oleh: I Ngurah Suryawan*
Karena
nasibnya hampir selalu kalah dan akhirnya dibantai secara massal, maka
pemberontakan yang besar sama sekali tidak taktis untuk mencapai suatu
hasil yang lestari. Pertarungan yang sabar dan diam-diam yang dilakukan
dengan tekad yang kuat oleh masyarakat-masyarakat (Papua―pen.) selama bertahun-tahun akan lebih banyak mendatangkan hasil daripada percikan-percikan gelora seketika itu. (March Bloch, Frech Rural History dalam James C. Scott, Senjatanya Orang-Orang yang Kalah, 2000)
Heteroginitas
etnik yang tinggi, kebudayaan dan kompleksitas adat serta gerakan
sosial di tanah Papua memiliki sejarah yang komplek dan penuh dengan
ketegangan dan konflik. Terdapat lebih dari 253 etnik dengan bahasa,
struktur sosial, tradisi, sistem kepercayaan/agama, dan kondisi
geografis yang berbeda-beda. Kompleksitas persoalan di Tanah Papua
terjadi seiring dengan peralihan kekuasaan-kekuasaan (politik) terhadap
tanah Papua. Salah satu momen penting pentas kekuasaan terhadap tanah
Papua terjadi pada tahun 1940-an hingga 1960-an. Saat itu terjadi Perang
Dunia II yang berimpikasi kepada proses penyerahan kedaulatan Belanda
atas Indonesia termasuk di dalamnya Papua. Proses peralihan kekuasaan di
Papua berujung kepada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Juli―Agustus
1969 yang menyatakan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Namun demikian, sejarah Papua setelah 1969 menunjukkan
bahwa hasil Pepera itu justru menjadi salah satu akar konflik yang
berkepenjangan.
Sepanjang
pemerintahan Orde Baru sejak tahun 1969, Papua menjadi salah satu objek
pembangunan tanpa rekognisi yang memadai pada kompleksitas sejarah dan
budaya Papua. Salah satu diantaranya dalam bentuk penyeragaman desa
berdasar Undang-Undang Desa nomor 5 Tahun 1979 dan eksploitasi sumber
daya alam oleh perusahaan komersial. Pemaksaan-pemaksaan nilai terjadi
melalui pendidikan, birokrasi bahkan melalui lembaga-lembaga keagamaan.
Catatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua dikenal secara
internasional dalam intesitas yang tinggi. Berita mengenai Papua sarat
dengan kisah-kisah mengenai gerakan-gerakan perlawanan untuk merdeka dan
protes pelanggaran hak asasi manusia. Pasca reformasi, pemberlakuan
Undang-Undang nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus)
Provinsi Papua serta Inpres nomor 1 Tahun 2003 tentang pemekaran daerah
semakin mewarnai pergolakan kekuasaan terhadap tanah Papua.
Kompleksitas
permasalahan yang terjadi di Tanah Papua mengendap bagai api dalam
sekam. Percikan-percikan ekspresi rakyat Papua terus-menerus muncul
sebagai reaksi atas ketidakadilan, kekerasan dan pengingkaran akan
kemanusiaan. Negara (baca: kekuasaan Pemerintah Indonesia) menyumbang
peran yang paling besar dalam melaksanakan kekuasaannya di Bumi
Cenderawasih ini. Rangkaian kebijakan pembangunan dan intervensi politik
dan kekerasan menunjukkan bagaimana Tanah Papua seperti daerah lainnya
di Indonesia telah dijadikan “objek penderitaan” tanpa henti.
Pertanyaannya sederhana, mengetahui tanahnya kaya, mengapa rakyat Papua
hingga kini masih ada yang miskin? Bagaimana hak-hak dasar rakyat Papua
dan identitas politik budaya mereka dihargai oleh negara?
LIPI
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), institusi penelitian milik
negara, telah mengindentifikasi setidaknya ada 4 kompleksitas persoalan
yang hingga saat ini masih terjadi di Tanah Papua. Pertama, marginalisasi orang asli Papua, terutama dalam hak ekonomi sebagai efek migrasi penduduk. Kedua, kegagalan program pembangunan di Papua untuk mengatasi marginalisasi ekonomi. Ketiga, perbedaan pemahaman mendasar terhadap sejarah antara Jakarta dan Papua. Keempat,
kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat Papua.
Kekerasan ini diakibatkan dari lamanya pendekatan militer-keamanan dalam
mengatur. Papua yang dimotivasi oleh ketakutan akan usaha “kaum
separatis” untuk memecah belah. Pendekatan ini didukung oleh kaum
nasionalis (membabi buta―pen.) di Jakarta yang mendominasi baik
kaum sipil maupun birokrat militer, dan berlanjut hingga transisi
Indonesia ke demokrasi. Ada tuduhan yang terus menerus terhadap
kekerasan para “pemimpin separatis” seperti pembunuhan Kelly Kwalik
tahun 2009 oleh Densus 88 yang menimbulkan dan menguatkan kebencian
terhadap Jakarta terutama oleh kaum muda Papua di pegunungan (dataran
tinggi). (Widjojo, 2009; 2010; Centre for Humanitarian Dialogue, 2011: 39)
Bagian
pendahuluan buku kecil ini mencoba menguraikan serangkaian kompleksitas
permasalahan yang terjadi di Papua (status sejarah dan politik, ingatan
kekerasan dan penderitaan, diskriminasi pembangunan dan peminggiran
harkat dan martabat orang asli Papua, dan “gula-gula politik otsus dan
pemekaran daerah”). Dari kompleksitas persoalan tersebut kemudian
diakhiri dengan bagaimana secara antropologis memahami persoalan di
Papua secara reflektif, inklusif dan emansipatoris. Dengan pendekatan
antropologi reflektif inilah inisiatif-inisiatif dialog transformatif
dan mewujudkan “Papua Tanah Damai” akan menjadi medium pembebasan bagi
bangsa Papua yang akan bangkit memimpin dan sudah tentu membebaskan diri
mereka sendiri.
