Showing posts with label Kekerasan. Show all posts
Showing posts with label Kekerasan. Show all posts

Penikaman Dua Warga di Paniai, Bukti Aparat Memihak Warga Melayu

Salah satu korban yang ditikam anggota TNI saat mendapat perawatan di RS Madi, 1/5/2017. (IST - SP)
JAYAPURA — “Kami biasa heran kalau ada persoalan antara orang pendatang (Melayu) dan warga asli Papua, aparat keamanan justru hanya mau mengamankan suku Melayu, meskipun sudah salah. Kejadian penikaman dua warga sipil di Paniai, itu bukti bahwa aparat memihak warga Melayu.”

Demikian penilaian dari Hanok Herison Pigai, direktur Yayasan Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat (Yapkema) Paniai, menyikapi kasus penikaman oleh dua prajurit dari Pos Timsus 753 Argaviratama Nabire di Uwibutu, Kabupaten Paniai, Papua, Senin (1/5/2017) lalu.

Dalam siaran pers yang diterima media ini, ia berharap, aparat keamanan harus profesional dalam semua persoalan. “Karena kalau persoalan sudah menyangkut dengan orang Papua, prosedur dan profesionalisme tidak berlaku. Aparat hanya menjadi anjing galak yang siap menerkam dan memihak pedagang yang nota benenya adalah suku Melayu. Dan suku-suku asli dianggap bukan manusia, apa maksudnya ini?”

Pengalaman selama ini di Paniai, kata Hanok, aparat yang bertugas di sana hanya mau mengamankan warga Melayu. “Ketika ada persoalan antara orang Melayu dan warga asli Papua, apakah tidak perlu diselesaikan secara prosedural? Aparat keamanan perlu mengedepankan nilai kemanusiaan dalam menjalankan tugas sebagai pelindung dan pengayom masyarakat,” ujarnya.

Lanjut Hanok, “Kami sangat tidak bisa menerima tindakan semacam ini, memotong manusia seperti binatang atau tumbuh-tumbuhan. Ini hanya masalah sepeleh yang tentunya sebagai aparat yang terpelajar bisa menengahi antara kedua belah pihak untuk diselesaikan, bukan dengan cara brutal bawa pisau, sangkur, parang dan senjata untuk tikam bahkan bunuh salah satu pihak. Aparat semacam apa ini? Ini kejadian terulang kesekian kalinya dari berbagai peristiwa berdarah yang terus terjadi di Tanah Papua.”

Ia juga minta Danyon 753/AVT Nabire segera bertindak tegas, memecat dan menghukum kedua prajurit yang melakukan kekerasan tersebut. (Baca juga: )

“Berikan efek jera kepada siapa saja yang melakukan tindak kekerasan di atas Tanah Papua. Kami mohon tunjukkan kewibawaan negara di atas tanah ini. Kami sedang berduka dengan pembunuhan 4 orang muda yang tertembak dan ratusan lainnya mengalami luka-luka dalam peristiwa Paniai Berdarah 8 Desember 2014, yang hingga kini pelakunya belum diadili,” ungkapnya.

Penegasan sama diungkapkan John NR Gobai, ketua Dewan Adat Paniai yang juga sekretaris Dewan Adat Papua (DAP). “Saya minta tarik pasukan yang tidak punya tupoksi jelas dari Paniai. Seperti pos Timsus 753/AVT, Kopassus.”

Dalam siaran pers ke media ini, Kamis (4/5/2017) sore, John menyatakan, dari laporan kronologi kejadian yang diterima, tak ada alasan kuat bagi oknum tentara tersebut melakukan tindakan penikaman terhadap Yustinus Degei (32) dan Yosia Degei (27), yang hendak membeli rinso. (Baca juga: )

“Kapolres Paniai dan Pabung Kodim Paniai di Enarotali harus segera menjelaskan kasus ini dan memproses anggota yang terlibat dalam penikaman dua warga sipil.”

Lanjut John, “Pangdam dan Kapolda Papua segera usut kasus ini. Kami tidak mau ada kasus kekerasan, jangan tambah korban di Paniai.”

Diberitakan media ini sebelumnya, penikaman tersebut terjadi di depan kios yang terletak bersebelahan dengan Gereja Kingmi Papua Jemaat Nafiri Uwibutu. Korban saat itu hendak membeli sabun rinso di kios yang ada di pertigaan jalan raya Paniai-Nabire, tetapi karena pemilik kios sibuk dengan urusannya, keduanya keluar. Saat keluar, pemilik kios muncul dari belakang. Si pemilik kios menduga dua pemuda tadi mencuri barang.

Sontak saja terjadi adu mulut karena korban mengaku tidak curi barang. Si pemilik tetap menuduh mereka mencuri sabun rinso. Tak lama kemudian pemilik kios memanggil aparat yang ada dekat dengan TKP yaitu pos Timsus 753/AVT. Karena masih ribut datang orang yang diduga anggota aparat, lalu terjadi adu jotos hingga menikam kedua pemuda.

  SUARAPAPUA.com

Komnas HAM Tanggapi Foto Pria Papua Yang Ditelanjangi Dan Dianiaya

PAPUA - Beredarnya foto yang menggambarkan pria Papua yang ditelanjangi dan dianiaya oleh polisi, di media sosial, akhirnya mendapat tanggapan dari Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Sejak kemarin, foto itu kian menyebarluas dan menjadi perbincangan di kalangan para pengguna media sosial, terutama para aktivis HAM.

Tubuh telanjang pria Papua itu tampak dililit tali, yang ujungnya dipegang seorang pria berpakaian polisi. Sedangkan pria satunya lagi, juga berpakaian polisi, menendang pria itu dari belakangnya. Pria tersebut tampak berdarah-darah.

Didiuga, adegan sadis dalam foto itu baru terjadi beberapa hari lalu. Di berbagai pemberitaan disebutkan bahwa pria yang dianiaya itu adalah pelaku pemerkosaan.

Namun, bagi Anggota Komnas HAM yang juga putra daerah Papua, Natalius Pigai, peristiwa yang terjadi di Timika Papua itu dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan penganiayaan dan penyiksaan, mengandung unsur kekerasan fisik dan patut diduga kuat juga kekerasan verbal.

"Inilah potret kejahatan kemanusiaan oleh negara di tanah Papua. Sudah berlangsung lama dan makin terus terjadi secara sistemik," tegas Pigai dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan.

Komnas HAM, lanjut Pigai, menegaskan tidak ada alasan bagi kepolisian untuk melakukan tindakan sadistis itu. Tindakan tersebut jelas bertentangan dengan peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang implementasi pelaksanaan tugas kepolisian berbasis hak asasi manusia, dan tentu menyimpang dari SOP penangkapan dan penahanan.

"Kami akan terus memantau proses hukum yang adil, impersial dan nondiskriminatif. Mulai saat ini kami minta pemerintah pusat, dalam hal ini presiden, harus mempu memutus mata rantai kejahatan kemanusiaan di Papua sebagai akar persoalan utama ketidakpercayaan rakyat Papua kepada pemerintah," pinta Pigai. [ald]

 RMOL

Papua Butuh Dokter Dan Guru Indonesia Malah Kirim Tentara

Ekspedisi NKRI yang diprakarsai oleh Puan Maharani, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), kembali dipertanyakan.

Aroma militerisme terasa dalam Ekspedisi NKRI yang awalnya dikatakan untuk melakukan pemetaan kekayaan alam dan sumber daya manusia tersebut namun dalam Ekspedisi NKRI tersebut bukanlah didominasi oleh para peneliti melainkan anggota militer.

“Sejak kapan TNI/Polri bisa jadi peneliti? Kalau benar ini tujuannya semata-mata penelitian kok yang dikirimkan lebih banyak personel TNI/Polri dibanding tim peneliti? Ini sangat militeristik” kata Veronica Koman, Pengacara publik LBH Jakarta dilansir via Rimanews, Selasa (9/2/2016).

Papua dikatakan Veronica lebih membutuhkan Guru dan Dokter namun apa daya Indonesia hanya mampu untuk terus-terusan mengirimkan tentara militernya sehingga Papua dibuat tak berdaya oleh negaranya sendiri.

“Kami orang Papua tidak butuh ekspedisi NKRI. Kami butuh dokter dan guru” kata salah seorang mahasiswa Papua, Vicky Tebay, dalam aksi penolakan ekspedisi NKRI yang dilakukan di depan istana negara, Selasa (9/2/2016) kemarin.

 FOKUSPAPUA

Heboh, Foto Warga Papua Diikat dan Ditelanjangi Polisi Beredar

Foto warga Papua diikat, ditelanjangi dan ditusuk dengan kayu, beredar di media sosial. Pria dalam foto itu terlihat babak belur. Wajahnya berdarah, tangannya diikat, dan ditendang dari belakang.
 

Diduga, pria yang menurut status Marko Meepagoo Pekei ini , ditelanjangi polisi itu memang merupakan pelaku kriminal. Namun, cara polisi memperlakukan pelaku kejahatan itu dianggap berlebihan dan tidak manusiawi.
Foto warga Papua diikat dan ditelanjangi polisi diunggah di media sosial Facebook bernama Marko Meepagoo Pekei. Ada dua buah foto diunggah di akun tersebut.
Di keterangan foto pertama, pemilik akun Facebook Marko Meepagoo Pekei menulis:

Dibawah ini memang tidak sopan karna memang tindakan aparat keamanan sudah diluar kontrol rasio alias biadab. Seharusnya aparat sadar bahwa orang yang memperlakukannya secara tidak manusiawi-pun memiliki martabat yang sama.
Semua orang tentu tahu hukuman paling berat ialah para narapidana yang terjerat dengan kasus narkoba yang dieksekusi mati, tetapi perlakuan terhadap mereka pun biasanya jelas menghindari tindakan yang menyakiti alias menyiksa, apalagi masyarakat sipil yang hanya ditangkap tapi penyiksaannya sungguh menyerihkan. (NiCk)

Siapa Dibalik Penembakan Misterius Di Papua

Foto Salah Satu Korban Penembakan
Saya terdorong menulis ini atas kegelisaan saya terhadap penembakan misterius di Papua yang dilakukan “orang tak dikenal, seperti yang selalu dikatakan TNI dan POLRI selama ini. Saya selalu pantau dan mengikuti berita baik cetak maupun elektronik. Ketika membaca dan mendengar berita tentang penembakan misterius di Papua, selalu saja dikatakan oleh orang tak dikenal. OLEH ORANG TAK DIKENAL, hal inilah yang menjadi kegelisaan dan pertanyaan saya dan belum terjawab hingga kini. Sesungguhnya siapa penembak misterius di Papua itu?.
Contoh Kasus, penembakan misterius yang menewaskan Opinus Tabuni pada tahun 2008, ada juga rentetan penembakan misterius di area PT. Freeport Indonesia  jejak 2009 hingga kini, penembakan misterius juga terjadi di Mulia kabupaten Puncak Jaya, juga beberapa penembakan misterius yang terjadi di Jayapura hingga saat ini masih menyisakan misteri karena aparat gagal mengungkap pelakunya, apa doronganya dan siapa dalang dibalik aksi penembakan.
Semua rentetan penembakan misterius di Papua itu selalu dikatakan oleh orang tak dikenal, siapa orang tak dikenal yang dimaksud itu? Apakah oleh kelompok sipil bersenjata seperti yang dituding selama ini. Kalau benar oleh kelompok sipil bersenjata, tangkap pelaku dan diproses secara hukum yang berlaku di negara ini. Kelompok teroris kelas atas dan ISIS  yang terlatih dan terorganisir rapih saja bisa ditangkap dalam waktu singkat dan diproses secara hukum, masa kelompok sipil bersenjata di papua tidak bisa ditangkap. 
Samapai saat ini belum diketahui jumlah mereka yang menjadi korban penembakan misterius itu. Polisi dibantu TNI masih mengejar pelaku penembak misterius itu. Sampai saat ini pula pelaku penembak belum diungkap. Saya berharap tidak ada lagi aksi brutal di Papua dan lebih dari itu tangkap pelaku. Jangan lagi membuat tudingan yang tidak jelas.
Rangkaian  penembakan terbukti telah terjadi di Papua, tanpa mengetahui siapa pelaku atas pariabel penembakan di Papua itu. Jelas –jelas penembakan misterius terus terjadi, akibat aparat tidak bisa menagkap pelaku dan membuktikan kebenarannya. 
Kelly Kwalik meninggal akibat tembakan Aparat Kepolisian. Kwalik dituduh sebagai pelaku penembakan misterius yang terjadi di area PT. Freeport Indonesia. Ironisnya, setelah Kwalik ditembak mati, penembakan misterius di sana masih sering terjadi dan lagi-lagi aparat kepolisian yang dibantu TNI gagal menagkap siapa pelaku penembakan yang sesungguhnya.
Memang harus diakui di papua itu ada kelompok – kelompok yang mengingikan pemisahan dari RI, tetapi kelompok – kelompok itu berada di hutan, tidak terlatih, tidak terkonsolidasi baik, dan memiliki banyak kekurangan, sangat janggal kelompok itu dituding Pemerintah sebagai pelaku penembakan misterius yang selama ini terjadi di Papua. Apalagi aparat kepolisisian maupun TNI tidak berhasil membuktikan kebenaran tudingan itu.(Yance G / B)

