ANAK SD YANG DI TEMBAK OLEH POLISI DIPANIAI |
Peristiwa
pertama; Penggeledahan di rumah pribadi Bpk Irenius Adii (Kepala Badan Keuangan
Pemda Paniai) di kampung Udaugida, distrik Tigi Timur – Deiyai pada kamis, 09
agustus 2012 oleh sekelompok orang tak dikenal (OTK) dengan mengendarai
kendaraan bermotor. Para pelaku yang bertopeng tersebut menodong keluarga dalam
rumah dengan pistol, lalu mengumpulkan pengalas lantai “tikar” dan membakarnya.
Akibatnya, keluarga yang sedang duduk dalam rumah menjerit ketakutan dan semua
yang dialas dilantai hangus terbakar.
Peristiwa kedua; Pada kamis, 16 agustus 2012, pukul 19.00 wit
terjadi penembakan di Obano, distrik Paniai Barat oleh orang tak dikenal (OTK)
yang menewaskan seorang pedagang (Mustafa, 22 thn) dan 2 orang lainnya (Ahyar,
25 thn dan Basri, 22 thn) luka-luka. Akibatnya para pedagang non pribumi merasa
tidak nyaman dan masyarakat Obano pada umumnya resah.
Peristiwa ketiga; Pembacokan 4 orang karyawan PT Dewa yang
ber-camp di Gedeitaka Watiyai, distrik Tigi Timur - Deiyai oleh orang tak
dikenal (OTK) pada minggu, 19 agustus 2012 malam. Akibatnya 2 orang karyawan
langsung mati ditempat (Selsius Mamahi, 30 thn dan Henokh, 33 thn) dan 2 orang
lainnya (Simson Atto, 37 thn dan Youke Patee, 38 thn) luka-luka. Perbuatan
tidak manusiawi ini menyebabkan keresahan bagi masyarakat dibeberapa kampung
disekitarnya.
Peristiwa keempat; Penembakan di Ujung Bandara Enarotali oleh
orang tak dikenal (OTK) pada Selasa, 21 agustus 2012 lalu yang menewaskan
Brigadir Polisi Yohan Kisiwaitoi, anggota Polres Paniai. Akhirnya aparat
keamanan menembak puluhan peluru sebagai bentuk pelampiasan emosi mereka dan
melakukan tindak sewenang-wenang yang bersasaran pada masyarakat sipil.
Masyarakat semakin takut dan terpaksa melarikan diri ke rumah masing-masing dan
para pedagangpun segera menutup kiosnya masing-masing.
Rangkaian peristiwa yang berpuncak pada tewasnya seorang
anggota polisi tersebut menyebabkan macetnya seluruh aktivitas masyarakat di
Kota Enarotali, Madi dan sekitarnya. Kantor-kantor di Madi (ibu kota kabupaten
Paniai) dan Kota Enarotali tutup. Proses belajar mengajar di sekolah-sekolah
macet “tidak berjalan”. Kendaraan umum baik taksi maupun ojek termasuk
kendaraan pribadi dan dinas dari kota Enarotali ke semua jalur macet total.
Sementara itu, pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Paniai pun
tidak berjalan akibat para perawat dan pasien-pasien dipulangkan dengan paksa
oleh aparat keamanan. Selain itu, masyarakat tidak bisa bepergian ke kebun.
Mencari kayu bakar di hutan dan mencari ikan di danau dan kali bukan juga
menjadi kebutuhan. Singkatnya masyarakat takut beraktivitas diluar rumah
apalagi suasana ini terus diwarnai dengan bunyi-bunyi tembakan. Dalam suasana
ini, masyarakat memilih lebih baik tinggal diam dalam rumah. Inilah situasi
yang tercipta yang dialami oleh semua masyarakat di kota Enarotali, Madi (ibu
kota Kabupaten Paniai) dan sekitarnya di Paniai.
Terciptanya situasi ini menyebabkan lumpuhnya seluruh
aktivitas masyarakat dan pelayanan publik. Peristiwa keempat tersebut telah
mengakibatkan korban materi, korban fisik maupun psikologis. Misalnya 3 rumah
dibakar, 1 rumah dirusak, 7 speed boat dirusak dan 1 buah sepeda motor.
Sementara itu, 3 warga diantaranya orang gila yang tidak ada
kaitan dengan peristiwa yang terjadi ditangkap dan dipukul polisi lalu
dilepaskan. Selain itu, 19 warga ditangkap dijalan raya dan di rumah mereka
masing-masing ketika mereka sedang duduk bersama keluarganya. Diantaranya ada
beberapa yang hanya diperiksa lalu dibebaskan, tetapi adapula yang dipukul
hingga dibebaskan dalam kondisi muka penuh luka berlumur darah. Hal ini bukan
hanya bersasaran pada orang-orang yang dicurigai, tetapi juga dialami oleh
warga masyarakat yang tidak tahu menahu dengan persoalan tersebut termasuk
orang gila, beberapa orang yang berstatus pegawai negeri sipil yang bekerja di
Pemda Paniai.
