Oleh: Muhammad Hamzah Hasballah - 30/07/2012 - 15:14 WIB
PETRUS REFFASIE MIKE tampak bersemangat. Meski seorang diri, ia terus bertepuk tangan, tanpa ada dukungan. Ketika jeda diskusi, ia segera berpendapat. “Baru kali ini ada diskusi yang berbicara jujur sekali tentang bangsa Papua,” ujarnya, disambut tepuk tangan peserta lain. Beberapa orang terlihat mengangguk setuju.
Baca Selengkapnya acehkita.com
PETRUS REFFASIE MIKE tampak bersemangat. Meski seorang diri, ia terus bertepuk tangan, tanpa ada dukungan. Ketika jeda diskusi, ia segera berpendapat. “Baru kali ini ada diskusi yang berbicara jujur sekali tentang bangsa Papua,” ujarnya, disambut tepuk tangan peserta lain. Beberapa orang terlihat mengangguk setuju.
Menanggapi perihal konflik Papua, nada suaranya tiba-tiba meninggi.
“Sebetulnya, ada hal mendasar sebuah akar persoalan yang terjadi antara
Papua dan Indonesia. Indonesia ini berasal dari bangsa Melayu, sedangkan
kami adalah bangsa Melanesia,” ujarnya berapi-api.
Raut wajah Petrus bertambah tegang. Ia bangun dari duduknya dan
melihat ke semua peserta diskusi. “Yang perlu diketahui, sejak TNI
dikirimkan tahun 1961 ke Papua, bukan Belanda yang dibunuh, tapi kami
orang Papua,” ujarnya bergetar.
Petrus, memberi nilai A plus atas pelanggaran HAM yang dilakukan
aparat keamanan Indonesia di tanah Papua. Ibarat sebuah cerita,
cenderawasih dicengkeram garuda di sarangnya sendiri.
Adegan itu bukanlah debat kusir, melainkan sebuah dialog nasional
bertajuk “Membingkai Kebhinnekaan Kekitaan di Ufuk Timur”. Diskusi ini
membedah pemikiran Viktor Kaisiepo Msn, tokoh Papua. Semua pemikiran
itu, tertuang dalam buku yang dicatat orang Belanda, Willem
Campschreuer. Oleh mahasiswa Psikologi Fakultas Humaniora, Bina
Nusantara (Binus) University, buku tersebut dibedah Selasa, pertengahan
Juli lalu.
0 komentar:
Post a Comment