Disposkan: Suara Wiyaimana

Pasca Tabrakan Maut di Dogiyai: 1 Tewas Ditikam, 3Tertembak

Dogiyai, MAJALAH SELANGKAH --Pagi tadi, Selasa (06/05/15), sekitar pukul 06.40 WIT, Justen
Kegakoto dan Lasarus Anouw ditabrak truk barang hingga tewas di Epeida, Jalan Trans Nabire-Illaga, Moanemani Ibu Kota Kabupaten Dogiyai Papua. Sopir truk lari dan mengamankan diri di Polsek Moanemani.Warga yang tidak terima dengan peritiwa ini datang ke Polsek Moanemani meminta aparat kepolisian menyerahkan sopir truk itu untuk dimintai pertanggungjawaban. Polisi melakukan negosiasi tetapi tidak membuahkan hasil. Warga marah dan melempari Polsek dan Pos Brimob di Moanemani. Menyikapi hal itu, Brimob mengeluarkan beberapa kali tembakan peringatan dan mengenai 3 orang warga. Mereka atas nama Sepnat Anouw terkena peluru kikis di dada dan mengakibatkan luka cukup dalam, Anton Edowai tertembak di paha kiri, dan Gayus Auwe terkena serpihan peluru di dada dan kaki kiri.

Sementra itu, seorang tukang bangunan bernama Melky
(warga Toraja) ditemukan tewas di belakang pos Brimob, tepat di areal bangunan yang sedang dikerjakannya. Ia dikabarkan ditikam oleh warga yang tidak terima dengan penembakan yang dilakukan Brimob. Sementara, satu orang tukang bangunan lainnya terkena lemparan batu di kepada dan mengalami luka. Korban tewas (Melky) dan korban luka-luka lainnya, siang tadi, dibawa ke Nabire menggunakan AviaStar. Sementara, 2 korban tabrakan masih disemayamkan di rumah keluarga di Dogiyai. Pantauan majalahselangkah.com , korban tewas (Melky) langsung dibawa pulang oleh keluarga ketika tiba di Nabire. Sementara, 4 korban luka- luka sedang dirawat intensif di RSUD Nabire. Hingga berita ini ditulis, kelurga dan keramat 4 korban luka-luka itu memadati RSUD untuk memastikan keadaan mereka.

Sementara, aparat kepolisian sedang berjaga-jaga di sana bersenjata lengkap. Situasi di RSUD kondusif. Sementara, kondisi di Dogiyai dikabarkan mencekam, tidak ada aktivis
masyarakat dan perkantoran.

Yonatan Kegakoto, keluarga korban, kepada sejumlah wartawan di depan RSUD mengatakan, pihaknya menyesalkan kelambanan aparat untuk tangani kasus ini saat kejadian pagi hari. "Kalau begitu dengar ada tabrakan, polisi mestinya datang ke lokasi untuk mengambil data. Trus, melakukan komunikasi dengan keluarga korban agar konflik tidak meluas dan tidak korban seperti ini," tuturnya.
Yonatan menghimbau kepada semua keluarga untuk menahan diri agar konflik tidak meluas."Saya mau masalah ini tidak meluas. Saya tidak ingin pelayanan pemerintahan di Dogiyai dan Nabire menjadi terganggu. Saya juga tidak mau ada korban baru. Aparat harus segera tangani secara professional dan masyarakat mencari solusi damai agar tidak ada korban lagi," harap
Yonatan.

Diketahui, polisi hingga saat ini belum memberikan keterangan soal plat nomor polisi truk dan nama sopir yang menabrak untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Komunikasi majalahselangkah.com dengan Kapolres Nabire danKapolsek Moanemani belum membuahkan hasil untukmeminta keterangan tambahan terkait peristiwa ini. (GE/003/MS).

Sumber:

http://majalahselangkah.com/content/-pasca-tabrakan-maut-di-dogiyai-1-tewas-ditikam-3-tertembak

Yulianus Yeimo, Dipukul Oleh Brimob Hingga Babak Belur, Ditemukan Tewas di Danau Paniai

Paniai — Di Papua terus terjadi pembunuhan terhadap Orang Papua. Namun kali ini lagi-lagi seorang mantan guru sekolah dasar (SD), Yulianus Yeimo berusia 45 Tahun disiksa secara brutal oleh Brimob Indonesia di kompleks pasar Enaro Tali, sekitar pukul, 06.00 sore WIT Jumat, 10 Agustus 2012 lalu, Paniai, Papua.

“Sebelumnya juga Brimob di Paniai memukul Yulianus Yeimo tanggal 24 November 2011 sekitar pukul,15.00 wit di ujung lapangan kogekotu/awabutu Enarotali Paniai Papua”.

Dari data yang dihimpun, knpbnews.com Sebelumnya, “Almarhum Yulianus Yeimo dipukul dengan besi bar dan Pukulan dengan popor senjata oleh Brimob membuat Yulianus Yeimo mengalami patah hidung dan mengeluarkan darah serta dari mulut mengalir darah seperti air, karena dada di tendang dan rahang retak, lidah hamper putus.” Kejadian seperti ini banyak terjadi di paniai dan di Papua.

“Akibat dari pemukulan tersebut, dirinya mengalami ganguan psikologi. Kemudian ia di bunuh oleh Brimob Indonesia, pada tanggal 18 Agustus 2012 Tanpa sebab.”

Menurut keterangan saksi yang di terima KNPBNews.com “Tubuh pria malang ini diikat di bagian lehernya menggunakan tali. Mayatnya tiba-tiba ditemukan di Danau Paniai, pada tanggal 25 Januari 2014”.

Lanjutnya lagi, Pembunuhan itu dilakukan oleh anggota militer Indonesia, brimob atau aparat keamanan sebagai pembalasan lanjut dia merobek bendera Indonesia”. Katanya.

Sementara itu, Mecky Yeimo, sekertaris 1 Komite Nasional Papua Barat menyatakan bahwa “Kami masyarakat Paniai menuntut penyelidikan lebih lanjut atas kematian-Nya.”

“Kami juga meminta bahwa pasukan militer dan keamanan semua personil Indonesia segera ditarik dari daerah Paniai, dan di seluruh Wilayah Papua Barat.”

lanjutnya lagi, “Kami menuntut juga agar pelaku pembunuhan dan penyiksaan itu secepatnya dibawa ke pengadilan penuh dan bahwa semua angkatan bersenjata Indonesia segera menghentikan semua kekejaman Hak Asasi Manusia yang keji di Tanah Papua Barat.” Imbuhnya.

 http://knpbnews.com/?tag=paniai

Korban Penembakan Oleh Militer Indonesia, Terhadap Warga Sipil Di Kabupaten Puncak Jaya

Korban Penembakan oleh Militer Indonesia
Puncak Jaya,KNPBNews – Mulia Kabupaten Puncak Jaya, 26/01/2014 pukul 8:00 pagi wpb, Kabupaten Puncak Jaya distrik Mulia, terjadi pengerebekan dan pemukulan terhadap rakyat sipil yang tidak tahu apa-apa, saat itu, Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) jemaat Dodopaga dan jemaat Kulirik sedang beribadah, secara tiba-tiba ada bunyi tembakan dan anggota Brimob dan Densus 88 langsung di kepung masyarakat di dalam gereja, dan gereja pun di bakar oleh militer Indonesia.
Dalam insiden ini di kabarkan bahwa, Pdt, Gembala dan jemaat Tuhan dalam gereja hari itu dapat penyiksaan dan intimidasi yang luar biasa oleh aparat keamanan Indonesia yang berada di puncak Jaya, mereka ditikam dengan pisau sangkur dan saat ini di rawat di rumah sakit umum di Mulia.  Insiden ini ada dua rakyat sipil yang korban pemukulan oleh militer Indonesia, nama-nama sebagai berikut; 1. Lurugwi Morib, sebagai kepala Desa setempat dan 2. Pamit Wonda, sebagai Gembala jemaat setempat.
Saat ini situasi di Kabupaten Puncak Jaya darurat militer, dan hampir semua masyarakat pengungsi ke hutang, dan ada yang pengungsi ke Kabupaten terdekat seperti Kab, Tolikara, Lani Jaya, dan Puncak Ilaga, dan masyarakat dalam kota juga tidak bisa bergerak keluar tetapi tetap harus terkurung di dalam rumah, karena masyarakat sipil di jalan-jalan semua dia angap anggota TPN-OPM oleh militer Indonesia.
Oleh karena itu dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) wilayah Yamo, puncak Jaya, memohon kepada seluruh rakyat bangsa Papua Barat dari Sorong sampai Merauke, tolomg mendukung di dalam doa bagi rakyat yang ada di Kabupaten Puncak Jaya, saat ini sedang mengungsi ke hutang tahan lapar dan haus, tahan dingin, hujan dan panas di hutang rimbah, demi bangsa dan tanah air kita West Papua
Sumber  :  http://knpbnews.com/?p=3516




Pendekatan Militer Dibalik Perkebunan Sawit PT. Nabire Baru Dan PT. Sariwana Unggul Mandiri

Menyikapi kamtibmas di papua pada umunya dan nabire pada khususnya, adalah menjadi tanggung jawab bersama semua komponen, tidak saja aparat TNI/ POLRI namun toga, todat, kepala suku dan masyarakat umum. Kerinduan akan sebuah kedamaian adalah menjadi harapan kita bersama sehingga kerja sama dalam menjaga keamanan sangat diharapkan antara institusi tni/polri dan pihak masyarakat luas maupun komponen masyarakat. 

Hal ini sangat jauh dari harapan ketika praktek pendekatan militer yang dilakukan oleh salah satu investasi penanaman modal asing (PMA) perkebunan sawit PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri yang menggunakan pendekatan militer dalam menjaga keamanan atau bertugas di perusahan tersebut. Dalam prakteknya dengan kehadiran anggota pam Brimob (Polri), sangat jauh dari tufoksi polri yang diatur dalam uu kepolisian yaitu sebagai pengayom, pelindung rakyat. Namun yang terjadi adalah tindakan-tindakan kekerasan baik secara langsung maupun tidak langsung yang sering dilakukan terhadap masyrakat pemilik ulayat, pimpinan suku yerisiam maupun karyawan yang sering mengeluh terhadap gaji mereka. 
Ada indikasi upaya pendekatan militer dikedua perusahan tersebut, adalah untuk melindungi sebuah kesalahan hukum atas dilanggarnya UU 32 Tahun 2009 tentang lingkungan hidup yang mana dalam pasal tertentu mengatur tentang ijin AMDAL ( analisa dampak lingkungan) yang seharusnya dimiliki sebelum pekerjaan perusahan tersebut beroprasi. Namun yang terjadi adalah pekerjaan yang dilakukan sudah berjalan tiga tahun tanpa memiliki ijin amdal, Pada tanggal 11 bulan September 2013 Panglima xvii cendrawasi melakukan penanaman perdana sawit sementara puluhan pohon sudah ditanam dua tahun berjalan. 
Sebuah upaya pembohongan public yang sedang dilakukan oleh kedua perusahan tersebut dalam upaya melegitimasi kegiatan perkebunan yang illegal selama ini dengan mendatangkan para pejabat Negara yang secara tidak langsung turut melegitimasi kesalahan terhadap uu 32 tahun 2009. Perlu juga diketahui bahwa kehadiran perusahan sawit di tanah ulayat adat pribumi suku yerisiam menuai pro kontra antara masyarakat adat yerisiam, yang jika hal ini dibiarkan akan memicu konflik baik horizontal maupun dengan perusahan tersebut yang berbutunt aparat keamanan akan berada dipihak perusahan seperti kasus-kasus sawit pada umumnya di Indonesia.