Situasi yang tercipta ini sungguh-sungguh sangat menarik
perhatian semua pihak terutama bagi yang peduli dengan soal-soal kemanusiaan.
Oleh karena itulah, kiranya kita perlu kritisi bersama atas situasi ini.
Pertama; siapa atau kelompok mana sebenarnya yang sedang bermain dibalik semua
aksi di Paniai? Apakah benar kelompoknya Jhon Yogi, cs yang melakukan
serangkaian aksi di Paniai sebagaimana yang dimuat dibeberapa media nasional?
Barangkali disini perlu ada pembuktian berdasarkan fakta dilapangan yakni
keterangan dari saksi mata dan olah TKP yang biasanya yang dilakukan oleh
aparat keamanan (polisi) apalagi peristiwa keempat ini persis terjadi ditengah
kota dan terjadi ditempat ramai, yakni di pelabuhan danau yang biasanya orang
selalu ada. Juga peristiwa tersebut terjadi pada pagi hari (pukul 09.30 wit).
Kedua; apa persoalan utamanya sehingga orang “pelaku” memilih mengambil
tindakan tersebut sekalipun mengorbankan nyawa orang lain? Apakah persoalan yang
berkaitan dengan keinginan merdeka? Apakah persoalan karena belum adanya lahan
bisnis? Apakah persoalan ingin balas dendam menjelang peringatan 17 agustus?
Ataukah karena persoalan hak ulayat? Ketiga; dengan siapakah persoalan tersebut
dipermasalahkan? Siapakah sasaran sebenarnya dalam persoalan tersebut? Namun,
dalam konflik antara aparat keamanan dengan TPN-OPM biasanya yang menjadi
sasaran korban ialah masyarakat sipil atau orang-orang yang sebenarnya tidak
tahu menahu dengan persoalan. Benarkah merekalah yang hendaknya menjadi sasaran
utama dalam persoalan demikian? Disini kiranya orang harus membedakan siapa
kawan dan siapa lawan dalam persoalan. Lantas, keempat; apakah orang entah
siapapun dan darimanapun baik atas nama pribadi maupun kelompok haruskah
mengedepankan kekerasan sebagai pendekatan yang terbaik dalam menghadapi
persoalan? Apakah tidak ada jalan lain selain menempuh dengan jalan kekerasan?
Namun, dalam situasi demikian dimana muncul konflik antara aparat keamanan
dengan TPN OPM biasanya yang menjadi korban ialah masyarakat sipil atau
orang-orang yang sebenarnya tidak tahu menahu dengan persoalan.
Bertitik tolak dari situasi yang tercipta pasca penembakan
pada selasa 21 agustus 2012 tersebut, kamipun kiranya menggaris bawahi
pengalaman penderitaan masyarakat Paniai yang dialami bertahun-tahun hingga
kini. Bahwa masyarakat Paniai masih terus hidup dalam situasi tak menentu sejak
daerah ini dianggap daerah operasi militer (DOM) hingga tahun 2002. Selama itu,
masyarakat Paniai sungguh sangat menderita selama aparat keamanan beroperasi
dengan dalil mengejar alm Bpk Tadius Yogi cs selaku Pimpinan TPN OPM Paniai.
Demikian pula, peristiwa penyerangan markas TPN-OPM di Eduda oleh Densus 88
pada oktober 2011 lalu yang menyebabkan masyarakat terpaksa mengungsi
besar-besaran selama berbulan-bulan meninggalkan kampung halaman. Akibatnya
tidak sedikit korban materi milik masyarakat dan nyawa manusia menjadi korban
sesaat.
Dalam suasana ketakutan warga akan adanya penyerangan balik
oleh TPN-OPM terhadap TNI/POLRI masih menjadi kekuatiran masyarakat tersebut,
kini masyarakat dikagetkan dengan rangkaian aksi. Rangkaian aksi yang terjadi
belakangan ini menyadarkan masyarakat akan ingatan peristiwa masa lalu.
Akhirnya suasana hati dan pikiran masyarakat kembali diwarnai dengan kekuatiran
dan ketakutan. Orang merasa tidak bebas beraktivitas ketika mendengar informasi
akan adanya penambahan pasukan di Paniai. Masyarakat cemas ketika mendengar
aparat keamanan akan mengambil langkah untuk mengejar kelompoknya Jhon Yogi,
cs. Lantaran, apakah yang akan terjadi jikalau pasukan bergerak mengejar
kelompok Jhon Yogi, cs? Ini selalu menjadi pergumulan masyarakat di Paniai
dalam benak pikirannya.
