Home » » Konflik Papua; Sebuah Opini

Konflik Papua; Sebuah Opini

Salah satu Teori Konflik yang terkenal adalah yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engles dalam Communist Manifesto (1848). Dalam konsep Economic Made of Production Mereka berdua mengganggap bahwa proses yang terpenting dalam masyarakat adalah terjadinya pertentangan klas (class struggle). Dalam pengertian sederhana bahwa dalam kelas struktur sosial masyarakat, ada kelas penguasa dan ada kelas yang dikuasai. Sehingga dalam system tersebut, kelas penguasa selalu memaksakan system dan nilai yang harus dianut oleh masyarakat adalah system dan nilai atau norma serta aturan dari kelompok-kelompok penguasa atau kelompok dominan yang dipaksakan kepada masyarakat yang dianggap dikuasai.

Hal yang sama juga terjadi di Indonesia dimana konflik yang terjadi adalah sebagian besar karena ketimpangan ekonomi, antara penguasa dengan kaum pekerja, buruh tani, nelayan, buruh pabrik, pedagang pasar tradisonal yang bila dimasukan dalam teori konflik Karl Marx adalah sebagai masyarakat yang dikuasai. Hal ini juga terjadi dengan masyarakat Papua yang dianggap sebagai masyarakat yang dikuasai oleh para penguasa negara.

Secarah harafiah konflik dan Kekerasan yang terjadi Papua ditandai dengan penyerahan Papua ke dalam tangan PBB pada tahun 1963 sambil menunggu Penentuan Pendapat Rakyat dilaksanakan oleh PBB tahun 1969. Ketidakpuasan Kelompok-kelompok masyarakat di Papua terhadap keberadaan TNI yang memang sejak masuknya tahun 1963 sudah melakukan tindakan kekerasan terhadap masyarakat Papua, hingga akhirnya TNI mendapatkan perlawanan pertamanya dari masyarakat yang menamakan dirinya Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada tahun 1965, yaitu dengan diserangnya markas TNI di Arfai - Manokawri sekarang ibukota Propinsi Papua Barat. Sejak saat itu, konflik terus terjadi antara masyarakat Sipil dan Militer terus terjadi hingga kini.

Papua adalah surga dunia, dengan begitu banyaknya kekayaan alam mulai dari emas yang di kelola PT. Freeport dengan penghasilan hampir 600 Trilyun per tahun, tembaga. gas di bintuni yang di kelola oleh British Petrolium, minyak bumi, hasil laut, hasil hutan serta lahan tidur yang di gunakan pemerintah untuk program pertanian skala internasional seperti Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke yang mengambil “paksa” lahan masyarakat asli seluas 1 juta ha. Dari semua itu, pertanyaannya adalah dimanakah posisi masyarakat asli Papua, apakah sebagai penguasa karena memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah, tentu realitasnya dapat kita lihat bahwa masyarakat Papua tetap menjadi masyarakat yang dipaksakan harus mengikuti aturan, norma, nilai dari masyarakat yang dikategorika sebagai penguasa dalam hal ini adalah para penyelenggara negara di Jakarta.

Dalam bulan Juni 2012 yang telah lalu, terjadi sekitar 4 sampai 5 penembakan di Papua yang belakangan ini dikatakan oleh Polda Papua bahwa otak dibelakang semua pembunuhan tersebut dilakukan oleh almarhum Mako Tabuni yang adalah wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang memang paling keras menentang dan menuntut kemerdekaan penuh terhadap Negara Papua Barat yang menurut sejarah sejak tahun 1961 telah menyatakan kemerdekaannya secara De Facto. Situasi tersebut tentunya menimbulkan ketidaknyamanan dalam masyarakat, apalagi Papua sedang mempersiapkan diri menyongsong pemilihan gubernur periode 2012 - 2017 dalam waktu dekat.

Tidak kalah menarik, tetapi seolah dilupakan oleh publik soal konflik dan tarik ulur yang terjadi sekitar mekanisme pemilihan gubernur di Papua. Berdasarkan UU No.32/2004 bahwa pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh masyarakat, sekalian menggantikan system pemilihan kepala daerah di Indonesia yang dilaksanakan berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 yang dipilih oleh DPRD. Belakangan ada beberapa calon Gubernur Papua dari kader partai politik yang menginginkan agar pemilihan gubernur di kembalikan ke UU.No.22 Tahun 1999, yang mana gubernur di pilih oleh DPRD. Sekali lagi Jakarta membiarkan konflik ini terus terjadi, atau memang bahwa konflik dan pembunuhan yang terjadi di Papua selama bulan Juni 2012 lalu hingga saat ini adalah sebuah langka pengkondisian situasi untuk mendukung calon gubernur dari mesin partai politik tertentu agar terpilih melalui mekanisme pemilihan UU. No.22 Tahun 1999 sehingga situasi ketidaknyamanan di tengah masyarakat terus diciptakan untuk menjadi alasan bahwa pemilihan secara langsung memang tidak dapat dilakukan karena alasan situasi dan kondisi yang tidak kondusif.

Dengan Demikian pemaksaan nilai dan aturan tersebut, kelompok dominan mempertahankan struktur sosial yang menguntungkan kelompoknya. Pemegang Kekuasaan menolak anggapan bahwa masyarakat Papua ada dalam situasi stabil dan tidak berubah. Sebaliknya masyarakat Papua selalu dilihat dalam suatu kondisi tidak seimbang atau tidak adil dan keadilan atau keseimbangan dapat dicapai dengan penggunaan kekuatan. Yang bila diasumsikan terdapat tiga asumsi dasar yang menjadi panduan konflik yaitu bahwa setiap orang mempunyai kepentingan yang sering berbeda bahkan bertentangan dengan orang atau kelompok lain didalam suatu masyarakat, yang kedua adalah sekelompok orang mempunyai kekuatan yang lebih dibandingkan kelompok-kelompok lainnya, dan terakhir adalah bahwa kepentingan dan penggunaan kekuatan untuk mencapai kepentingan tersebut dilegitimasi dengan sistem ide dan nilai-nilai yang disebut ideologi. Dari ketiga asumsi dasar tersebut, sudah jelas bahwa terlalu banyak kepentingan di Papua yang memang sengaja membiarkan semua konflik itu terjadi.

Share this video :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2013. RASUDO FM DOGIYAI - All Rights Reserved

Distributed By Free Blogger Templates | Lyrics | Songs.pk | Download Ringtones | HD Wallpapers For Mobile

Proudly powered by Blogger