Kemerdekaan Indonesia adalah untuk bebas dari segala bentuk penjajahan namun karakter imperialis sangat jelas diterapkan diatas tanah leluhur masyarakat pribumi suku yerisiam oleh perkebunan sawit PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri tanpa menghormati hak-hak dasar masyarakat pribumi sebagai pemilik Tanah ulayat adat.

Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah sangat jelas menyebutkan tujuan dari pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Alinea IV Pembukaan UUD 1945 melegitimasi semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tanah, air dan semua sumber daya alam di Indonesia, yang terkandung di dalamnya sebesarbesarnya digunakan untuk menciptakan kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Lebih khusus di papua sebuah perangkat uu Negara Indonesia tentang otonomi khusus hadir guna merubah pengalaman masa lalu atas kegagalan pemerintah dalam membangun sumber daya papua, sehingga otsus hadir dengan pioritas program salah satu adalah kesejahtraan dan kemakmuran masyarakat pribumi papua, namun praktek kedua perusahan ini mencoreng cita-cita paradigma baru guna mereformasi praktek-praktek orde baru dalam pengelolaan sumber daya alam masyarakat pribumi suku yerisiam.



Berhubung dengan hal-hal yang dijelaskan diatas maka sebagai kepala suku yerisiam yang bertanggung jawab teerhadap masyarakat adat pribumi suku yerisiam dengan ini meminta :



  1. Demi keamanan dan kenyamanan maka PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri segera mengembalikan pam brimob yang ada di perkebunan sawit.
  2. Sangat diharapkan pihak kepolisian dan dinas kehutanan turun ke dua lahan perkebunan kelapa sawit yaitu PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri untuk memastikan berapa jumlah batang kayu dan berapa jumlah meter kubik dari empat jenis kayu yaitu kayu merbau, kayu indah, kayu meranti dan rimbah campuran untuk dibayarkan atau didenda oleh PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri jika tidak dapat mempertanggung jawabkan data otentik dari puluhan juta meter kubik yang dikuburkan begitu saja. 
  3. PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri stop melakukan upaya pembohongan public dengan menghadirkan pejabat provinsi untuk melegitimasi pekerjaan yang illegal. 
  4. Demi kelancaran dan kelangsungan pekerjaan perkebunan sawit diatas tanah leluhur masyarakat pribumi suku yerisiam maka penting adanya sebuah pertemuan antara perusahan dan pemilik ulayat adat yang hingga kini belum dibicarakan secara baik tentang hak dan kewjiban antar pemilik ulayat adat dan PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri.  
  5.  Pemerintah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, maka kami Meminta pemerintah daerah dalam hal ini eksekutif dan legislative maupun unsure muspida lainya untuk tidak melakukan proses pembiaran terhadap jutaan pohon kayu yang ditebang begitu saja yang secara jelas melanggar Undang – Undang Negara Repoblik Indonesia No 32 THN 2009 Tentang Lingkungan Hidup, maupun hokum-hukum lain yang mengatur tentang hak-hak masyarakat adat. 
  6. Harapan suku Yerisiam terhadap pemerintah sebagai wakil rakyat jangan berpihak kepada kaum pemodal dengan menari-nari diatas jeritan rakyat.

Demikian prease lease ini kami keluarkan untuk diketahui dan kiranya mendapat perhatian yang serius dari semua pihak yang berkompoten dalam menggumuli kepentingan rakyat.




Nabire 21 September 2013

Kepala Suku Yerisiam





SP. Hanebora

Kronologi, TNI/Polri Rusak Pintu Sakristi Gereje St. Maria Magdalena di Paniai

Gedung Gereja Katolik Santa Maria Magdalena
Pagubutu, Pugodide, Kabupaten Paniai,
Provinsi Papua. Foto: SK
Paniai -- Aparat gabungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi merusak pintu ruang Sakristi Gereja Katolik Santa Maria Magdalena Pagubutu, Pugodide, Kabupaten Papua, Provinsi Papua, Minggu 4 Agustus 2013 lalu.
Laporan yang diterima majalahselangkah.com dari Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Papua wilayah Paniai, penendangan ruang sakral Gereja Katolik itu dilakukan dalam rangka pencarian Senjata Gelap yang dicurigai dimiliki oleh kelompok militan di wilayah Pugodide.
"Pada saat itu, masyarakat siap-siap terima ternak babi yang rencananya akan dibagikan oleh seorang anggota TNI, Jonatan Bunai. Tapi, kegiatan penyerahan bibit ternak babi ini berubah menjadi ajang pemeriksaan senjata oleh oknum pasukan gabungan TNI dan Polri. Mereka (TNI/Polri) mengatakan mencari senjata. Pada saat itu, mereka memeriksa anak-anak laki-laki, anak-anak perempuan, pemuda-pemudi serta orang-orang tua seluruhnya," tulisnya dalam laporan itu.  
Dijelaskan, pasukan gabungan ini tidak menemukan sepucuk senjata pun termasuk amunisinya di komplek Gedung Gereja Katolik Santa Maria Magdalena. Karena kunci pintu masuk ruang Sakristi tidak diberikan oleh jemaat, pintu ruang Sakristi ditendang oleh oknum anggota TNI untuk melakukan pemeriksaan senjata api dalam ruangan itu.
"Saat pencarian itu, gedung Gereja dikeliling oleh TNI sambil cungkil tanah di pinggiran setiap fondasi bangunan gereja. TNI juga naik ke arah plafon gereja dari dalam. Di atas atap daun senk juga dipanjat TNI dengan menggunakan tangga-tangga buatan kayu milik umat Katolik di Pagubutu."
Dikatakan, aparat TNI/Polri tidak menemukan sepucuk senjata pun termasuk amunisinya di dalam ruang Sakristi.Aparat TNI/Polri membawa pergi uang sebesar Rp6 juta yang diisi oleh XD, uang sebesar Rp10 Juta rupiah yang disii oleh NP, dan beberapa handphone milik warga. Semuanya telah dibawa ke Polres Paniai di Madi sekitar pukul 15.00 waktu setempat.  
Kronologi
Pada tanggal 1 Agustus 2013, masyarakat di di Pugodide menerima berita tentang pembagian Bibit Ternak Babi untuk 10 Kelompok sesuai marga/fam yang ada di 3 desa/kampung.   
Bapak Jonatan Bunai Gedeutopaa (Anggota TNI) yang bertugas di Jayapura telah meminta masyarakat yang berdomisili dalam wilayah 3 desa/kampung di Pugodide datang berkumpul menerima bibit ternak babi.
Pada tanggal 4 Agustus 2013, pagi harinya, sebelum Ibadah Minggu dimulai, Bapak Jonatan Bunai didampingi Matias Bunai Odiyaipaa mengantarkan 10 ekor babi betina untuk dibagikan.
Sepuluh kelompok penerima ternak antara lain (1) Kelompok Perserikatan Fam Bunai Odiyaipaa diwakili oleh Matias Bunai di Tougida; (2)  Kelompok Perserikatan Fam Gedeutopaa diwakili oleh Pewarta Demianus Bunai di Jikai; (3) Kelompok Perserikatan Fam Bunai Wenaapa diwakili oleh Markus Bunai; (3) Kelompok Perserikatan Fam Bunai Maibopaa diwakili oleh Jimunaipiyaa Bunai di Bado Pugoo; (5) Kelompok Perserikatan Fam Bunai Umagopaa diawakili oleh Yohanes Bunai di Papouye; (6) Kelompok Perserikatan Fam Bunai Beukamepaa diwakili oleh Marthen Bunai di Kopai; (7) Kelompok Perserikatan Fam Yeimo Koguwo diwakili oleh Epres Yeimo di Papouye; (8) Kelompok Perserikatan Fam Yeimo Emigai diwakili oleh Yan Yeimo di Kagupugaida; (9) Kelompok Perserikatan Fam Tobai diwakili oleh Januarius Tobai di Waidide; (10) Kelompok Perserikatan Fam Yatipai diwakili oleh Didimus Yatipai di Waidide.
Seusai ibadah, Minggu pagi, para umat Katolik dan jemaat KINGMI memenuhi undangan Jonatan Bunai untuk hadiri acara pembagian bibit ternak babi yang telah disiapkan di halaman Gedung Gereja Santa Maria Magdalena Pugo.
Jonatan dan Matias Bunai berdiri di tengah-tengah anggota penerima ternak babi, posisi mereka tepat di depan pintu gereja. Tiba-tiba tiga mobil berhenti di jalan raya Nabire-Paniai, tepat depan pintu masuk Gereja Katolik.
Dari dalam mobil itu, kurang lebih 15 orang anggota Pasukan Gabungan TNI turun dari mobil yang berwarna putih tersebut. Mereka menuju ke halaman gedung gereja tanpa diketahui alasannya. Mereka masuk di kerumunan warga yang siap menerima ternak babi itu.
Para penerima dan pemberi bibit ternak babi terkejut. Para penerima bibit ternak babi termasuk pemberi dan pendamping membiarkan setiap aksi pemeriksaan dan pembongkaran yang dilakukan oleh pasukan gabungan.
Bapak Jonatan Bunai dan Matias Bunai penerima bibit ternak babi tidak terpancing dengan aksi pemeriksaan dan pembongkaran pintu ruang Sakristi Gereja Katolik Santa Maria Magdalena.
TNI mengatakan, kami melakukan pemeriksaan untuk mencari Senjata Gelap yang telah dimilikinya oleh Kelompok Militan di Pugodide. TNI juga telah memasuki dalam ruangan Gereja Katolik. Gedung Gereja dikeliling oleh TNI sambil cungkil tanah di pinggiran setiap fondasi bangunan suci tersebut.
TNI juga naik ke arah plafon gereja dari dalam. Di atas atap daun senk juga dipanjat TNI dengan menggunakan tangga-tangga buatan kayu milik umat Katolik di Pagubutu.
Di saat menjalankan aksi pemeriksaannya, baik anak-anak laki-laki, anak-anak perempuan, pemuda-pemudi maupun orang-orang tua seluruhnya diperiksa oleh pasukan gabungan TNI di pintu pagar masuk-keluar dari jalan raya Nabire-Dogiyai-Deiyai dan Paniai dengan alasan mencari Senjata Api (Gelap) dimaksud.
Dalam pemeriksaan ini, aparat menyita uang sebesar Rp6 juta yang diisi XD; uang sebesar Rp10 Juta rupiah yang diisi NP; dan beberapa handphone milik warga. Semua barang yang disita dibawa ke Polres Paniai di Madi, sekitar pukul 15.00 waktu setempat.
Atas aksi ini, pasukan Gabungan TNI/Polri belum menemukan sepucuk senjata pun termasuk amunisinya di komplek Gedung Gereja Katolik Santa Maria Magdalena Pagubutu, Pugodide, Paniai, hari Minggu 4 Agustus 2013 itu.
Warga juga belum mengambil gambar pada saat mereka melaksanakan pemeriksaan dan pembongkaran di Gereja. Jonatan Bunai (Anggota TNI) yang sedang bertugas di Jayapura sebagai saksinya terhadap peristiwa pemeriksaan dan pembongkaran tersebut.
Saat ini, umat Katolik dan jemaat KINGMI di Pugodide telah dan sedang merasakan trauma dan takut akibat peristiwa yang terjadi di komplek Gereja Katolik itu.
Lima Permintaan Pekerja HAM di Paniai
1.      KAPOLRI diminta perintahkan KAPOLDA Papua untuk mencopot KAPOLRES Paniai dari jabatannya pada kesempatan pertama. Karena Pasukan Gabungan TNI telah melaksanakan PEMERIKSAAN DAN PEMBONGKARAN DALAM GEREJA PADA HARI MINGGU DI PAGUBUTU.
2.      Para Pimpinan Umat Katolik untuk Wilayah Papua dan Indonesia (Tingkat Keuskupan) diminta segera suarakan kepada Dewan Gereja Sedunia (KEPAUSAN) untuk melihat dari dekat tentang peristiwa pemeriksaan dan pembokaran termasuk TNI karena dengan senjata lengkap memasuki di halaman Gereja Katolik Pagubutu, memasuki di ruang SAKRISTI, melewati batas plafon gedung Gereja dan memanjat ke atas sengk disamping pintu depan/teras Gedung Geraja yang dimaksud untuk mencari tempat persembunyian SENJATA API/GELAP.
3.      Dewan Gereja Sedunia diminta segera meminta pertanggungjawaban KAPOLRES Paniai melalui Kepolisian Republik Indonesia di Jakarta tentang aksi pemeriksaan dan pembongkaran pintu ruang SAKRISTI (RUANG KERAMAT BAGI UMAT KATOLIK SE-DUNIA) Santa Maria Magdalena Pagubutu di Pugodide 4 Agustus 2013.
4.      Pemerintah Vatican-Roma, Amerika Serikat, Belanda, Australia, Selandia Baru, Inggris dan Indonesia diminta segera bertanggungjawab atas berbagai kasus pelanggaran berat HAM yang telah dan sedang dilakukan oleh Pasukan Gabungan TNI di Tanah Papua sejak 1 Mei 1963.
5.      Dewan Gereja Sedunia diminta segera desak Dewan HAM PBB kirimkan Tim Pemantau Khusus PBB tentang penyalahgunaan kekuatan militer Indonesia (Pembunuhan Kilat dengan menggunakan Senjata Api) dan pelarangan polisi tentang kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum di Tanah Papua untuk percepat proses pelaksanaan dialog antara pemerintah Indonesia dan Orang Asli Papua. (GE/OG/MS)