Jiwa yang Patah: Kompleksitas Sejarah dan Status Politik West Papua
“Jiwa
yang patah” adalah istilah dari John Rimbiak, pembela hak-hak asasi
manusia Papua dan salah satu putra terbaik yang dimiliki bangsa Papua
untuk menggambarkan bagaimana isi hati, harkat, dan jati diri rakyat
Papua untuk membebaskan dirinya telah dirampas oleh berbagai tindakan
kekerasan terhadap kemanusiaan yang telah dilakukan negara dan
kekuasaannya (baca: Indonesia). Mereka mengalami “Jiwa yang Patah”
(hilang percaya diri, frustrasi, apatis, mengendapkan dendam dan
kebencian yang mendalam terhadap pihak yang membuat mereka menderita).
Secara sosial rakyat terpecah belah dan saling tidak percaya satu sama
lain. Suatu kenyataan yang, selain berbagai faktor lainnya, juga
melatar-belakangi mengapa rakyat Papua dewasa ini menuntut untuk
melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bangsa
yang merdeka.
Dalam
sebuah esainya yang inspiratif, John Rumbiak menulis dengan tajam,
“Penjajahan didukung oleh teori-teori kebudayaan yang rasialis. Kaum
penjajah beranggapan bahwa kelompok masyarakat yang dijajah tidak
berkebudayaan atau kebudayaannya rendah dan oleh karena itu berbagai
kebijakan dilakukan untuk memperadabkan sekaligus menaklukkan kelompok
masyarakat tersebut.” Ia mengutip tokoh pembebasan Frantz Fanon, seorang
psikiater asal Caribbean yang kemudian mendukung perjuangan bangsa
Aljazair dari penjajahan Perancis. Hal yang sama juga dilihat John
Rumbiak dalam konteks penjajahan Indonesia terhadap bangsa Papua Barat.
Ia menuliskan:
Kebijakan
apapun yang diambil oleh suatu pemerintah di manapun di dunia ini
terhadap suatu kelompok masyarakat yang dikuasai tidak terlepas dari
PERSEPSI yang ada pada si penguasa. Persepsi itu terbangun dari latar
belakang kebudayaan, sejarah dan keinginan-keinginan juga
kekhawatiran-kekhawatiran bagaimana kelompok masyarakat yang ditargetkan
itu mesti diatur. Pemerintah Indonesia memandang Papua Barat adalah
wilayah integral dari Indonesia yang telah direbut dengan darah melalui
Komando Trikora di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, mantan presiden RI
yang otoriter. Papua Barat juga dilihat sebagai wilayah yang kaya akan
sumber daya alam, dapur masa depan Indonesia. Dalam suatu ceramah di
Aula Universitas Cenderawasih di Jayapura tahun 1983, Ali Murtopo,
mantan menteri Penerangan pada waktu itu mengatakan: “Irian Jaya adalah
dapur masa depan Indonesia”. Tetapi Papua Barat juga dipandang sebagai
wilayah di mana berlangsung apa yang oleh Jakarta disebut sebagai
‘Gerakan Separatis’ yang dapat membahayakan persatuan bangsa. Penduduk
asli, bangsa Papua, di wilayah ini dipandang sebagai ‘primitif’ dan
terbelakang sehingga mereka mesti diperadabkan.1
Persepsi
pemerintah tersebut mendasari lahirnya dua kebijakan utama dalam
menangani Papua Barat, yaitu militerisme dan kebijakan-kebijakan
pembangunan (transmigrasi, keluarga berencana, turisme, pertambangan,
pertanian, dll.). Semua itu dilakukan demi persatuan nasional dan
pembangunan. Kebijakan-kebijakan ini selanjutnya “melegalkan” terjadinya
Crime Against Humanity in West Papua dewasa ini.
Kompleksitas
sejarah dan status politik berawal dari proses perebutan kekuasaan
antara Indonesia dan Belanda terhadap Tanah Papua. Proses dekolonisasi
Indonesia menyisakan berbagai persoalan. Belanda menyimpan sebuah
rencana terhadap West Papua (Papua Barat) untuk menunjukkan
perbedaan dengan Papua New Guinea (PNG). Belanda masih mempunyai
keinginan untuk melakukan kontrol terhadap West Papua. Belanda mempunyai rencana untuk mempersiapkan kemerdekaan Papua pada 1970. Tahap awalnya adalah pembentukan Dewan Nugini (Nieu Guinea Raad)
pada April 1961 yang kemudian dilanjutkan dengan pengibaran bendera
Bintang Kejora berdampingan dengan bendera Belanda dan pengenalan lagu
kebangsaan “Hai Tanahku Papua” oleh anggota Dewan Nugini yang kemudian
dilanjutkan dengan menerbitkan pernyataan mengenai eksistensi bangsa West Papua. (Salford, 2003; Centre for Humanitarian Dialogue, 2011: 32)
Indonesia
kemudian bereaksi dengan mengumandangkan penolakan terhadap bentukan
“negara boneka” Belanda terhadap Papua melalui Trikora (Tri Komando
Rakyat) pada Desember 1961 oleh Presiden Soekarno yang berkeinginan
besar menganeksasi Papua menjadi bagian dari Indonesia. Isi dari Trikora
adalah: Hentikan pembentukan negara boneka Papua oleh Belanda; Kibarkan
bendera Merah Putih di Papua, tanah air Indonesia; Bersiaplah untuk
mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Negara dan Bangsa. Banyak
terjadi penolakan terhadap intervensi Indonesia ini, diantaranya datang
dari Korps Sukarela Papua (Angkatan Pertahanan Sukarela Papua), sebuah
unit bersenjata yang didirikan pada tahun 1961 untuk mempertahankan
Papua dari Indonesia. Korps bersenjata ini kemudian dibubarkan ketika
UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) meninggalkan Papua tahun 1963.