Menyadari akan pengalaman hidup masyarakat Paniai selama ini
yang membuat masyarakat terus hidup dalam rasa tauma dengan peristiwa masa
lalu. Demikian pula, situasi yang tercipta ditengah masyarakat Paniai saat ini
yang masih diwarnai dengan keresahan, maka beberapa hal perlu disimak bagi
semua pihak terutama para pengambil kebijakan di negara Republik Indonesia
sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia termasuk kita
di Tanah Papua.
Pertama; Masyarakat Paniai pada umumnya hingga kini masih
trauma dengan pengalaman masa lalu dan rangkaian aksi akhir-akhir ini justru
membuat masyarakat bertambah panik dan takut beraktivitas bebas. Oleh karena
itu, penambahan pasukan di Paniai sebagaimana yang diungkapkan Kepala Bidang
Humas Polda Papua Komisaris Besar Polisi Johannes Nugroho Wicaksono, pada kamis
(23/8/2012) sebaiknya ditinjau kembali. Hal ini disebabkan karena kehadiran
pasukan di Paniai justru akan menimbulkan ketakutan warga masyarakat apalagi
kehadiran pendatang (kaum laki-laki) tanpa pekerjaan yang jelas di Paniai
seringkali muncul image negatif “curiga” dari masyarakat pribumi terhadap
mereka.
Kedua; Pengejaran terhadap kelompoknya Jhon Yogi, cs
sebagaimana yang diungkapkan Menkopolhukam, Djoko Suyanto pada kamis
(23/8/2012) di Jakarta hendaknya perlu diklarifikasi terlebih dahulu; siapa
yang menjadi sasaran utama dalam pengejaran dimaksud. Hal ini kami katakan
demikian karena pengalaman membuktikan bahwa aparat keamanan biasanya tidak
membedakan siapa sebenarnya yang menjadi sasaran dan dimana sasaran utama
keberadaan orang yang dikejar. Akibatnya masyarakat sipil yang sedang
beraktivitaslah yang menjadi korban. Aparat keamanan (polisi) hendaknya
menjadikan praduga tak bersalah menjadi perhatian utama dalam situasi demikian
dan tidak menggunakan kekerasan. Hal ini penting agar warga masyarakat yang tak
bersalah atau yang tidak ada kaitan dengan persoalan, tidak terus menjadi
korban.
Ketiga; Korban kekerasan selama ini baik korban jiwa, korban
penganiayaan, korban materi berupa apa saja akibat perbuatan orang-orang yang
tidak bertanggungjawab belakangan ini sungguh sangat disesalkan, karena tidak
seorangpun diberi kewenangan untuk mencabut nyawa atau mengambil hak milik
orang lain. Perbuatan ini merupakan tindakan kejahatan yang semestinya
diberantas atau dihilangkan semua pihak. Di era demokrasi ini, orang harus
meninggalkan kekerasan karena tidak ada satu pasal atau satu ayat pun dalam
aturan atau hukum di negara kita yang mewajibkan seseorang melakukan kekerasan
terhadap sesama manusia, kecuali dengan kehendak bebas seseorang memilih
bertindak secara kekerasan, alias melanggar aturan dan hukum. Disini orang
harus kembali pada aturan dan hukum negara maupun agama. Pelaku kekerasan harus
banting stir untuk kembali pada jalur untuk memanusiawikan diri sebagai
manusia.
Keempat; Kekerasan bukanlah cara menyelesaikan masalah,
tetapi justru akan menambah persoalan baru. Ini hendaknya menjadi prinsip utama
dalam hidup berbangsa dan bernegara agar kita terus membina masyarakat yang
demokratis. Oleh karena itu, pendekatan represif baik oleh TNI/POLRI maupun TPN
OPM haruslah dihentikan di Paniai dan Tanah Papua pada umumnya. Semua persoalan
baik pribadi maupun kelompok harus diselesaikan dengan mengedepankan pendekatan
persuasif. Bukankah negara kita ialah negara demokrasi yang menjunjung tinggi
Hak Asasi Manusia demi mewujudkan perdamaian dunia? Disini tidak hanya
dibutuhkan peran militer tetapi juga dibutuhkan peran pemerintah. Pemerintah
hendaknya pro aktif dalam melihat dan menangani semua persoalan-persoalan yang
mengarah pada jatuhnya korban warga masyarakat. Dengan demikian, sebaiknya
semua persoalan di Papua termasuk persoalan yang muncul di Paniai akhir-akhir
ini harus diselesaikan melalui komunikasi yang bermartabat atau dialog. Dalam
hal ini, kiranya dibutuhkan fasilitator yang memfasilitasi kedua belah pihak
untuk mengungkapkan dan menyelesaikan persoalan melalui dialog yang
bermartabat. Ini merupakan kebutuhan utama di negara kita agar segala persoalan
dapat kita menyelesaikannya secara demokratis dengan sikap saling menghargai
sebagai makhluk bermartabat. Semoga kebiadaban menjadi musuh bersama dimasa
keadaban kini.(BNW)
0 komentar:
Post a Comment