 
 
 
 

Tampa Sebab, Aparat Polisi Menyiksa Seorang Warga Sipil Di Kabupaten Deiyai Papua

Ilustrasi@
Deiyai - Jumat (28/06), Oknum Aparat Brimob mengeluarkan rentetan penembakan terhadap warga sipil di daerah Deiyai, Papua. Sejak pagi tadi (28/06), Kabupaten Deiyai sangat bersahabat dengan bunyi peluru. Situasi kota deiyai semakin mencekam dengan bunyi tembakan yang di keluarakan oleh Aparat Polisi dari satuan Brigadir mobil (Brimob) itu.

Masyarakat yang ada di sekitar kabupaten deiyai, tidak menjauhi dari bunyi rentetan itu,  Namun mereka semakin mendekati ke arah bunyi senjata tersebut. Semakin perlahan, masyarakat semakin banyak. 
Ternyata tampa rencana dan di undang, Markas penginapan Brimob didatangi dan dikelilingi oleh warga setempat. Orang berbondong-bondong terus mamadatinya. Tapi, tembakan tersebut menjadi “receptionis” bagi warga Deiyai.

Warga terus, mendatangi kantor Brigadir mobil (brimob) yang bertugas di daerah kabupaten deiyai, Ternyata Polisi dari satuan Brigadir mobil (Brimob) itu sedang melakukan tindakan kekerasan terhadap seorang warga sipil. nama korbannya. Pontianus madai yang tinggal di DesaYabadimi, tidak jauh dari kota wakeitei Ibukota Kabupaten Deiyai, Papua. 
Berdasarkan informasi yang Kami terima dari salah satu pemuda deiyai, fery, brimob memukul korban tersebut tanpa alasan yang mendasar. Tidak mabuk atau pun melakukan tindakan lainya. Bahkan, korban tersebut tidak biasa komsumsi Munuman keras. Fery menceritakan; malam jumat (27/06), ketika lelaki tersebut pulang dari kios seusai belanja gula, kopi dan susu, dirinya di hadang oleh sekelompok orang yang terdiri dari 4 orang. 
Orang-orang tersebut adalah; 2 diantaranya pemuda setempat (masih dalam proses identifikasi identitas) dan 2 orang lainya aparat brimob. Para pelaku tidak segang-segang dan tampa bertanya langsung keluarkan tendangan ke arah korban. Sehingga, pontianus mengalami luka berat di kepala bahkan di anggota badan lainnya. Korban tidak keluarkan pukulan atau perlawanan ke arah lawan. Setelah itu, dia melarikan diri ke rumah, di desa yabadimi. Setelah tiba di rumah ia sampaikan kepada rekan-rekannya yang ada di rumah. 
Dan informasi tersebut menyebar ke seluruh masyarakat deiyai. Tanpa dikomando, secara serentak masyarakat padati jantung kota wakeitei ini. Semakin banyak masyarakat dan mereka menuntut ke kepala suku adat, tokoh pemuda, tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh perempuan untuk mengusir brimob dari kabupaten deiyai. Secara serentak, hitam diatas putih, segenap masyarakat deiyai, menolak dan tidak izinkan untuk selamanya, mendirikan kantor brimob di kabupaten deiyai. Hal yang sama juga, masyarakat lakukan terhadap Tim Khusus (Timsus), Yonif 753, Arga Vira tama (Arvita) waghete, beberapa tahun yang silam. Jadi, masyarakat tutup kantor brimob adalah yang kedua kali. 
Hari semakin sore, cuaca kota waghetepun tidak bersahabat. Alam deiyai, terus menangis. Hujan dan badai menutupi lembah tigi ini. Seakan-akan alam ini, ikut marah terhadap tindakan represif yang di lakukan oleh brimob ini.
Sore tadi, jumat 27/06, Kapolres Paniai, sekaligus sebagai pimpinan kepolisian di daerah itu, menjemput seluruh personil Brigadir Mobil (Brimob) untuk kembali ke kabupaten Paniai. Sebelumnya, Brimob nginap  dan menjadian kantor mereka di salah satu rumah dinas milik pemerintah daerah, distrik tigi, kabupaten deiyai papua. 
Demikian informasi yang di terima dari fery melalui telepon selulernya, jumat (28-06-13).
(Ones Madai)

 

Polres Yahukimo, Menembak Satu Pelajar, Mengalami Luka Parah

YAHOKIMO -- Polres  Kabupaten Yahukimo  kembali  melakukan  penembakan terhadap  seorang  pelajar,  setelah mereka lulus sekolah  referesin di kali biru Yahukimo Papua. Namun ketika, anggota dari satuan Polres Yahukimo, menggunakan mobil Patroli Polisi ke tempat kejadian perkara.

Ketika para aparat Polisi itu tiba, menemui sejumlah pelajar di tempat kejadian. Lima pelajar itu setelah berkonsumsi minuman beralkohol, sehingga Polisi tanpa tanya mengeluarkan tembakan peringatan terhadap 4 pelajar itu,  akhirnya mereka lari karena, takut  di tembak polisi. Saat korban sedang lari, para Polisi  mengeluarkan tembakan hingga menggenai pada bagian bahu kanan, korban atas nama Carles Suhuniap.
Empat lainnya berhasil menyelamatkan diri dan korban ditangkap Polisi yang saat itu berlumuran darah. Namun sampai saat ini korban tersebut dievakuasi ke Jayapura dan sedang dirawat di Rumah Sakit Dian Harapan Jayapura. Tiga lainnya yang berhasil menyelamatkan diri diantaranya, Deni Asso, Andre Kiban, dan Gelgi Giban. Kejadian peristiwa ini terjadi pada hari Minggu tanggal 19  Mei 2013 tepat pukul 04: 00 wp.
Sementara itu, terkait peristiwa korban luka tembak kali ini di Yahukimo, sumber media ini melaporkan dari tempat kejadian perkara bahwa, para korban setelah konsumsi minuman beralkohol tidak melakukan tindakan apapun, terhadap siapapun untuk merugikan fasilitas apapuan. Mereka dengan niat baik hendak pilang ke rumah namun, Polisi menembak tanpa alasan yang tidak mendasar.
Hal ini dinilai melanggar hak hidup manusia, dan para polisi dengan dali menewaskan para korban, tetapi korban mengalami luka tembak. Yahukimo pembunuhan tidak hanya terang-terangan terjadi kali ini, tetapi banyak membunuh masyarakat melalui para agen militer yang dipasang di Rumah-rumah sakit di Yahukimo, sebagai Suster, Mantri dan Dokter. Hal ini banyak pengalaman, pasien yang sakitnya tidak begitu para, pergi berobat di rumah sakit untuk dapat ditolong, mala keluarnya mayat, bukan lagi sembuh keluar. Hal ini telah dan sedang terjadi di wilayah Yahukimo.
Persoalan di Yahukimo ini, Pemerintah daerah tidak melihat serius. Pembunuhan secara sembunyi-sembunyi terjadi di Yahukimo ini adalah misi Negara, untuk membunuh masyarakat Papua di semua wilayah Papua. Seperti dilansir bintang Papua pada tahun lalu, dikabarkan 15 orang di Paniai karena mabuk tewas. Hal ini terjadi program misi Negara RI di Papua. (SBY-P-2013).

Satu Anggota KNPB Disiksa Polisi Hingga Patah Tangan

Markus Giban (19), salah satu anggota KNPB yang disiksa Polisi hingga patah tangan (Foto: Suarapapua.com)
PAPUAN, Jayapura — Salah satu anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Markus Giban (19), mahasiswa Universitas Cenderwasih (Uncen) dikabarkan mengalami penyiksaan hebat hingga patah tangan setelah ditangkap aparat Kepolisian Resort Kota Jayapura, di Perumnas III, Abepura, Jayapura, Senin (13/5/2013) siang.

“Telah terjadi penyiksaan hebat terhadap aktivis KNPB. Ini sangat berlebihan, beberapa lagi masih di tahan di Polda Papua, dan ade Giban mengalami patah tangan dan  masih dirawat di Ruma Sakit Umum Daerah (RSUD) Abepura,” kata Ketua Parlemen Nasional West Papua (PNWP), Bucthar Tabuni ketika dihubungi suarapapua.com, siang.


Selain menangkap dan menyiksa Giban, beberapa aktivis KNPB, termasuk Ketua Umum KNPB, Victor F Yeimo juga mengalami nasib yang sama. Mereka saat ini masih ditahan di Polda Papua dan sedang dilakukan interogasi oleh pihak aparat kepolisian.

Bucthar menambahkan, laporan lengkap soal penyiksaan, penangkapan, serta pemukulan yang dialami aktivis KNPB, beserta beberapa massa aksi lainnya pada 13 Mei 2013 akan di publikasikan secara lengkap.

“Teman-teman sedang susun laporan lengkap, kami nanti akan publish untuk teman-teman media, tunggu saja,” imbuh Tabuni dari Jayapura, Papua.

Kabid Humas Polda Papua, AKBP I Gede Sumerta, S.Ik ketka dikonfirmasi wartawan mengaku belum mendapatkan laporan lengkap dari lapangan.

“Tunggu saya cek dulu yah,” tulis Kabid Humas singkat melalui sambungan telepon selulernya kepada media ini.

Sebelumnya, seperti diberitakan media ini (baca : Di Jayapura, Empat Aktivis Papua Kembali Ditangkap Polisi), aparat kepolisian kembali menangkap empat orang aktivis Papua tepat di Depan putaran taxi, perumnas III, tidak jauh dari Kampus Universitas Cenderawasih, Papua.

Keempat orang yang ditangkap adalah Yongky Ulimpa (23) mahasiswa, Ely Kobak (17) mahasiswa, Marten Manggaprouw (30) aktivis West Papua National Authority (WPNA), dan Victor F Yeimo (30), Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB).