Dalam
kondisi Perang Dingin dan takut Indonesia akan bergabung dalam blok
komunis, Amerika mendekati pemerintah Barat lainnya untuk menghentikan
dukungan terhadap kebijakan Belanda atas Papua. Akhirnya, Pemerintah
Belanda dan Indonesia pada tahun 1962 melaksanakan Perjanjian New York
yang mengharuskan Belanda untuk meninggalkan Papua dan menyerahkan
kekuasaan kepada UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority)
untuk periode 6 tahun hingga pemungutan suara dilakukan untuk
menentukan apakah rakyat Papua berkeinginan untuk merdeka atau integrasi
dengan Indonesia. Namun justru disinilah letak persoalannya. Rakyat
Papua sama sekali tidak diikutsertakan dalam Perjanjian New York untuk
menentukan nasib atas tanah kelahirannya sendiri. Pada tahun 1964 orang
asli Papua elite yang berpendidikan Belanda meminta bahwa Papua harus
bebas tidak hanya dari Belanda tetapi juga dari Indonesia. Ketidakpuasan
dan peminggiran hak-hak rakyat Papua yang mendiami tanah yang
disengketakan inilah yang memantik perjuangan-perjuangan pembebasan
bangsa Papua untuk mencapai kemerdekaan secara politik. Maka kemudian
berdirilah organisasi perjuangan politik bangsa Papua bernama OPM
(Organisasi Papua Merdeka) pada tahun 1965.
Pada tahun 1963 Indonesia mengambilalih administrasi dari UNTEA untuk kemudian dilakukan pemungutan suara “pilihan bebas” (free choice)
yang diterapkan oleh PBB dilaksanakan pada tahun 1969 dengan melibatkan
lebih dari 1000 kepala suku yang dipilih sebagai perwujudan dari
“konsultasi” lokal (dari perkiraan jumlah penduduk pada saat itu
sebanyak 800.000 orang), dan bukannya dengan mengadakan pemungutan
suara; satu orang satu suara. Masalah keterwakilan politik di atas
terkait dengan pendekatan tanpa melibatkan partisipasi penduduk Papua
dalam proses pembuatan keputusan dalam keberadaan hidup mereka.
Indonesia mengatakan bahwa situasi geografis Papua yang sulit dan budaya
politik Indonesia yang memiliki tradisi konsensus berdasar kesepakatan
bersama (musyawarah mufakat) dijadikan pembenaran pemberian hak suara
kepada perwakilan dibanding referendum. Dalam persepsi Indonesia, orang
Papua dianggap “terlalu sederhana” dan “terlalu primitif” untuk
memberikan suara.
Akhirnya,
pemungutan suara disahkan yang menyetujui pemindahan kekuasaan Papua ke
tangan Indonesia melalui resolusi PBB no. 2504 (Agreement between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea,
20 November 1996). Walaupun terdapat kesaksian dari wartawan mengenai
beragam pelanggaran yang serius terhadap Perjanjian New York dan
ketidaksetujuan dari 15 negara, Papua tetap diserahkan ke Indonesia pada
November 1969 dan secara resmi dimasukkan ke dalam Negara Indonesia
pada tahun 1973. Babakan sejarah itulah yang kemudian menyulut perasaan
dikhianati di antara orang Papua yang percaya bahwa aktor-aktor
eksternal yaitu Amerika, Belanda dan PBB mempunyai tanggungjawab moril
dalam penyelesaian konflik sejarah dan status politik di Tanah Papua.
Hal tersebut di atas berakibat pada keluhan-keluhan bersejarah yang
berakar dari perbedaan persepsi mengenai integrasi Papua ke dalam Negara
Indonesia. Selama sejarah integrasi Papua tidak dianalisis secara
kritis dan terbuka guna menemukan sejarah bersama, maka keluhan historis
tetap terpelihara. (Centre for Humanitarian Dialogue, 2011: 33-34; Sugandi, 2008: 4)
Tanah
Papua telah menjadi sengketa dunia yang melibatkan Amerika, Uni Soviet,
Belanda, Inggris, Australia dan Indonesia dengan kepentingannya
masing-masing. Salford (2003 via Hernawan, 2006) menuliskan:
Bagi
Barat, khususnya Amerika Serikat, Perjanjian (New York) dipandang
sebagai kemenangan penting dalam perjuangan mencegah Indonesia
tergelincir ke kamp Komunis. Bahkan Canberra, yang merupakan pendukung
Belanda dari dulu, sejak Januari 1962, “memberikan dorongan aktif untuk
peralihan kekuasan kepada Indonesia”.
