SEMARANG-
Puluhan mahasiswa Papua di Semarang dan Salatiga menggelar demonstrasi di depan
Patung Pangeran Diponegoro, Jl Pahlawan, Semarang, Kamis (28/2).
Mereka mengecam terjadinya berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua, seperti pembantaian, penculikan, pemerkosaan, dan penjarahan.
Tindak kekerasan dan pelanggaran HAM itu dilakukan melalui berbagai cara antara lain, operasi militer pada 1960-an. “Sampai sekarang pascareformasi masih terjadi kekerasan terhadap warga sipil di Papua yang dilakukan militer,” kata Koordinator aksi Gabriel.
Menurut dia, cara yang dilakukan militer memang sudah berbeda dengan waktu sebelumnya reformasi. Pola operasi militer sekarang berubah menjadi operasi intelejen dan pembentukan milisi.
Melalui operasi intelejen, militer masih sewenang-wenang melakukan penangkapan, penyiksaaan pembunuhan misterius.
“Para pelaku pelanggaran HAM sampai sekarang tidak ada satu pun yang dapat diselesaikan oleh negera. Belum ada penegakan hukum bagi para pelaku pelanggaran di Papuan,” ujarnya.
Untuk itu, para pengunjuk rasa dari Forum Komunikasi Mahasiswa Papua Semarang (Forkompas) dan Forum Mahasiswa Peduli Papua Salatiga (SMPP), mendesak pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Boediono menyelesaikan persoalan Papuan dengan arif dan bijaksana.
Pemerintah segera menarik militer baik organik dan non organik dari Papua, serta membebaskan tahanan politik dan narapidana politik tanpa syarat.
Mendesak komunitas internasional agar meninjau kembali proses integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1969 yang penuh rekayasa dan cacat hukum.
Dalam kesempatan itu, para pengunjuk rasa juga menyampaikan turut berbelasungkawa atas gugurnya delapan anggota TNI yang bertugas di Papua beberapa waktu lalu.
Setelah membacakan pernyataan sikap, pengunjuk rasa membubarkan diri dengan tertib.
Mereka mengecam terjadinya berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua, seperti pembantaian, penculikan, pemerkosaan, dan penjarahan.
Tindak kekerasan dan pelanggaran HAM itu dilakukan melalui berbagai cara antara lain, operasi militer pada 1960-an. “Sampai sekarang pascareformasi masih terjadi kekerasan terhadap warga sipil di Papua yang dilakukan militer,” kata Koordinator aksi Gabriel.
Menurut dia, cara yang dilakukan militer memang sudah berbeda dengan waktu sebelumnya reformasi. Pola operasi militer sekarang berubah menjadi operasi intelejen dan pembentukan milisi.
Melalui operasi intelejen, militer masih sewenang-wenang melakukan penangkapan, penyiksaaan pembunuhan misterius.
“Para pelaku pelanggaran HAM sampai sekarang tidak ada satu pun yang dapat diselesaikan oleh negera. Belum ada penegakan hukum bagi para pelaku pelanggaran di Papuan,” ujarnya.
Untuk itu, para pengunjuk rasa dari Forum Komunikasi Mahasiswa Papua Semarang (Forkompas) dan Forum Mahasiswa Peduli Papua Salatiga (SMPP), mendesak pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Boediono menyelesaikan persoalan Papuan dengan arif dan bijaksana.
Pemerintah segera menarik militer baik organik dan non organik dari Papua, serta membebaskan tahanan politik dan narapidana politik tanpa syarat.
Mendesak komunitas internasional agar meninjau kembali proses integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1969 yang penuh rekayasa dan cacat hukum.
Dalam kesempatan itu, para pengunjuk rasa juga menyampaikan turut berbelasungkawa atas gugurnya delapan anggota TNI yang bertugas di Papua beberapa waktu lalu.
Setelah membacakan pernyataan sikap, pengunjuk rasa membubarkan diri dengan tertib.
Sumber: suarapembaruan.com
0 komentar:
Post a Comment