaran untuk anak-anak di sekolah saya. Jadi, yang pegang buku hanya guru, yang kemudian dibacakan atau didikte kemudian anak-anak mencatatnya,” keluhnya.
Menurutnya, hanya itu yang ia harapkan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah jika memang pemerintah peduli akan nasib pendidikan di wilayah perbatasan. “Puji Tuhan, mulai awal tahun 2012 kemarin, saya memang sudah mendapatkan gaji Rp 3 juta untuk 3 bulan. Maka itu, saya hanya meminta buku untuk anak-anak didik saya supaya mereka bisa belajar dengan lebih baik,” imbuhnya.
Susana juga merasa sangat bangga bisa terpilih untuk berangkat ke Jakarta bersama 20 guru lainnya dari wilayah perbatasan, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kegiatannya selama di Jakarta, adalah mengunjungi beberapa tempat mulai dari museum, mendapatkan pembekalan materi ajar, hingga berkunjung ke Garuda Indonesia Training Center (GITC). Dalam penyelenggaraan acara ini, pemerintah memang bekerjasama dengan pihak maskapai Garuda Indonesia.
“Saya tentu senang bisa bertemu dengan Pak Menteri dan juga dengan para guru perbatasan lainnya. Kita bisa saling bertukar pikiran dalam hal cara belajar mengajar di sekolah,” terang Susana.
(NICHA RATNASARI – JPNN)
0 komentar:
Post a Comment