London
puas. Pada 1959, terdapat kesediaan rahasia untuk menawarkan dukungan
logistik kepada Belanda saat perang. Tetapi pada 1962, makalah Kepala
Staff Inggris menyuarakan kekuatiran bahwa bantuan semacam itu akan
menyulut pemberontakan kolonial, khususnya di Singapura. Lebih lanjut,
“Hal tersebut akan sungguh merusak perundingan tentang penetapan
Malaysia Raya dan masa depan kita atas penggunaan Singapura sebagai
basis”. Kekuatan Eropa lainnya yang tidak terlibat tampaknya puas saat
masalah diselesaikan. Seperti diungkapkan oleh Menlu Jerman Barat, “Saat
Indonesia mendapatkan New Guinea Barat, mungkin saja sudah menjadi
‘gurun pasir’ tapi siapa peduli?”
Bagi
Soviet, penyelesaian itu mengecewakan. Pertikaian telah menjamin
pengaruh mereka sebagai penyalur senjata terbesar bagi Indonesia. Sesaat
pengaruh Amerika meningkat di Indo-Cina, wilayah kepulauan ini menjadi
wilayah yang penting secara strategis.
Pada
akhirnya, orang Papua-lah yang paling kalah dalam seluruh penyelesaian.
Mereka tidak memainkan peran apapun dalam perundingan tetapi merekalah
yang harus menanggung segala akibatnya. 2
Kompleksitas sejarah, baku tipu status
politik, dan perasaan dikhianati orang Papua yang tidak dilibatkan
dalam seluruh rangkaian nasib tanah kelahirannya adalah persoalan serius
di Tanah Papua hingga kini. Persoalan ini menjadi dasar dari seluruh
gerakan-gerakan politik pembebasan Papua dari Indonesia. Hal ini
berimplikasi pada ketidakpuasaan, ketidakpercayaan terhadap Indonesia
dan perasaan keberbedaan sejarah serta tentunya manipulasi sejarah
Papua.
Ingatan Kekerasan dan Penderitaan
Selain
kompleksitas sejarah dan manipulasi status politik, ingatan kekerasan
dan penderitaan adalah persoalan akut dan paling membekas dalam sejarah
kekerasan dan ingatan penderitaan rakyat Papua. Ingatan sosial kejahatan
kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia melalui aparat
TNI/Polri diwariskan secara turun-menurun tumbuh menjadi “ingatan
penderitaan bangsa Papua” dan dasar gerakan sosial pembebasan bangsa
Papua. Namun, ingatan penderitaan ini ditutupi oleh rezim otoritarian
negara. Ingatan sosial kekerasan dan penderitaan rakyatnya adalah sebuah
ancaman serius yang distigma “separatis”, “terbelakang”, “barbar” dan
“tidak berbudaya” untuk membenarkan tindakan kekerasan dan diskriminasi.
Memori
subyektif rakyat Papua tentunya menjadi ancama serius bagi stabilitas
“keamanan dan ketertiban” yang dibangun negara. Setiap rezim
otoriter/totaliter senantiasa memandang memori sebagai ancaman serius.
Sebab, memori yang diartikulasikan secara publik bisa membuat segala
bentuk kekerasan politik yang dilakukan rezim itu menjadi tampak
telanjang. Itulah sebabnya rezim yang demikian senantiasa berusaha
membungkam atau memutarbalikkan memori tentang kejahatan atas
kemanusiaan. Dengan teknik pengendalian ingatan semacam ini, penguasa
melakukan normalisasi kebohongan, yang dilakukan sedemikian rupa
sehingga kebohongan itu diterima sebagai “kebenaran”. (Budiawan, 2004)
Di
Tanah Papua, sudah menjadi pemandangan umum bahwa aparat TNI/Polri akan
jauh melebihi guru-guru dan tenaga kesehatan. Sekolah-sekolah dan
Puskesmas akan tampak lengang karena kekurangan tenaga atau meninggalkan
tugas, sementara aparat keamanan dan pos-pos penjagaan tidak terhitung
jumlahnya. Wilayah-wilayah dimana kehadiran TNI dan/atau Polri amat
dominan biasanya rentan mengalami konflik dan bentrokan antara rakyat,
gerakan perlawanan, dan aparat keamanan. Wilayah itu mencakup wilayah
perbatasan RI―PNG, jalur pegunungan Tengah (Paniai sampai Pegunungan
Bintang), wilayah-wilayah yang memiliki eksploitasi sumber alam yang
kaya seperti Teluk Bintuni dan Timika.
Rentetan
panjang sejarah pelanggaran berat HAM telah mendorong masyarakat Papua
untuk menamai perasaan dan pengalaman tak dilindungi dengan istilah
genosida. Istilah ini sebenarnya adalah istilah hukum HAM internasional
dari Konvensi PBB tentang Genosida tahun 1948 untuk menamai kejahatan
terhadap kemanusiaan yang paling serius setara dengan kejahatan perang.