Penulis  : OKTOVIANUS POGAU
Sumber :   suarapapua.com,


Keluarga Korban Penembakan Tuntut Kepada Aparat Kepolisian

ilustrasi penembakan (google)
Jayapura - Keluarga Arton Kogoya, 24 tahun, korban penembakan pada Sabtu malam, 11 Mei 2013, oleh  anggota TNI Yonif 756 Pos Napua, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, menuntut ganti rugi.

Keluarga almarhum Arton, Lince Kogoya, menjelaskan bahwa Arton ditembak di halaman rumahnya di Jalan Yos Sudarso, Wamena, sekitar pukul 22.00 WIT. Tubuhnya ditembus enam peluru.


”Kami akan selesaikan masalah ini hari Rabu di kantor polisi. Kalau tidak bisa diselesaikan dengan hukum nasional, kami akan menyelesaikannya dengan hukum adat. Itu artinya kami menuntut denda,” kata Lince, Senin, 13 Mei 2013.

Menurut Lince, sesuai hukum adat, ganti rugi per kepala yang menjadi korban pembunuhan bisa mencapai miliaran rupiah. ”Bagi kami, meskipun dia bersalah, tetap ada aturan, ada hukum, bukan main tembak saja,” ujarnya.


Seluruh keluarga dan kerabat korban, kata Lince, menyesalkan penembakan yang merenggut nyawa Arton. Korban saat ini masih disemayamkan di rumah duka di Wamena. “Kami akan bakar jenazahnya besok sore, tidak dikubur. Anggota TNI yang melakukan penembakan, kami minta dihukum seberat-beratnya,” ucap Lince.

Pastor John Djonga, penerima penghargaan Yap Thiam Hien Award 2009, menegaskan bahwa pelaku penembakan sepatutnya diganjar sanksi berat. “Kejadian seperti ini berulang terus. Ada saja aparat menembak rakyat. Saya kira ini tidak relevan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus yang menyatakan melindungi rakyat Papua,” tuturnya.


Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Letkol Infantri Jansen Simanjuntak mengatakan jajaran TNI menyesalkan insiden penembakan yang dilakukan anggotanya. “Ini tidak diduga. Kami masih mendalami kasus ini. Kalau terbukti bersalah, anggota yang berbuat pasti akan dihukum,” katanya.

Peristiwa itu berawal ketika tiga anggota TNI Yonif 756 Pos Napua, yakni Serda Agung, Pratu Sitanggang, dan Prada Haryono, baru saja selesai bermain futsal di Kota Wamena, sekitar pukul 22.00 WIT. Ketiganya kemudian singgah di warung Wonogiri Tiga Wamena untuk membeli makan. Tiba-tiba datang lima orang dalam keadaan mabuk dan memalak.


Karena tak dikasih uang, terjadilah cekcok mulut yang berujung perkelahian. Pemalak yang membawa parang mengejar tiga anggota TNI itu. Salah seorang dari tiga prajurit TNI tersebut menelpon rekannya di Pos Napua.

Tak berapa lama bantuan pun tiba. Para tentara itu membawa senjata dan menyergap pemalak. Namun, meski sudah diberi peringatan, para pemalak tetap saja melawan dan terus menyerang tentara. Dalam keadaan terjepit, Prada Wahyudi menembak tewas seorang di antara lima pemuda tersebut.  (http://www.tempo.co)




Warga Wamena Tewas Ditembak Anggota TNI

Jayapura -- Seorang warga sipil bernama Arton Kogoya, 24 tahun, tewas ditembak anggota TNI di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Sabtu malam, 11 Mei 2013.
Penembakan sekitar pukul 22.45 WIT di Jalan Yos Sudarso Wamena itu dilakukan anggota Yonif 756 Pos Napua. "Benar, mengakibatkan korban satu masyarakat meninggal di tempat," kata Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Letkol Infantri Jansen Simanjuntak, Minggu pagi, 12 Mei 2013.
Ia mengatakan kronologi penembakan berawal ketika tiga anggota TNI Yonif 756 Pos Napua hendak bermain futsal sekitar pukul 20.00 WIT. Ketiganya adalah Serda Agung, Pratu Sitanggang, dan Prada Haryono. Ketiganya turun dari pos ke arah kota memakai sepeda motor, berpakaian preman, dan tak membawa senjata.
Usai bermain futsal, ketiganya mampir di warung Wonogiri Tiga Wamena untuk membeli makanan. Di depan warung, tiba-tiba mereka dicegat oleh lima orang dalam keadaan mabuk dan meminta uang. "Karena tak dikasih terjadi perang mulut serta perkelahian. Salah satu warga mabuk itu membawa parang hendak menikam anggota," kata Simanjuntak.
Selanjutnya, kata Jansen, oknum pemalak itu kemudian mengejar Prada Haryono yang lari menyelamatkan diri ke arah BRI Sinakma dan ke kodim. "Saat itu Serda Agung menelpon Praka Simanjuntak yang berada di Pos Napua meminta bantuan. Tidak berapa lama, tujuh orang di bawah pimpinan Serda Anang Tri Prasetya turun memakai baju preman, menggunakan sepeda motor, dan membawa senjata tiga pucuk," ujar Jansen.
Sesampainya di Jalan Yos sudarso, terjadi lagi aksi kejar-kejaran antara pemabuk dan tentara. Salah satu pemalak sempat membacok anggota, tetapi tak kena. "Dalam keadaan terjepit itu, anggota membuka tembakan peringatan, tapi tak membuat yang mabuk takut. Malah mereka menyerang terus menggunakan parang," kata Jansen.
Akhirnya, karena merasa terancam, anggota menembak ke tanah. "Prada Wahyudi menembak ke tanah. Tapi karena panik, arah senjata ke korban yang langsung meninggal di tempat," kata Jansen. Usai insiden itu, ratusan warga sempat akan melakukan aksi balas dendam. "Namun sudah diarahkan agar mereka tidak anarkis."
Sumber: tempo.co (JERRY OMONA)

Jiwa Yang Patah: Ingatan Kekerasan dan Penderitaan di Tanah Papua

oleh: I Ngurah Suryawan*
Karena nasibnya hampir selalu kalah dan akhirnya dibantai secara massal, maka pemberontakan yang besar sama sekali tidak taktis untuk mencapai suatu hasil yang lestari. Pertarungan yang sabar dan diam-diam yang dilakukan dengan tekad yang kuat oleh masyarakat-masyarakat (Papua―pen.) selama bertahun-tahun akan lebih banyak mendatangkan hasil daripada percikan-percikan gelora seketika itu. (March Bloch, Frech Rural History dalam James C. Scott, Senjatanya Orang-Orang yang Kalah, 2000)

Heteroginitas etnik yang tinggi, kebudayaan dan kompleksitas adat serta gerakan sosial di tanah Papua memiliki sejarah yang komplek dan penuh dengan ketegangan dan konflik. Terdapat lebih dari 253 etnik dengan bahasa, struktur sosial, tradisi, sistem kepercayaan/agama, dan kondisi geografis yang berbeda-beda. Kompleksitas persoalan di Tanah Papua terjadi seiring dengan peralihan kekuasaan-kekuasaan (politik) terhadap tanah Papua. Salah satu momen penting pentas kekuasaan terhadap tanah Papua terjadi pada tahun 1940-an hingga 1960-an. Saat itu terjadi Perang Dunia II yang berimpikasi kepada proses penyerahan kedaulatan Belanda atas Indonesia termasuk di dalamnya Papua. Proses peralihan kekuasaan di Papua berujung kepada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Juli―Agustus 1969 yang menyatakan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun demikian, sejarah Papua setelah 1969 menunjukkan bahwa hasil Pepera itu justru menjadi salah satu akar konflik yang berkepenjangan.

Sepanjang pemerintahan Orde Baru sejak tahun 1969, Papua menjadi salah satu objek pembangunan tanpa rekognisi yang memadai pada kompleksitas sejarah dan budaya Papua. Salah satu diantaranya dalam bentuk penyeragaman desa berdasar Undang-Undang Desa nomor 5 Tahun 1979 dan eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan komersial. Pemaksaan-pemaksaan nilai terjadi melalui pendidikan, birokrasi bahkan melalui lembaga-lembaga keagamaan. Catatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua dikenal secara internasional dalam intesitas yang tinggi. Berita mengenai Papua sarat dengan kisah-kisah mengenai gerakan-gerakan perlawanan untuk merdeka dan protes pelanggaran hak asasi manusia. Pasca reformasi, pemberlakuan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua serta Inpres nomor 1 Tahun 2003 tentang pemekaran daerah semakin mewarnai pergolakan kekuasaan terhadap tanah Papua.

Kompleksitas permasalahan yang terjadi di Tanah Papua mengendap bagai api dalam sekam. Percikan-percikan ekspresi rakyat Papua terus-menerus muncul sebagai reaksi atas ketidakadilan, kekerasan dan pengingkaran akan kemanusiaan. Negara (baca: kekuasaan Pemerintah Indonesia) menyumbang peran yang paling besar dalam melaksanakan kekuasaannya di Bumi Cenderawasih ini. Rangkaian kebijakan pembangunan dan intervensi politik dan kekerasan menunjukkan bagaimana Tanah Papua seperti daerah lainnya di Indonesia telah dijadikan “objek penderitaan” tanpa henti. Pertanyaannya sederhana, mengetahui tanahnya kaya, mengapa rakyat Papua hingga kini masih ada yang miskin? Bagaimana hak-hak dasar rakyat Papua dan identitas politik budaya mereka dihargai oleh negara?

LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), institusi penelitian milik negara, telah mengindentifikasi setidaknya ada 4 kompleksitas persoalan yang hingga saat ini masih terjadi di Tanah Papua. Pertama, marginalisasi orang asli Papua, terutama dalam hak ekonomi sebagai efek migrasi penduduk. Kedua, kegagalan program pembangunan di Papua untuk mengatasi marginalisasi ekonomi. Ketiga, perbedaan pemahaman mendasar terhadap sejarah antara Jakarta dan Papua. Keempat, kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat Papua. Kekerasan ini diakibatkan dari lamanya pendekatan militer-keamanan dalam mengatur. Papua yang dimotivasi oleh ketakutan akan usaha “kaum separatis” untuk memecah belah. Pendekatan ini didukung oleh kaum nasionalis (membabi buta―pen.) di Jakarta yang mendominasi baik kaum sipil maupun birokrat militer, dan berlanjut hingga transisi Indonesia ke demokrasi. Ada tuduhan yang terus menerus terhadap kekerasan para “pemimpin separatis” seperti pembunuhan Kelly Kwalik tahun 2009 oleh Densus 88 yang menimbulkan dan menguatkan kebencian terhadap Jakarta terutama oleh kaum muda Papua di pegunungan (dataran tinggi). (Widjojo, 2009; 2010; Centre for Humanitarian Dialogue, 2011: 39)

Bagian pendahuluan buku kecil ini mencoba menguraikan serangkaian kompleksitas permasalahan yang terjadi di Papua (status sejarah dan politik, ingatan kekerasan dan penderitaan, diskriminasi pembangunan dan peminggiran harkat dan martabat orang asli Papua, dan “gula-gula politik otsus dan pemekaran daerah”). Dari kompleksitas persoalan tersebut kemudian diakhiri dengan bagaimana secara antropologis memahami persoalan di Papua secara reflektif, inklusif dan emansipatoris. Dengan pendekatan antropologi reflektif inilah inisiatif-inisiatif dialog transformatif dan mewujudkan “Papua Tanah Damai” akan menjadi medium pembebasan bagi bangsa Papua yang akan bangkit memimpin dan sudah tentu membebaskan diri mereka sendiri.