Intinya adalah tindak kejahatan yang secara sengaja dan terencana
berniat membasmi sebagian atau seluruh kelompok masyarakat, suku, ras
atau agama. Meski secara teknis hukum, genosida yang berkembang di Papua
belum memenuhi syarat-syarat yang amat ketat terutama mengenai motif
dan kebijakan negara serta jumlah korban, tetapi inti perasaan dan
terlebih pengalaman tak terlindung makin hari makin kuat. Hak hidup
orang Papua makin sulit dijamin ditambah lagi jumlahnya yang jauh lebih
kecil dibandingkan dengan seluruh penduduk Indonesia. Kini perbandingan
antara pribumi dan pendatang hampir sama, yakni 58% :
42%. Umumnya, pendatang menguasai sektor ekonomi menengah ke atas dan
secara geografis, mendiami wilayah perkotaan; sementara pribumi Papua
umumnya tidak memiliki akses ke sektor ekonomi/bisnis serta lebih banyak
tinggal di wilayah pedalaman. Perasaan dan pengalaman terpojok,
tersudut, dan tak terlindung inilah yang menjadi sumber gerakan
perlawanan rakyat Papua. (Hernawan, 2006)
Dalam tesisnya, John Giyai (2010: 91-92; Giay, 2000: 9) menyebutkan bahwa memoria passionis adalah
suatu ingatan masa lalu yang tak bisa lupa dari ranah kehidupannya
karena pengalaman suatu peristiwa yang menyakitkan fisik maupun psikis
dan ceritanya diingat oleh generasi ke generasi. Rentetan peristiwa
kemanusiaan (violence) seperti inilah yang menjadi ingatan penderitaan kolektif bagi bangsa Papua. Sejarah kekerasan itulah yang disebut dengan memoria passionis dengan mengambil istilah dari seorang teolog Johan Baptist Metz. Memoria passionis mengacu pada kenangan akan trauma akibat kekerasan terbuka dan marginalisasi sosial dan ekonomis secara umum.
Dalam
sejarah Indonesia, pada zaman pemerintah Soeharto, Propinsi Papua
dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM), sehingga beberapa kali terjadi
Operasi Militer yang dilakukan oleh ABRI atau sekarang disebut TNI. Pada
tanggal 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia menempatkan TNI dalam jumlah
besar di seluruh Tanah Papua dan dilakukan operasi besar-besaran terjadi
dan menewaskan rakyat Papua dalam jumlah besar. Operasi Militer yang
dimaksudkan adalah Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Bhratayuda
(1967-1969), Operasi Wibawa (1967-1969), Operasi Pamungkas (1969-1971)
Operasi militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I
dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas
(1983-1984) dan Operasi Sapu Bersih (1985), Operasi Militer di Mapnduma
(1996). Kemudian jalan kekerasan setelah pemberlakukan Otonomi Khusus
adalah pelanggaran HAM di Wasior (2001), Operasi militer di Wamena
(2003) dan di Kabupaten Puncak Jaya (2004) (Tebay, 2009:2; Giyai, 2010:
91)
Dalam
sejarah masyarakat adat Mimika tak bisa melupakan pelanggaran HAM berat
yang terjadi pada tahun 1996/1977. Hampir seluruh Pegunungan Tengah
dilanda oleh Operasi Militer yang menewaskan atau mengorbankan ratusan
manusia tak berdoa dan segala harta bendanya pun dibakar ABRI. Memoria passionis
yang tak bisa dilupakan, mempengaruhi kehidupan generasi selanjutnya
saat ini, yang mempengaruhi masa depan kualitas kehidupan, jika tidak
ada rekonsialisi yang lahir dari niat semua pihak, terutama pemerintah.
Gereja menganjurkan bahwa setiap umat dilarang melakukan dendaman
terhadap orang lain yang melakukan kekerasan terhadapnya, karena ada
kesempatan untuk mrekonsiliasi diri atau pertobatan atas kelasahannya.
Gereja Katolik mengajarkan kepada umat bahwa Tuhan selalu memberi
kesepatan untuk merekonsiliasi atau mempertobatkan diri untuk masuk
dalam kehidupan baru. Geraja tidak memihak kepada pelaku kejahatan
terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Tugas utama gereja adalah membela kaum
tertindas dan dimarginalisasi. Misi luhur ini adalah misi pembebasan
eksistensi manusia dari kedosaan dan kegelapan duniawi. (Giyai, 2010:
92-93)
John
Rumbiak secara periodik menuliskan bagaimana pemerintah Indonesia telah
melakukan “perang” melawan bangsa Papua sejak 1963 dengan serangkaian
kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh TNI/Polri. Saya akan
kutip secara utuh bagaimana periode-periode penindasan terhadap rakyat
Papua dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
Periode
1963–1969 adalah masa transisi di mana sesudah kedaulatan Papua Barat,
berdasarkan New York Agreement 15 Agustus 1962, dilimpahkan dari
Pemerintah Belanda ke Pemerintah Indonesia dan persiapan menuju ke apa
yang disebut “Act of Free Choice” pada tahun 1969. Pada masa ini
pemerintah dan angkatan bersenjata Republik Indonesia memasukkan ribuan
aparat keamanan dan petugas-petugas pemerintah untuk memastikan bahwa
rakyat Papua Barat menjadi bagian integral dari Republik Indonesia
bilamana ‘Act of Free Choice’ terjadi. Rakyat diintimidasi, terjadinya
penangkapan dan penahanan di luar hukum, pembunuhan-pembunuhan.
Akibatnya hanya 1025 saja dari total 800.000 rakyat Papua waktu itu yang
ditentukan oleh Pemerintah Indonesia untuk secara terpaksa memilih
menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Periode
1970–1984 adalah periode perlawanan rakyat Papua yang memprotes hasil
‘Act of Free Choice’ dalam bentuk berdirinya ‘Organisasi Papua Merdeka’
(OPM) menjastifikasi berlangsungnya operasi-operasi militer di
wilayah-wilayah yang diidentifikasi sebagai kantong-kantong gerakan OPM.
Ribuan pasukan militer diturunkan di wilayah-wilayah tersebut,
kebebasan rakyat dipasung dan pembantaian terhadap rakyat pun digelar.
Operasi-operasi militer tersebut antara lain: Kasus Biak (1970/1980);
Kasus Wamena (1977) dan Kasus Jayapura (1970/1980). Kasus 1984 di mana
Arnold C. Ap dan Eduard Mofu, dua seniman Papua dibunuh dan 12.000
penduduk kemudian mengungsi ke Papua New Guinea.
Periode
1985–1995 mencatatkan bagaimana operasi militer untuk menumpas OPM
terus dilancarkan aparat keamanan, terutama di kawasan pegunungan tengah
Papua Barat. Dari semua peristiwa yang terjadi ‘Kasus Timika 1994/1995’
yang melibatkan PT Freeport Indonesia
yang dilaporkan Keuskupan Gereja Katolik Jayapura di mana 16 orang
dibunuh, 4 orang hilang dan puluhan lainnya ditahan dan disiksa serta 5
perempuan ditahan dan diperkosa.
Periode
1996–1998 kembali dilakukan operasi militer menumpas OPM pimpinan Kelly
Kwalik yang menyandera para ilmuwan barat di wilayah Mapnduma,
Pegunungan Tengah Papua Barat dalam jangka waktu 1996–1998. Menurut
ELSHAM Papua Barat (Mei 1998), drama penyanderaan ini menjadi alasan
bagi pihak militer Indonesia untuk kemudian melanarkan operasi militer
baik pada masa penyanderaan, operasi pembebasan sandera dan pasca
pembebasan sandera di mana sekitar 35 penduduk sipil dibunuh, 13
perempuan diperkosa, 166 rumah penduduk dan 13 gereja (Gereja Kemah
Injil Indonesia) dibakar musnah.
Periode
1998–2000 adalah masa tumbangnya kekuasaan otoritarian rezim Suharto.
Namun di Tanah Papua pada bulan Mei 1998 berbagai tindak kekerasan
dilakukan oleh aparat keamanan terhadap rakyat Papua Barat yang
melakukan hak kebebasan berekspresi dengan berdemonstrasi dan
mengibarkan bendera Papua Barat (Bintang Fajar) di berbagai kota di
Tanah Papua.
Melihat
begitu maraknya pelanggaran HAM di Tanah Papua, maka hadirlah Lembaga
Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua yang menjadi jawaban
atas situasi kekerasan kemanusiaan yang begitu massif. Konflik dan
kekerasan yang terjadi di Tanah Papua, telah mendorong terjadinya
rangkaian pelanggaran HAM secara sistematik dan meluas di Papua.
Meningkatnya eskalasi kekerasan yang disertai dengan pelanggaran HAM,
telah menimbulkan kekhawatiran terhadap eksistensi orang Papua, termasuk
didalamnya upaya penyelesaian konflik secara komprehensif.
Berawal dari diskusi terbatas yang dilakukan oleh beberapa individu yang peduli dengan situasi HAM di Papua, dibentuklah Irian Jaya Working Group for Justice and Peace (IWGJP)
1995. Kehadiran IWGJP telah berhasil untuk melakukan monitoring dan
investigasi terhadap serangkaian kasus pelanggaran HAM yang terjadi di
daerah Asmat, Bade dan Tembagapura. Melalui kerja sama dengan ACFOA di
Australia, Herman Muninghoff, OFM (Uskup Jayapura), mengirimkan laporan
situasi pelanggaran HAM yang terjadi di sekitar areal konsesi PT
Freeport Indonesia, tepatnya di kampung Arwanop dan Mbanti. Laporan
tersebut menjadi langkah awal dari pengungkapan sejumlah kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, yang sejak tahun 1963, tidak
terungkap ke publik.
Memandang
pentingnya pemantauan, penyelidikan dan publikasi secara lebih efektif
dan kontinyu, maka sejumlah individu bersepakat untuk membentuk lembaga
independen yang secara permanen bekerja untuk melakukan advokasi yang
lebih intensif terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua. Akhir
1997, bertempat di Honai Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD),
IWGJP memprakarsai pertemuan yang dihadiri oleh beberapa individu
seperti: Pdt. Herman Saud, M.Th., Uskup Herman Muninghoff, OFM., Zadrak
Wamebu, Edison Giay, Barend Rumaikeuw, John Rumbiak, Aloy Renwarin,
Johanes Bonay, Fien Jarangga, Yan C.H. Warinusi, Demianus Waney, Robert
Mandosir, Silvester Wogan, Deny Yomaki, Yoseph Bawen dan Ferry Marisan.
Pertemuan tersebut kemudian memberikan rekomendasi untuk mendirikan
lembaga yang kini dikenal sebagai ELSHAM Papua.3
Nasionalisme Papua dan Benih Gerakan Sosial
Berlangsungnya
kejahatan terhadap kemanusiaan di Tanah Papua inilah yang mengakibatkan
tumbuh suburnya gerakan nasionalisme Papua dan menyemaikan
gerakan-gerakan sosial baru dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), perempuan, organisasi pembebasan Papua, dan gereja.
Masa-masa
penting dalam pembentukan identitas ke-Indonesia-an (1945―1963) sama
sekali tidak melibatkan rakyat Papua. Papua juga tidak pernah ikut
(diikut-sertakan) dalam peristiwa historis seperti Sumpah Pemuda 1928.
Maka konsepsi dan wacana lokal Papua berkembang sendiri untuk jangka
waktu lama dan kemudian dibebani pula oleh pemerasan dan kebiadaban Orde
Baru. Singkatnya, nasionalisme Papua berkembang dari kesadaran-lokal,
kesadaran etnik dan menjadi kental akibat pengalaman pahit dan tragis di
bawah Orde Baru.