Jiwa yang Patah: Kompleksitas Sejarah dan Status Politik West Papua
“Jiwa yang patah” adalah istilah dari John Rimbiak, pembela hak-hak asasi manusia Papua dan salah satu putra terbaik yang dimiliki bangsa Papua untuk menggambarkan bagaimana isi hati, harkat, dan jati diri rakyat Papua untuk membebaskan dirinya telah dirampas oleh berbagai tindakan kekerasan terhadap kemanusiaan yang telah dilakukan negara dan kekuasaannya (baca: Indonesia). Mereka mengalami “Jiwa yang Patah” (hilang percaya diri, frustrasi, apatis, mengendapkan dendam dan kebencian yang mendalam terhadap pihak yang membuat mereka menderita). Secara sosial rakyat terpecah belah dan saling tidak percaya satu sama lain. Suatu kenyataan yang, selain berbagai faktor lainnya, juga melatar-belakangi mengapa rakyat Papua dewasa ini menuntut untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

Dalam sebuah esainya yang inspiratif, John Rumbiak menulis dengan tajam, “Penjajahan didukung oleh teori-teori kebudayaan yang rasialis. Kaum penjajah beranggapan bahwa kelompok masyarakat yang dijajah tidak berkebudayaan atau kebudayaannya rendah dan oleh karena itu berbagai kebijakan dilakukan untuk memperadabkan sekaligus menaklukkan kelompok masyarakat tersebut.” Ia mengutip tokoh pembebasan Frantz Fanon, seorang psikiater asal Caribbean yang kemudian mendukung perjuangan bangsa Aljazair dari penjajahan Perancis. Hal yang sama juga dilihat John Rumbiak dalam konteks penjajahan Indonesia terhadap bangsa Papua Barat. Ia menuliskan:

Kebijakan apapun yang diambil oleh suatu pemerintah di manapun di dunia ini terhadap suatu kelompok masyarakat yang dikuasai tidak terlepas dari PERSEPSI yang ada pada si penguasa. Persepsi itu terbangun dari latar belakang kebudayaan, sejarah dan keinginan-keinginan juga kekhawatiran-kekhawatiran bagaimana kelompok masyarakat yang ditargetkan itu mesti diatur. Pemerintah Indonesia memandang Papua Barat adalah wilayah integral dari Indonesia yang telah direbut dengan darah melalui Komando Trikora di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, mantan presiden RI yang otoriter. Papua Barat juga dilihat sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, dapur masa depan Indonesia. Dalam suatu ceramah di Aula Universitas Cenderawasih di Jayapura tahun 1983, Ali Murtopo, mantan menteri Penerangan pada waktu itu mengatakan: “Irian Jaya adalah dapur masa depan Indonesia”. Tetapi Papua Barat juga dipandang sebagai wilayah di mana berlangsung apa yang oleh Jakarta disebut sebagai ‘Gerakan Separatis’ yang dapat membahayakan persatuan bangsa. Penduduk asli, bangsa Papua, di wilayah ini dipandang sebagai ‘primitif’ dan terbelakang sehingga mereka mesti diperadabkan.1

Persepsi pemerintah tersebut mendasari lahirnya dua kebijakan utama dalam menangani Papua Barat, yaitu militerisme dan kebijakan-kebijakan pembangunan (transmigrasi, keluarga berencana, turisme, pertambangan, pertanian, dll.). Semua itu dilakukan demi persatuan nasional dan pembangunan. Kebijakan-kebijakan ini selanjutnya “melegalkan” terjadinya Crime Against Humanity in West Papua dewasa ini.

Kompleksitas sejarah dan status politik berawal dari proses perebutan kekuasaan antara Indonesia dan Belanda terhadap Tanah Papua. Proses dekolonisasi Indonesia menyisakan berbagai persoalan. Belanda menyimpan sebuah rencana terhadap West Papua (Papua Barat) untuk menunjukkan perbedaan dengan Papua New Guinea (PNG). Belanda masih mempunyai keinginan untuk melakukan kontrol terhadap West Papua. Belanda mempunyai rencana untuk mempersiapkan kemerdekaan Papua pada 1970. Tahap awalnya adalah pembentukan Dewan Nugini (Nieu Guinea Raad) pada April 1961 yang kemudian dilanjutkan dengan pengibaran bendera Bintang Kejora berdampingan dengan bendera Belanda dan pengenalan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” oleh anggota Dewan Nugini yang kemudian dilanjutkan dengan menerbitkan pernyataan mengenai eksistensi bangsa West Papua. (Salford, 2003; Centre for Humanitarian Dialogue, 2011: 32)

Indonesia kemudian bereaksi dengan mengumandangkan penolakan terhadap bentukan “negara boneka” Belanda terhadap Papua melalui Trikora (Tri Komando Rakyat) pada Desember 1961 oleh Presiden Soekarno yang berkeinginan besar menganeksasi Papua menjadi bagian dari Indonesia. Isi dari Trikora adalah: Hentikan pembentukan negara boneka Papua oleh Belanda; Kibarkan bendera Merah Putih di Papua, tanah air Indonesia; Bersiaplah untuk mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Negara dan Bangsa. Banyak terjadi penolakan terhadap intervensi Indonesia ini, diantaranya datang dari Korps Sukarela Papua (Angkatan Pertahanan Sukarela Papua), sebuah unit bersenjata yang didirikan pada tahun 1961 untuk mempertahankan Papua dari Indonesia. Korps bersenjata ini kemudian dibubarkan ketika UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) meninggalkan Papua tahun 1963.

Dalam kondisi Perang Dingin dan takut Indonesia akan bergabung dalam blok komunis, Amerika mendekati pemerintah Barat lainnya untuk menghentikan dukungan terhadap kebijakan Belanda atas Papua. Akhirnya, Pemerintah Belanda dan Indonesia pada tahun 1962 melaksanakan Perjanjian New York yang mengharuskan Belanda untuk meninggalkan Papua dan menyerahkan kekuasaan kepada UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) untuk periode 6 tahun hingga pemungutan suara dilakukan untuk menentukan apakah rakyat Papua berkeinginan untuk merdeka atau integrasi dengan Indonesia. Namun justru disinilah letak persoalannya. Rakyat Papua sama sekali tidak diikutsertakan dalam Perjanjian New York untuk menentukan nasib atas tanah kelahirannya sendiri. Pada tahun 1964 orang asli Papua elite yang berpendidikan Belanda meminta bahwa Papua harus bebas tidak hanya dari Belanda tetapi juga dari Indonesia. Ketidakpuasan dan peminggiran hak-hak rakyat Papua yang mendiami tanah yang disengketakan inilah yang memantik perjuangan-perjuangan pembebasan bangsa Papua untuk mencapai kemerdekaan secara politik. Maka kemudian berdirilah organisasi perjuangan politik bangsa Papua bernama OPM (Organisasi Papua Merdeka) pada tahun 1965.

Pada tahun 1963 Indonesia mengambilalih administrasi dari UNTEA untuk kemudian dilakukan pemungutan suara “pilihan bebas” (free choice) yang diterapkan oleh PBB dilaksanakan pada tahun 1969 dengan melibatkan lebih dari 1000 kepala suku yang dipilih sebagai perwujudan dari “konsultasi” lokal (dari perkiraan jumlah penduduk pada saat itu sebanyak 800.000 orang), dan bukannya dengan mengadakan pemungutan suara; satu orang satu suara. Masalah keterwakilan politik di atas terkait dengan pendekatan tanpa melibatkan partisipasi penduduk Papua dalam proses pembuatan keputusan dalam keberadaan hidup mereka. Indonesia mengatakan bahwa situasi geografis Papua yang sulit dan budaya politik Indonesia yang memiliki tradisi konsensus berdasar kesepakatan bersama (musyawarah mufakat) dijadikan pembenaran pemberian hak suara kepada perwakilan dibanding referendum. Dalam persepsi Indonesia, orang Papua dianggap “terlalu sederhana” dan “terlalu primitif” untuk memberikan suara.

Akhirnya, pemungutan suara disahkan yang menyetujui pemindahan kekuasaan Papua ke tangan Indonesia melalui resolusi PBB no. 2504 (Agreement between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea, 20 November 1996). Walaupun terdapat kesaksian dari wartawan mengenai beragam pelanggaran yang serius terhadap Perjanjian New York dan ketidaksetujuan dari 15 negara, Papua tetap diserahkan ke Indonesia pada November 1969 dan secara resmi dimasukkan ke dalam Negara Indonesia pada tahun 1973. Babakan sejarah itulah yang kemudian menyulut perasaan dikhianati di antara orang Papua yang percaya bahwa aktor-aktor eksternal yaitu Amerika, Belanda dan PBB mempunyai tanggungjawab moril dalam penyelesaian konflik sejarah dan status politik di Tanah Papua. Hal tersebut di atas berakibat pada keluhan-keluhan bersejarah yang berakar dari perbedaan persepsi mengenai integrasi Papua ke dalam Negara Indonesia. Selama sejarah integrasi Papua tidak dianalisis secara kritis dan terbuka guna menemukan sejarah bersama, maka keluhan historis tetap terpelihara. (Centre for Humanitarian Dialogue, 2011: 33-34; Sugandi, 2008: 4)

Tanah Papua telah menjadi sengketa dunia yang melibatkan Amerika, Uni Soviet, Belanda, Inggris, Australia dan Indonesia dengan kepentingannya masing-masing. Salford (2003 via Hernawan, 2006) menuliskan:

Bagi Barat, khususnya Amerika Serikat, Perjanjian (New York) dipandang sebagai kemenangan penting dalam perjuangan mencegah Indonesia tergelincir ke kamp Komunis. Bahkan Canberra, yang merupakan pendukung Belanda dari dulu, sejak Januari 1962, “memberikan dorongan aktif untuk peralihan kekuasan kepada Indonesia”.
London puas. Pada 1959, terdapat kesediaan rahasia untuk menawarkan dukungan logistik kepada Belanda saat perang. Tetapi pada 1962, makalah Kepala Staff Inggris menyuarakan kekuatiran bahwa bantuan semacam itu akan menyulut pemberontakan kolonial, khususnya di Singapura. Lebih lanjut, “Hal tersebut akan sungguh merusak perundingan tentang penetapan Malaysia Raya dan masa depan kita atas penggunaan Singapura sebagai basis”. Kekuatan Eropa lainnya yang tidak terlibat tampaknya puas saat masalah diselesaikan. Seperti diungkapkan oleh Menlu Jerman Barat, “Saat Indonesia mendapatkan New Guinea Barat, mungkin saja sudah menjadi ‘gurun pasir’ tapi siapa peduli?”
Bagi Soviet, penyelesaian itu mengecewakan. Pertikaian telah menjamin pengaruh mereka sebagai penyalur senjata terbesar bagi Indonesia. Sesaat pengaruh Amerika meningkat di Indo-Cina, wilayah kepulauan ini menjadi wilayah yang penting secara strategis.
Pada akhirnya, orang Papua-lah yang paling kalah dalam seluruh penyelesaian. Mereka tidak memainkan peran apapun dalam perundingan tetapi merekalah yang harus menanggung segala akibatnya. 2

Kompleksitas sejarah, baku tipu status politik, dan perasaan dikhianati orang Papua yang tidak dilibatkan dalam seluruh rangkaian nasib tanah kelahirannya adalah persoalan serius di Tanah Papua hingga kini. Persoalan ini menjadi dasar dari seluruh gerakan-gerakan politik pembebasan Papua dari Indonesia. Hal ini berimplikasi pada ketidakpuasaan, ketidakpercayaan terhadap Indonesia dan perasaan keberbedaan sejarah serta tentunya manipulasi sejarah Papua.