Mengutip
antropolog dan agamawan Benny Giay, Santoso (2001) mengungkapkan pada
hakekatnya nasionalisme Papua terdiri dari tiga unsur: kesadaran etnik
ke-Papua-an; protes besar terhadap Orde Baru; dan protes terhadap
permainan dunia luar. Di bawah Orde Baru, untuk pertama kali dalam
sejarah, Papua mengalami suatu kolonialisme yang bukan cuma menyerap
sumber daya alam ke wilayah lain, tapi juga memperkenalkan pembantaian
manusia oleh aparat negara. Itulah pasal pokoknya, kata orang di sini.
Dalam kaitan itu, ada permainan dunia internasional terhadap Papua. Yang
terakhir ini merujuk pada peranan Belanda, Indonesia, PBB dan Amerika
Serikat yang akhirnya melahirkan kompromi Perjanjian New York 1962 dan
Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969. Amerika, dengan obsesi Perang
Dingin kala itu, membantu Presiden Soekarno menuntut hak atas Irian
Barat. Adalah ulah jendral-jendral Orde Baru seperti Ali Moertopo yang
tak pernah hormat pada demokrasi dan hak hak bangsa lain, yang kemudian
memanipulasi Pepera tersebut, dengan memperdaya 1026 wakil Papua pada
1969. Sekarang, orang Papua tidak mau dipecundangi lagi.4
Sementara
gerakan sosial pasca nasionalisme etnik tersebut bertransformasi
menjadi gerakan-gerakan sosial berbasis pada LSM dan gereja. Adalah pada
tahun 1980 ketika dilakukan diskusi di Biara APO dan Keuskupan
Jayapura. Tujuan dari diskusi itu adalah untuk melihat kemungkinan
bagaimana cara mengangkat permasalahan-permasalahan HAM di Papua
kepermukaan, termasuk ke tingkat Internasional. Maka terbentuklah KKO
(Kelompok Kerja Oikumene) yang kemudian membentuk IRJADISC yang berbasis
di Lembaga Antropologi Universitas Cendrawasih sehingga sangat dekat
hubungannya dengan kurator Museum Universitas Cendrawasih yaitu Arnold
Ap maupun Ketua Lembaga Antropologi Universitas Cendrawasih, DR Daan
Ajamiseba. IRJADISC menjadi lembaga hukum yang solid dengan diberi nama
Yayasan Pengembangan Masyakat Desa (YPMD). Tahun 1984, gerakan
masyarakat sipil ini dalam situasi yang rumit. Karena Arnold Ap dituduh
otak di balik eksodus 10.000 orang ke Papua New Guinea dan dituding
sebagai Menteri Kebudayaan Republik Papua Merdeka di bawah Komando
Brigjen. Zet Rumkorem. Ia ditangkap oleh Kopasanda, dijebak dan
melarikan diri dan dibunuh di Pasir 6. Ini tentu menjadi pukulan yang
sangat berat bagi IRJADISC.
Berita
dari kampung pun terbit yang kemudian berubah nama menjadi Kabar Dari
Kampung (KDK). KDK selalu diasuh dalam bahasa Indonesia populer dan
bahasa Indonesia―Papua. Waktu itu KDK merupakan majalah yang banyak
dibaca oleh masyarakat desa dan masyarakat di Papua. Itulah spiritnya
Arnorld Ap, termasuk yang lainnya yaitu pentingnya mengetahui struktur
budaya, sistem budaya, sistem sosial masyarakat diberbagai di Papua
sebagai entry point sewaktu introduksi sosial. Tetapi
ketergantungan IRJADISC pada Universitas Cenderawasih (Uncen) itu berat.
Uncen mulai takut karena soal-soal kritis yang dilontarkan oleh
IRJADISC dan YPMD. IRJADISC Uncen kemudian ditinggalkan dan
orang-orannya masuk ke YPMD plus KDK hingga mulai dikenal di luar
negeri. Pada tahun ini juga LBH didirikan di Papua. Gereja Katolik dan
GKI meminta kepada YLBHI agar LBH didirikan di Papua.5
Rakyat Dong yang Selalu Menjadi Korban
Mulai
berkembangnya gerakan masyarakat sipil, perempuan dan gereja direspon
dengan dingin dan hati-hati oleh Pemerintah Indonesia. Catatan yang
menarik dilakukan oleh SKP (Sekretariat Keadilan dan Perdamaian)
Jayapura (2001).6
Gaya penanganan pemerintah sejak 1998 hingga 2000 boleh disebut
kebijakan menebar jala. Mula-mula segala ungkapan hati, kejengkelan,
demo-demo, reaksi anti militer/polisi, teriakan M
(merdeka) dibiarkan tanpa ada pelarangan apalagi penangkapan. Seluruh
lapisan masyarakat Papua seakan-akan mendapat ruang hidup
seluas-luasnya. Tim 100 boleh bertemu dengan Presiden B. J. Habibie.
Boleh diadakan Mubes dan Kongres. Boleh dikibarkan bendera Papua dan
dinyanyikan lagu “Hai, Tanahku Papua”. Boleh didirikan Satgas Papua
berikut posko-poskonya. Jala ditebarkan dalam-dalam hingga akhirnya ikan
masuk dan jala ditarik. Inilah yang terjadi dengan instruksi penurunan
bendera Papua pada 29 September 2000 dari Kapolri yang menjadi gebrakan
awal untuk melakukan langkah represi luar biasa.