Ingatan Kekerasan dan Penderitaan
Selain kompleksitas sejarah dan manipulasi status politik, ingatan kekerasan dan penderitaan adalah persoalan akut dan paling membekas dalam sejarah kekerasan dan ingatan penderitaan rakyat Papua. Ingatan sosial kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia melalui aparat TNI/Polri diwariskan secara turun-menurun tumbuh menjadi “ingatan penderitaan bangsa Papua” dan dasar gerakan sosial pembebasan bangsa Papua. Namun, ingatan penderitaan ini ditutupi oleh rezim otoritarian negara. Ingatan sosial kekerasan dan penderitaan rakyatnya adalah sebuah ancaman serius yang distigma “separatis”, “terbelakang”, “barbar” dan “tidak berbudaya” untuk membenarkan tindakan kekerasan dan diskriminasi.
Memori subyektif rakyat Papua tentunya menjadi ancama serius bagi stabilitas “keamanan dan ketertiban” yang dibangun negara. Setiap rezim otoriter/totaliter senantiasa memandang memori sebagai ancaman serius. Sebab, memori yang diartikulasikan secara publik bisa membuat segala bentuk kekerasan politik yang dilakukan rezim itu menjadi tampak telanjang. Itulah sebabnya rezim yang demikian senantiasa berusaha membungkam atau memutarbalikkan memori tentang kejahatan atas kemanusiaan. Dengan teknik pengendalian ingatan semacam ini, penguasa melakukan normalisasi kebohongan, yang dilakukan sedemikian rupa sehingga kebohongan itu diterima sebagai “kebenaran”. (Budiawan, 2004)
Di Tanah Papua, sudah menjadi pemandangan umum bahwa aparat TNI/Polri akan jauh melebihi guru-guru dan tenaga kesehatan. Sekolah-sekolah dan Puskesmas akan tampak lengang karena kekurangan tenaga atau meninggalkan tugas, sementara aparat keamanan dan pos-pos penjagaan tidak terhitung jumlahnya. Wilayah-wilayah dimana kehadiran TNI dan/atau Polri amat dominan biasanya rentan mengalami konflik dan bentrokan antara rakyat, gerakan perlawanan, dan aparat keamanan. Wilayah itu mencakup wilayah perbatasan RI―PNG, jalur pegunungan Tengah (Paniai sampai Pegunungan Bintang), wilayah-wilayah yang memiliki eksploitasi sumber alam yang kaya seperti Teluk Bintuni dan Timika.
Rentetan panjang sejarah pelanggaran berat HAM telah mendorong masyarakat Papua untuk menamai perasaan dan pengalaman tak dilindungi dengan istilah genosida. Istilah ini sebenarnya adalah istilah hukum HAM internasional dari Konvensi PBB tentang Genosida tahun 1948 untuk menamai kejahatan terhadap kemanusiaan yang paling serius setara dengan kejahatan perang. Intinya adalah tindak kejahatan yang secara sengaja dan terencana berniat membasmi sebagian atau seluruh kelompok masyarakat, suku, ras atau agama. Meski secara teknis hukum, genosida yang berkembang di Papua belum memenuhi syarat-syarat yang amat ketat terutama mengenai motif dan kebijakan negara serta jumlah korban, tetapi inti perasaan dan terlebih pengalaman tak terlindung makin hari makin kuat. Hak hidup orang Papua makin sulit dijamin ditambah lagi jumlahnya yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan seluruh penduduk Indonesia. Kini perbandingan antara pribumi dan pendatang hampir sama, yakni 58% : 42%. Umumnya, pendatang menguasai sektor ekonomi menengah ke atas dan secara geografis, mendiami wilayah perkotaan; sementara pribumi Papua umumnya tidak memiliki akses ke sektor ekonomi/bisnis serta lebih banyak tinggal di wilayah pedalaman. Perasaan dan pengalaman terpojok, tersudut, dan tak terlindung inilah yang menjadi sumber gerakan perlawanan rakyat Papua. (Hernawan, 2006)
Dalam tesisnya, John Giyai (2010: 91-92; Giay, 2000: 9) menyebutkan bahwa memoria passionis adalah suatu ingatan masa lalu yang tak bisa lupa dari ranah kehidupannya karena pengalaman suatu peristiwa yang menyakitkan fisik maupun psikis dan ceritanya diingat oleh generasi ke generasi. Rentetan peristiwa kemanusiaan (violence) seperti inilah yang menjadi ingatan penderitaan kolektif bagi bangsa Papua. Sejarah kekerasan itulah yang disebut dengan memoria passionis dengan mengambil istilah dari seorang teolog Johan Baptist Metz. Memoria passionis mengacu pada kenangan akan trauma akibat kekerasan terbuka dan marginalisasi sosial dan ekonomis secara umum.
Dalam sejarah Indonesia, pada zaman pemerintah Soeharto, Propinsi Papua dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM), sehingga beberapa kali terjadi Operasi Militer yang dilakukan oleh ABRI atau sekarang disebut TNI. Pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia menempatkan TNI dalam jumlah besar di seluruh Tanah Papua dan dilakukan operasi besar-besaran terjadi dan menewaskan rakyat Papua dalam jumlah besar. Operasi Militer yang dimaksudkan adalah Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Bhratayuda (1967-1969), Operasi Wibawa (1967-1969), Operasi Pamungkas (1969-1971) Operasi militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984) dan Operasi Sapu Bersih (1985), Operasi Militer di Mapnduma (1996). Kemudian jalan kekerasan setelah pemberlakukan Otonomi Khusus adalah pelanggaran HAM di Wasior (2001), Operasi militer di Wamena (2003) dan di Kabupaten Puncak Jaya (2004) (Tebay, 2009:2; Giyai, 2010: 91)
Dalam sejarah masyarakat adat Mimika tak bisa melupakan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada tahun 1996/1977. Hampir seluruh Pegunungan Tengah dilanda oleh Operasi Militer yang menewaskan atau mengorbankan ratusan manusia tak berdoa dan segala harta bendanya pun dibakar ABRI. Memoria passionis yang tak bisa dilupakan, mempengaruhi kehidupan generasi selanjutnya saat ini, yang mempengaruhi masa depan kualitas kehidupan, jika tidak ada rekonsialisi yang lahir dari niat semua pihak, terutama pemerintah. Gereja menganjurkan bahwa setiap umat dilarang melakukan dendaman terhadap orang lain yang melakukan kekerasan terhadapnya, karena ada kesempatan untuk mrekonsiliasi diri atau pertobatan atas kelasahannya. Gereja Katolik mengajarkan kepada umat bahwa Tuhan selalu memberi kesepatan untuk merekonsiliasi atau mempertobatkan diri untuk masuk dalam kehidupan baru. Geraja tidak memihak kepada pelaku kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Tugas utama gereja adalah membela kaum tertindas dan dimarginalisasi. Misi luhur ini adalah misi pembebasan eksistensi manusia dari kedosaan dan kegelapan duniawi. (Giyai, 2010: 92-93)
John Rumbiak secara periodik menuliskan bagaimana pemerintah Indonesia telah melakukan “perang” melawan bangsa Papua sejak 1963 dengan serangkaian kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh TNI/Polri. Saya akan kutip secara utuh bagaimana periode-periode penindasan terhadap rakyat Papua dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
Periode 1963–1969 adalah masa transisi di mana sesudah kedaulatan Papua Barat, berdasarkan New York Agreement 15 Agustus 1962, dilimpahkan dari Pemerintah Belanda ke Pemerintah Indonesia dan persiapan menuju ke apa yang disebut “Act of Free Choice” pada tahun 1969. Pada masa ini pemerintah dan angkatan bersenjata Republik Indonesia memasukkan ribuan aparat keamanan dan petugas-petugas pemerintah untuk memastikan bahwa rakyat Papua Barat menjadi bagian integral dari Republik Indonesia bilamana ‘Act of Free Choice’ terjadi. Rakyat diintimidasi, terjadinya penangkapan dan penahanan di luar hukum, pembunuhan-pembunuhan. Akibatnya hanya 1025 saja dari total 800.000 rakyat Papua waktu itu yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia untuk secara terpaksa memilih menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Periode 1970–1984 adalah periode perlawanan rakyat Papua yang memprotes hasil ‘Act of Free Choice’ dalam bentuk berdirinya ‘Organisasi Papua Merdeka’ (OPM) menjastifikasi berlangsungnya operasi-operasi militer di wilayah-wilayah yang diidentifikasi sebagai kantong-kantong gerakan OPM. Ribuan pasukan militer diturunkan di wilayah-wilayah tersebut, kebebasan rakyat dipasung dan pembantaian terhadap rakyat pun digelar. Operasi-operasi militer tersebut antara lain: Kasus Biak (1970/1980); Kasus Wamena (1977) dan Kasus Jayapura (1970/1980). Kasus 1984 di mana Arnold C. Ap dan Eduard Mofu, dua seniman Papua dibunuh dan 12.000 penduduk kemudian mengungsi ke Papua New Guinea.
Periode 1985–1995 mencatatkan bagaimana operasi militer untuk menumpas OPM terus dilancarkan aparat keamanan, terutama di kawasan pegunungan tengah Papua Barat. Dari semua peristiwa yang terjadi ‘Kasus Timika 1994/1995’ yang melibatkan PT Freeport Indonesia yang dilaporkan Keuskupan Gereja Katolik Jayapura di mana 16 orang dibunuh, 4 orang hilang dan puluhan lainnya ditahan dan disiksa serta 5 perempuan ditahan dan diperkosa.
Periode 1996–1998 kembali dilakukan operasi militer menumpas OPM pimpinan Kelly Kwalik yang menyandera para ilmuwan barat di wilayah Mapnduma, Pegunungan Tengah Papua Barat dalam jangka waktu 1996–1998. Menurut ELSHAM Papua Barat (Mei 1998), drama penyanderaan ini menjadi alasan bagi pihak militer Indonesia untuk kemudian melanarkan operasi militer baik pada masa penyanderaan, operasi pembebasan sandera dan pasca pembebasan sandera di mana sekitar 35 penduduk sipil dibunuh, 13 perempuan diperkosa, 166 rumah penduduk dan 13 gereja (Gereja Kemah Injil Indonesia) dibakar musnah.
Periode 1998–2000 adalah masa tumbangnya kekuasaan otoritarian rezim Suharto. Namun di Tanah Papua pada bulan Mei 1998 berbagai tindak kekerasan dilakukan oleh aparat keamanan terhadap rakyat Papua Barat yang melakukan hak kebebasan berekspresi dengan berdemonstrasi dan mengibarkan bendera Papua Barat (Bintang Fajar) di berbagai kota di Tanah Papua.
Melihat begitu maraknya pelanggaran HAM di Tanah Papua, maka hadirlah Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua yang menjadi jawaban atas situasi kekerasan kemanusiaan yang begitu massif. Konflik dan kekerasan yang terjadi di Tanah Papua, telah mendorong terjadinya rangkaian pelanggaran HAM secara sistematik dan meluas di Papua. Meningkatnya eskalasi kekerasan yang disertai dengan pelanggaran HAM, telah menimbulkan kekhawatiran terhadap eksistensi orang Papua, termasuk didalamnya upaya penyelesaian konflik secara komprehensif.
Berawal dari diskusi terbatas yang dilakukan oleh beberapa individu yang peduli dengan situasi HAM di Papua, dibentuklah Irian Jaya Working Group for Justice and Peace (IWGJP) 1995. Kehadiran IWGJP telah berhasil untuk melakukan monitoring dan investigasi terhadap serangkaian kasus pelanggaran HAM yang terjadi di daerah Asmat, Bade dan Tembagapura. Melalui kerja sama dengan ACFOA di Australia, Herman Muninghoff, OFM (Uskup Jayapura), mengirimkan laporan situasi pelanggaran HAM yang terjadi di sekitar areal konsesi PT Freeport Indonesia, tepatnya di kampung Arwanop dan Mbanti. Laporan tersebut menjadi langkah awal dari pengungkapan sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, yang sejak tahun 1963, tidak terungkap ke publik.
Memandang pentingnya pemantauan, penyelidikan dan publikasi secara lebih efektif dan kontinyu, maka sejumlah individu bersepakat untuk membentuk lembaga independen yang secara permanen bekerja untuk melakukan advokasi yang lebih intensif terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua. Akhir 1997, bertempat di Honai Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD), IWGJP memprakarsai pertemuan yang dihadiri oleh beberapa individu seperti: Pdt. Herman Saud, M.Th., Uskup Herman Muninghoff, OFM., Zadrak Wamebu, Edison Giay, Barend Rumaikeuw, John Rumbiak, Aloy Renwarin, Johanes Bonay, Fien Jarangga, Yan C.H. Warinusi, Demianus Waney, Robert Mandosir, Silvester Wogan, Deny Yomaki, Yoseph Bawen dan Ferry Marisan. Pertemuan tersebut kemudian memberikan rekomendasi untuk mendirikan lembaga yang kini dikenal sebagai ELSHAM Papua.3
Nasionalisme Papua dan Benih Gerakan Sosial
Berlangsungnya kejahatan terhadap kemanusiaan di Tanah Papua inilah yang mengakibatkan tumbuh suburnya gerakan nasionalisme Papua dan menyemaikan gerakan-gerakan sosial baru dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perempuan, organisasi pembebasan Papua, dan gereja.
Masa-masa penting dalam pembentukan identitas ke-Indonesia-an (1945―1963) sama sekali tidak melibatkan rakyat Papua. Papua juga tidak pernah ikut (diikut-sertakan) dalam peristiwa historis seperti Sumpah Pemuda 1928. Maka konsepsi dan wacana lokal Papua berkembang sendiri untuk jangka waktu lama dan kemudian dibebani pula oleh pemerasan dan kebiadaban Orde Baru. Singkatnya, nasionalisme Papua berkembang dari kesadaran-lokal, kesadaran etnik dan menjadi kental akibat pengalaman pahit dan tragis di bawah Orde Baru.
Mengutip antropolog dan agamawan Benny Giay, Santoso (2001) mengungkapkan pada hakekatnya nasionalisme Papua terdiri dari tiga unsur: kesadaran etnik ke-Papua-an; protes besar terhadap Orde Baru; dan protes terhadap permainan dunia luar. Di bawah Orde Baru, untuk pertama kali dalam sejarah, Papua mengalami suatu kolonialisme yang bukan cuma menyerap sumber daya alam ke wilayah lain, tapi juga memperkenalkan pembantaian manusia oleh aparat negara. Itulah pasal pokoknya, kata orang di sini. Dalam kaitan itu, ada permainan dunia internasional terhadap Papua. Yang terakhir ini merujuk pada peranan Belanda, Indonesia, PBB dan Amerika Serikat yang akhirnya melahirkan kompromi Perjanjian New York 1962 dan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969. Amerika, dengan obsesi Perang Dingin kala itu, membantu Presiden Soekarno menuntut hak atas Irian Barat. Adalah ulah jendral-jendral Orde Baru seperti Ali Moertopo yang tak pernah hormat pada demokrasi dan hak hak bangsa lain, yang kemudian memanipulasi Pepera tersebut, dengan memperdaya 1026 wakil Papua pada 1969. Sekarang, orang Papua tidak mau dipecundangi lagi.4
Sementara gerakan sosial pasca nasionalisme etnik tersebut bertransformasi menjadi gerakan-gerakan sosial berbasis pada LSM dan gereja. Adalah pada tahun 1980 ketika dilakukan diskusi di Biara APO dan Keuskupan Jayapura. Tujuan dari diskusi itu adalah untuk melihat kemungkinan bagaimana cara mengangkat permasalahan-permasalahan HAM di Papua kepermukaan, termasuk ke tingkat Internasional. Maka terbentuklah KKO (Kelompok Kerja Oikumene) yang kemudian membentuk IRJADISC yang berbasis di Lembaga Antropologi Universitas Cendrawasih sehingga sangat dekat hubungannya dengan kurator Museum Universitas Cendrawasih yaitu Arnold Ap maupun Ketua Lembaga Antropologi Universitas Cendrawasih, DR Daan Ajamiseba. IRJADISC menjadi lembaga hukum yang solid dengan diberi nama Yayasan Pengembangan Masyakat Desa (YPMD). Tahun 1984, gerakan masyarakat sipil ini dalam situasi yang rumit. Karena Arnold Ap dituduh otak di balik eksodus 10.000 orang ke Papua New Guinea dan dituding sebagai Menteri Kebudayaan Republik Papua Merdeka di bawah Komando Brigjen. Zet Rumkorem. Ia ditangkap oleh Kopasanda, dijebak dan melarikan diri dan dibunuh di Pasir 6. Ini tentu menjadi pukulan yang sangat berat bagi IRJADISC.
Berita dari kampung pun terbit yang kemudian berubah nama menjadi Kabar Dari Kampung (KDK). KDK selalu diasuh dalam bahasa Indonesia populer dan bahasa Indonesia―Papua. Waktu itu KDK merupakan majalah yang banyak dibaca oleh masyarakat desa dan masyarakat di Papua. Itulah spiritnya Arnorld Ap, termasuk yang lainnya yaitu pentingnya mengetahui struktur budaya, sistem budaya, sistem sosial masyarakat diberbagai di Papua sebagai entry point sewaktu introduksi sosial. Tetapi ketergantungan IRJADISC pada Universitas Cenderawasih (Uncen) itu berat. Uncen mulai takut karena soal-soal kritis yang dilontarkan oleh IRJADISC dan YPMD. IRJADISC Uncen kemudian ditinggalkan dan orang-orannya masuk ke YPMD plus KDK hingga mulai dikenal di luar negeri. Pada tahun ini juga LBH didirikan di Papua. Gereja Katolik dan GKI meminta kepada YLBHI agar LBH didirikan di Papua.5
Rakyat Dong yang Selalu Menjadi Korban
Mulai berkembangnya gerakan masyarakat sipil, perempuan dan gereja direspon dengan dingin dan hati-hati oleh Pemerintah Indonesia. Catatan yang menarik dilakukan oleh SKP (Sekretariat Keadilan dan Perdamaian) Jayapura (2001).6 Gaya penanganan pemerintah sejak 1998 hingga 2000 boleh disebut kebijakan menebar jala. Mula-mula segala ungkapan hati, kejengkelan, demo-demo, reaksi anti militer/polisi, teriakan M (merdeka) dibiarkan tanpa ada pelarangan apalagi penangkapan. Seluruh lapisan masyarakat Papua seakan-akan mendapat ruang hidup seluas-luasnya. Tim 100 boleh bertemu dengan Presiden B. J. Habibie. Boleh diadakan Mubes dan Kongres. Boleh dikibarkan bendera Papua dan dinyanyikan lagu “Hai, Tanahku Papua”. Boleh didirikan Satgas Papua berikut posko-poskonya. Jala ditebarkan dalam-dalam hingga akhirnya ikan masuk dan jala ditarik. Inilah yang terjadi dengan instruksi penurunan bendera Papua pada 29 September 2000 dari Kapolri yang menjadi gebrakan awal untuk melakukan langkah represi luar biasa.
Terhadap gerakan massa, represi dilakukan dengan begitu mudahnya masyarakat dianiaya, ditangkap, disiksa, dan ditembak mati sedangkan pemimpin-pemimpin rakyat ditahan. Represi ini mendatangkan dampak yang tidak sederhana: [1] kekerasan antar kelompok masyarakat seperti telah terbukti di Wamena (6 Oktober), Merauke (2 Desember); [2] pengungsian baik warga Papua maupun non-Papua; [3] ketakutan yang bersifat sistemik di tingkat masyarakat; [4] kecurigaan antar berbagai kelompok dalam masyarakat; [5] kebingungan karena kehilangan kepemimpinan; [6] makin menipisnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah di segala tingkat. Nada dasar dari semua ini adalah diciptakannya suasana konflik dan kekerasan yang pelan-pelan diidentikkan sebagai ciri perjuangan orang Papua. Semua tindakan ini sangat tidak proporsional mengingat bahwa seluruh perjuangan rakyat Papua dijalankan secara damai; maka sangat sinis bahwa aparat negara hanya tahu menjawab dengan menahan “tokoh-tokoh perjuangan damai”, dan hanya tahu turut mengubah suatu iklim damai menjadi suatu iklim kekerasan.
Dalam konteks budaya, masyarakat dong juga menjadi korban dengan pemaksaan nilai “keberadaban” yang dilakukan dalam program-program pemerintah. Salah satunya adalah operasi koteka. Identitas kolektif orang asli Papua sebagai sebuah masyarakat yang modern dan beradab dipaksakan melalui program pemerintah tersebut. Tahun 1971-1973, pemerintah Indonesia melaksanakan Operasi Koteka (penutup penis dari sejenis labu, sebagai pakaian tradisional di dataran tinggi di Papua) yang terdiri atas elemen-elemen Angkatan Bersenjata dan Pemerintah Sipil. TNI/Polri dan aparat birokrasi bergabung dalam kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk membuat masyarakat-masyarakat pedalaman Papua beradab dan untuk mengembangkan serta menciptakan kondisi-kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik, yang akan digunakan untuk pengembangan Papua lebih lanjut, dengan tujuan utamanya menciptakan ide-ide nasional (dalam perspektif Indonesia) yaitu, masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Operasi Koteka adalah kampanye militer Indonesia yang bertujuan untuk mempengaruhi orang asli Papua di pegunungan untuk meninggalkan aspek-aspek dari kebudayaan asli mereka, bersekolah, menjadi modern secara ekonomi, dan mengadaptasi identitas Indonesia yang lebih umum. Para pejabat berusaha untuk memaksa masyarakat suku Dani sebagai orang Pegunungan Papua untuk menukar Koteka mereka dengan pakaian bergaya Indonesia. Dengan demikian, strategi mempermalukan (humiliation strategy) digunakan dalam proses pembangunan di kalangan masyarakat Dani untuk membuat mereka lebih terlibat dalam perubahan sosial. Ketidakberimbangan kekuasaan tercermin dalam persepsi terhadap penduduk asli melalui pelecehan terhadap budaya-budaya tradisional lokal dan melabel budaya tersebut sebagai “terbelakang” dan “tidak beradab”. Atas nama pembangunan modern dan kemajuan, strategi mempermalukan yang meyakinkan masyarakat atas ketidakberhargaan diri dan budaya mereka tidak berharga sehingga mereka merasakan inferiority complex dan dipaksa untuk terlibat dalam perubahan sosial.
Akumulasi keputusasaan penduduk asli Papua dilanjutkan dengan pengabaian hak-hak budaya sebagai cerminan martabat kolektif mereka. Masyarakat asli Papua merasa martabat dan identitas mereka tidak diakui (contoh: proses yang tidak melibatkan mereka dalam kebijakan seperti program transmigrasi, penolakan pengakuan terhadap tanah ulayat atau wilayah nenek moyang, eksploitasi sumber daya alam, kurangnya kesempatan bagi masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam administrasi negara, dll.). Masyarakat asli Papua mengekspresikan kefrustasian mereka yang sudah terakumulasi sejak lama melalui pelbagai demonstrasi damai. (Sugandi, 2008:5-6) [ ]