Terhadap
gerakan massa, represi dilakukan dengan begitu mudahnya masyarakat
dianiaya, ditangkap, disiksa, dan ditembak mati sedangkan
pemimpin-pemimpin rakyat ditahan. Represi ini mendatangkan dampak yang
tidak sederhana: [1] kekerasan antar kelompok masyarakat seperti telah
terbukti di Wamena (6 Oktober), Merauke (2 Desember); [2] pengungsian
baik warga Papua maupun non-Papua; [3] ketakutan yang bersifat sistemik
di tingkat masyarakat; [4] kecurigaan antar berbagai kelompok dalam
masyarakat; [5] kebingungan karena kehilangan kepemimpinan; [6] makin
menipisnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah di segala tingkat.
Nada dasar dari semua ini adalah diciptakannya suasana konflik dan
kekerasan yang pelan-pelan diidentikkan sebagai ciri perjuangan orang
Papua. Semua tindakan ini sangat tidak proporsional mengingat bahwa
seluruh perjuangan rakyat Papua dijalankan secara damai; maka sangat
sinis bahwa aparat negara hanya tahu menjawab dengan menahan
“tokoh-tokoh perjuangan damai”, dan hanya tahu turut mengubah suatu
iklim damai menjadi suatu iklim kekerasan.
Dalam konteks budaya, masyarakat dong
juga menjadi korban dengan pemaksaan nilai “keberadaban” yang dilakukan
dalam program-program pemerintah. Salah satunya adalah operasi koteka.
Identitas kolektif orang asli Papua sebagai sebuah masyarakat yang
modern dan beradab dipaksakan melalui program pemerintah tersebut. Tahun
1971-1973, pemerintah Indonesia melaksanakan Operasi Koteka (penutup
penis dari sejenis labu, sebagai pakaian tradisional di dataran tinggi
di Papua) yang terdiri atas elemen-elemen Angkatan Bersenjata dan
Pemerintah Sipil. TNI/Polri dan aparat birokrasi bergabung dalam
kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk membuat masyarakat-masyarakat
pedalaman Papua beradab dan untuk mengembangkan serta menciptakan
kondisi-kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik, yang akan digunakan
untuk pengembangan Papua lebih lanjut, dengan tujuan utamanya
menciptakan ide-ide nasional (dalam perspektif Indonesia) yaitu,
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945.
Operasi
Koteka adalah kampanye militer Indonesia yang bertujuan untuk
mempengaruhi orang asli Papua di pegunungan untuk meninggalkan
aspek-aspek dari kebudayaan asli mereka, bersekolah, menjadi modern
secara ekonomi, dan mengadaptasi identitas Indonesia yang lebih umum.
Para pejabat berusaha untuk memaksa masyarakat suku Dani sebagai orang
Pegunungan Papua untuk menukar Koteka mereka dengan pakaian bergaya
Indonesia. Dengan demikian, strategi mempermalukan (humiliation strategy)
digunakan dalam proses pembangunan di kalangan masyarakat Dani untuk
membuat mereka lebih terlibat dalam perubahan sosial. Ketidakberimbangan
kekuasaan tercermin dalam persepsi terhadap penduduk asli melalui
pelecehan terhadap budaya-budaya tradisional lokal dan melabel budaya
tersebut sebagai “terbelakang” dan “tidak beradab”. Atas nama
pembangunan modern dan kemajuan, strategi mempermalukan yang meyakinkan
masyarakat atas ketidakberhargaan diri dan budaya mereka tidak berharga
sehingga mereka merasakan inferiority complex dan dipaksa untuk terlibat dalam perubahan sosial.
Akumulasi
keputusasaan penduduk asli Papua dilanjutkan dengan pengabaian hak-hak
budaya sebagai cerminan martabat kolektif mereka. Masyarakat asli Papua
merasa martabat dan identitas mereka tidak diakui (contoh: proses yang
tidak melibatkan mereka dalam kebijakan seperti program transmigrasi,
penolakan pengakuan terhadap tanah ulayat atau wilayah nenek moyang,
eksploitasi sumber daya alam, kurangnya kesempatan bagi masyarakat lokal
untuk berpartisipasi dalam administrasi negara, dll.). Masyarakat asli
Papua mengekspresikan kefrustasian mereka yang sudah terakumulasi sejak
lama melalui pelbagai demonstrasi damai. (Sugandi, 2008:5-6) [ ]
[1] Lihat John Rumbiak, Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Papua Barat (Demi Persatuan Nasional dan Pembangunan), (artikel tanpa tahun), elshamnewsservice (diakses Januari 2011).
[2] Salftford, John., 2003, The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969, London: Routledge Curzon, hlm. 13-14 via Hernawan (2006).
[3] Seluruh bagian ini diambil dari “12 Tahun Penegakan Hak Asasi Manusia di Tanah Papua: Catatan Refleksi 12 Tahun kehadiran ELSHAM di Tanah Papua”, elshamnewsservice (diakses 14 Agustus 2011).
[4]
Seluruh bagian ini saya kutip dari Aboeprijadi Santoso, “Bintang Kejora
Nasionalisme Etnik Papua Berkembang Alamiah”, Radio Hilversum, 26
Januari 2001.
[5]
Seluruh bagian ini saya kutip dari Simone Baab dan Victor Mambor,
wawancara dengan George Junus Aditjondro, “Gerakan Masyakarat Sipil di
Papua”, fokerlsmpapua.org (diakses 10 April 2011).
[6] Catatan SKP Jayapura (044/SKP/01/1.5.) “Papua, Ko Mau Kemanakah?” (2001).
*Dosen Fakultas Sastra―Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.
e-mail: ngurahsuryawan@gmail.com & ngurahsuryawan@etnohistori.org
Sumber website: ngurahsuryawan.com
0 komentar:
Post a Comment