[1] Lihat John Rumbiak, Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Papua Barat (Demi Persatuan Nasional dan Pembangunan), (artikel tanpa tahun), elshamnewsservice (diakses Januari 2011).
[2] Salftford, John., 2003, The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969, London: Routledge Curzon, hlm. 13-14 via Hernawan (2006).
[3] Seluruh bagian ini diambil dari “12 Tahun Penegakan Hak Asasi Manusia di Tanah Papua: Catatan Refleksi 12 Tahun kehadiran ELSHAM di Tanah Papua”, elshamnewsservice (diakses 14 Agustus 2011).
[4] Seluruh bagian ini saya kutip dari Aboeprijadi Santoso, “Bintang Kejora Nasionalisme Etnik Papua Berkembang Alamiah”, Radio Hilversum, 26 Januari 2001. 
[5] Seluruh bagian ini saya kutip dari Simone Baab dan Victor Mambor, wawancara dengan George Junus Aditjondro, “Gerakan Masyakarat Sipil di Papua”, fokerlsmpapua.org (diakses 10 April 2011).
[6] Catatan SKP Jayapura (044/SKP/01/1.5.) “Papua, Ko Mau Kemanakah?” (2001).

*Dosen Fakultas Sastra―Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.
e-mail: ngurahsuryawan@gmail.com & ngurahsuryawan@etnohistori.org

Sumber website: ngurahsuryawan.com




 
Copyright © 2013. RASUDO FM DOGIYAI - All Rights Reserved

Distributed By Free Blogger Templates | Lyrics | Songs.pk | Download Ringtones | HD Wallpapers For Mobile

Proudly powered by Blogger